Yang mulia, kalau golput sampai 80% itu salah siapa?

Kalau saya tidak salah Pilkada Kota Medan  tahun  2015 ini mencatatkan rekor tertinggi pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya diseluruh Pilkada yang dilaksanakan di Indonesia. Kekecewaan tentu saja merebak ditengah masyarakat mengingat untuk kegiatan demokrasi kota medan ini dianggarkan dana yang tidak sedikit, berkisar 56,6 Miliar Rupiah.

Tentu tidak ada satu pihak pun yang mau disalahkan atas rendahnya partisipasi pemilih di kota Medan ini. Namun komisioner KPU Kota Medan Pandapotan Tamba terlihat terburu-buru melempar bola atas tidak semaraknya gawean yang mereka selenggarakan ini, dapat kita lihat dari pernyataannya didepan wartawan di Kantor KPU Medan Rabu (9/12/2015); “Kami sosialisasi udah maksimal kok. Dasar masyarakatnya saja yang apatis. Mereka tidak mau tahu,”. KPU memang tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi, namun pernyataan Komisioner KPU yang menyerah terhadap apatisme masyarakat dengan dalih sudah melakukan sosialisasi maksimal juga terdengar konyol dan lepas tanggungjawab.

Pernyataan saudara Komisioner tersebut kemudian soal keabsahan Pilkada yang tetap legal dan sah walaupun golput tinggi memang telah dijamin Undang-Undang; “Tetap sah. Tetap legal. Pemilu kali ini paling aman, paling jujur, paling adil. Hanya golputnya aja yang tinggi,” namun penyataan ini menggambarkan mindset penyelenggara pemilu yang prosedural, tidak peduli hakikat demokrasi asalkan pemilu berlangsung aman dan lancar maka selesailah ajang pemilu tersebut, meskipun pada kenyataannya 80% masyarakat tidak ikut berpatisipasi.

Seharusnya sebagai penyelenggara, komisioner KPU tidak perlu menyalahkan bahkan memberi cap masyarakat yang tidak memilih sebagai apatis dan tidak mau tahu. Masyarakat juga memahami kejadian ini bukan karena tidak becusnya KPU, seluruh elemen masyarakat seperti pejabat negara, para kandidat dan partai politik bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Kota Medan ini. Komisioner KPU Kota Medan cukup mengakui bahwa Pilkada Kota Medan kali ini memang tidak menarik.

Pemilihan Walikota Medan Sejak Pilkada Langsung

Pemilihan langsung walikota Medan pertama kali digelar tahun 2005 yang dimenangkan oleh pasangan Abdillah-Ramli. Di tahun ketiga kepemimpinan mereka, kedua pemimpin kota Medan ini tersangkut kasus korupsi dana APBD. Warga kota Medan menyaksikan kejadian yang memalukan ini, kedua pemimpin mereka masuk penjara akibat korupsi. Kota Medan kemudian dipimpin oleh Sekda Afifudin Lubis,  lalu karena beliau mencapai masa pensiun PNS maka Rahudman Harahap menggantikannya sebagai PLT. Walikota Medan.

Pada Pilkada Kota Medan tahun 2010, Rahudman Harahap maju sebagai calon Walikota Medan bersama T. Dzulmi Eldin sebagai calon Wakil Walikota-nya. Pilkada tahun 2010 ini menghadirkan 10 pasangan calon walikota dan wakil walikota dan merupakan pilkada paling banyak kandidatnya. Pilkada tersebut berlangsung seru sampai harus dilaksanakan putaran kedua dan akhirnya dimenangkan oleh pasangan Rahudman Harahap dan T. Dzulmi Eldin. Namun seperti mengulangi kesalahan yang sama, walikota Medan Rahudman Harahap kembali terjegal kasus korupsi yang menyebabkan dia harus lengser dan digantikan oleh wakilnya T. Dzulmi Eldin.

Dua tahun melanjutkan sisa periode jabatan walikota 2010-2015 yang ditinggalkan Rahudman, T. Dzulmi Eldin kembali mencalonkan diri sebagai Walikota Medan pada Pilkada serentak tahun 2015 ini. Sejak publikasi kesiapannya maju menjadi calon walikota Medan, Dzulmi Eldin diyakini sebagai calon terkuat yang akan memenangi Pilkada. Hal ini kemudian membuat banyak partai politik bermain aman dengan bergabung dalam koalisi  mengusung T. Dzulmi Eldin menjadi calon Walikota Medan. Pendapat bahwa T. Dzulmi Eldin adalah calon kuat pemenang Pilkada bukanlah apriori, sebagai petahana yang memiliki keuntungan tersendiri dan merupakan warga Medan asli, T. Dzulmi Eldin lebih dulu familiar dan populer dibandingkan pesaingnya yang muncul belakangan dari tokoh nasional Ramadhan Pohan.

Gagalnya fungsi representasi Parpol

Walaupun  memiliki potensi yang kuat untuk memenangkan Pilkada, namun ditengah-tengah warga kota Medan telah lahir pesimisme tersendiri dengan pengalaman dua pilkada terakhir. Banyak terdengar selentingan bahwa ketika T. Dzulmi Eldin menang menjadi walikota, maka beliau akan menyusul pendahulunya Rahudman Harahap ke penjara juga.

Partai Politik yang seharusnya dapat meng-agregasi kepentingan konstituennya dan menghadirkan tokoh alternatif untuk menjadi pemimpin, malah berbondong-bondong mencalonkan petahana yang diyakini akan menang dengan mudah. Bermain aman seperti ini memang menguntungkan partai-partai pendukung, selain hemat biaya juga hemat tenaga. Namun ini adalah awal kegagalan partai politik menterjemahkan keinginan rakyat yang butuh pemimpin baru, bukan hanya sekedar ingin memenangkan pertarungan pilkada.

Persentase golput yang mencapai 70-80% adalah bukti bahwa partai-partai yang mendukung calon tersebut tidak memiliki ikatan apa-apa dengan sebagian besar calon pemilih. Jumlah golput yang besar juga mengindikasikan partai-partai tersebut hanya menumpang nama tanpa menjalankan mesin partai untuk menggerakkan konstituennya menggunakan hak pilih. Bayangkan apa gunanya 8 partai politik mendukung T. Dzulmi Eldin (PDIP, Golkar, PAN, NasDem, PBB, PKPI, PKS, PPP) kalau pada kenyataannya saat pemilu partisipasi hanya 20% saja dari daftar pemilih tetap? Inilah kegagalan Partai Politik merepresentasikan keinginan rakyatnya.

Kita tidak perlu menunjuk satu pihak untuk disalahkan jika pemilu kota Medan yang telah berlangsung 9 Desember kemarin sepi dari pemilih. Setiap pemangku kepentingan yang terlibat harus melakukan evalusi di internal masing-masing. Penyelenggara tidak usah mencari alasan, pasangan calon yang kalah juga tidak perlu menyalahkan penyelenggara karena anggapan kurangnya sosialisasi – karena sosialisasi juga dapat dilakukan oleh Tim dan Partai pasangan calon.

Begitupun dengan pasangan Eldin-Akhyar, tidak usah terlalu bangga dengan kemenangan sekitar 72% dari suara pemilih yang 20%, karena artinya mayoritas warga Medan tidak perduli anda menang atau tidak. Begitupun ucapan selamat tetap layak disampaikan kepada Walikota dan Wakil Walikota terpilih. Kedepan adalah tugas anda membuktikan pada warga Medan anda memang layak memimpin kota ini 5 tahun lagi dan menepis pesimisme warga Medan terhadap perbaikan melalui Pilkada.

*diterbitkan di Koran Sindo Sumut, Headline Desember 2015

Iklan

SEOLAH-OLAH DEMOKRASI

Pada saat Sukarno dan Hatta akhirnya menetapkan bahwa Republik Indonesia merdeka nantinya akan menganut sistem demokrasi, mereka tidak bermaksud menjadikan demokrasi menjadi sebuah cita-cita atau tujuan. Demokrasi adalah alat untuk mencapai cita-cita itu sendiri, sebagai negara yang merdeka, bersatu, adil dan makmur.

Dengan memaknai demokrasi sebagai alat mencapai tujuan, maka dengan demikian terbuka celah bagi kita semua rakyat Indonesia untuk memperbaiki, meng- up grade, menyempurnakan instrumen yang kita gunakan tersebut, agar ia sesuai dengan kondisi rakyat –kebudayaan, pendidikan dan ekonominya-, dan sesuai dengan perkembangan zaman –teknologi informasi dan komunikasi.

Sebagai sebuah negara yang baru berdiri selama 69 tahun adalah wajar sekali kita masih juga mencari-cari bentuk dan komposisi yang tepat untuk mengejewantahkan demokrasi dalam tataran kehidupan pemerintahan kita sehari-hari, termasuk dalam tata cara pemilihan eksekutif maupun legislatif. Meskipun para pendiri bangsa kita sudah memberikan pedoman bahwa demokrasi kita adalah Demokrasi Pancasila, demokrasi yang berazaskan pada permusyawaratan untuk mencapai kata mufakat.

Penerapan Demokrasi Pancasila memang masih harus diterjemahkan lagi agar ia dapat diterapkan secara praktis dalam kehidupan bernegara. Maka putra-putri terbaik bangsa sejak masa kemerdekaan hingga saat ini terus berikhtiar mencurahkan pikiran dan tenaganya menciptakan sistem demokrasi terbaik yang sesuai untuk dijalankan pada masanya.

Pada saat negara kita bercirikan negara birokratik otoriter dibawah Soeharto, kepala daerah seperti gubernur adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan pusat di Jakarta. Dengan demikian gubernur ditunjuk atau diangkat langsung oleh presiden untuk menjabat di salah satu provinsi. Begitupun dengan walikota dan bupati memiliki garis hirarki instruksi dari atas kebawah, dimana presiden atau gubernur lah yang memberikan mandat pada mereka untuk memerintah atas sebuah kota atau kabupaten. Dalam kasus masa Soeharto ini banyak dari pejabat gubernur ataupun walikota/bupati yang diangkat berasal dari TNI Angkatan Darat.

Pasca jatuhnya Soeharto dan rezim birokratik otoritariannya, sistem tata pemerintahan yang dijalankan Soeharto dianggap sebagai tidak demokratis dan harus direformasi. Namun gaya pemerintahan Soeharto juga bukan tanpa prestasi, pada masa itu kordinasi antar kepala daerah dengan pemerintah diatasnya berlangsung cepat dan efisien, kepala daerah tidak (berani) bertindak sendiri tanpa ada persetujuan dari pemerintah diatasnya dengan demikian minim terjadi korupsi kepala daerah yang merampok kekayaan daerahnya sendiri.

Pseudo Democracy

Para reformis kemudian berikhtiar bahwa kekuasaan yang sentralistis seperti pada masa Soeharto harus dihapuskan. Maka sejak itu kita sering mendengar istilah desentralisasi, yang tujuannya adalah mengurangi kekuasaan negara yang terpusat pada ibukota negara. Kekuasaan tidak boleh lagi dipusatkan melainkan harus tersebar pada setiap daerah di seluruh negara kepulauan Indonesia.

Kekuasaan terpusat ditenggarai sebagai penyebab korupsi birokrasi yang terjadi pada masa Soeharto. Sebagai implementasi dari ide desentralisasi maka diwujudkanlah program Otonomi Daerah. Otonomi daerah ini memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengelola dan mengatur daerahnya sendiri, termasuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang ada didaerahnya untuk kepentingan daerah tersebut. Kemudian setelah berlakunya UU No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, ditengah semangat demokratisasi diperkenalkanlah sistem pemilihan langsung untuk pemilu kepala daerah di Indonesia. Juni 2005 pilkada langsung pertama di Indonesia dilaksanakan di kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.

Hampir Sepuluh tahun sudah sejak pemilihan langsung diperkenalkan pada rakyat Indonesia, euforia demokrasi pasca reformasi masih menggebu-gebu ditengah masyarakat saat pertama kali didaulat menentukan langsung siapa kepala daerahnya dan bahkan presidennya. Namun dalam sepuluh tahun ini juga kita menyaksikan bahwa pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) juga menjadi penyebab munculnya ‘penyakit-penyakit’ baru dalam kehidupan bernegara kita.

Dengan seringnya terjadi kerusuhan antar pendukung calon kepala daerah, fenomena ini mengindikasikan adanya ketidaksiapan mental masyarakat maupun penyelenggara dalam menjalankan kontestasi kepala daerah secara langsung. Kemudian, banyak dari hasil pilkada yang ditetapkan oleh KPUD digugat oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan ke Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga kepala daerah sering malah ditetapkan oleh keputusan hakim MK.

Seringnya gugatan pilkada dilayangkan ke MK menjadi ladang baru untuk korupsi, contoh kasus paling fenomenal adalah tertangkap-tangannya Aqil Mochtar sebagai Ketua MK menerima suap terkait sengketa kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dari pengembangan kasus Aqil Mochtar, ternyata sengketa pilkada kabupaten Gunung Mas bukan yang pertamakali dimana Aqil memenangkan sengketa karena menerima suap.

Total ada 15 sengketa pilkada dimana Aqil menerima suap, antara lain; Pilkada Gunung Mas, Pilkada Lebak, Pilkada Empat Lawang, Pilkada Kota Palembang, Pilkada Lampung Selatan, Pilkada Kabupaten Buton, Pilkada Pulau Murotai, Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah, Pilkada Propinsi Jawa Timur, Pilada Kabupaten Merauke, Pilkada Kabupaten Asmat, Pilkada Kabupaten Boven Digoel, Pilkada Kota Jaya Pura, Pilkada Kabupaten Nduga, dan Pilkada Provinsi Banten.

Kerusuhan pilkada, korupsi kepala daerah, dan kecurangan yang kerap terjadi di setiap penyelenggaraan pilkada menimbulkan kejenuhan bagi masyarakat. Kejenuhan ini juga diakibatkan karena berulangnya pilkada dilakukan, ini terjadi karena pilpres dan pileg tidak dilakukan serentak dengan pilkada provinsi dan atau pilkada kabupaten.

Dalam satu tahun satu daerah bisa melakukan dua pilkada berbeda untuk memilih gubernur dan bupati, dan dalam setahun itu Indonesia bisa melaksanakan 205 kali pilkada, sungguh menguras tenaga, mental dan biaya yang tidak sedikit. Kejenuhan itu bisa kita lihat dari kecenderungan meningkatnya persentase golput di setiap pilkada yang rata-rata mencapai 30-40% disetiap pilkada, bahkan pilkada Sumut tahun lalu suara golput mencapai 51.5%. Ini dapat kita artikan bahwa lebih dari setengah pemilik suara di Sumut tidak perduli dengan adanya pilkada tersebut.

Bukan hanya soal kekisruhan saat pilkadanya saja, para kepala daerah yang dihasilkan oleh pilkada langsung ini merasa memiliki superioritas lebih karena dimandatkan langsung oleh rakyat. Sehingga sering terjadi ketidak-efektifan komunikasi birokrasi, misalnya antara gubernur dengan bupati atau bupati/walikota dengan DPRD. Bupati dan gubernur misalnya berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi tentang program yang seharusnya dapat disinergikan antara provinsi dan kabupaten, karena bupati merasa berhak mengelola daerahnya sendiri tanpa ikut campur provinsi.

Pola birokrasi hasil pilkada langsung ini menciptakan pula perubahan pola korupsi, kepala daerah memiliki kewenangan untuk mengelola kekayaan alam daerahnya, ini menjadi celah bagi setiap kepala daerah untuk ‘menjual’ kekayaan daerahnya kepada perusahaan swasta dengan menerima suap untuk penerbitan izin misalnya dan banyak celah lainnya. Kita dapat menyaksikan sendiri sudah banyak kepala daerah yang ditangkap karena kasus korupsi seperti ini.

Pilkada langsung memang memberikan kesan bahwa prosedur yang kita jalankan terlihat sangat demokratis, karena rakyat terlibat langsung dalam proses pemilihan. Namun seperti yang dikatakan Hannah Arendt; “Kekuasaan dimandatkan oleh masyarakat, namun masyarakat kemudian hanya memiliki kekuasaan itu pada saat pemilihan umum. Setelah itu, kekuasaan berpindah ke tangan penguasa yang mereka pilih.” Kita lupa setelah pemilu, si kepala daerah melenggang kangkung dengan kekuasaannya dengan sedikit kontrol dari DPRD dan hampir tidak ada kontrol dari rakyat yang memilihnya secara langsung.

Belum lagi jika kita menilik bahwa di setiap pilkada hampir semua calon memainkan politik uang untuk mendapatkan suara rakyat. Dari pengalaman saya mengikuti pilkada di beberapa daerah nilai satu suara dihargai mulai 50 ribu sampai 300 ribu rupiah dalam setiap pilkada, besaran nominal rupiah tersebut berbeda-beda disetiap daerah tergantung kondisi ekonomi rakyat kebanyakan didaerah tersebut.

Kebiasaan politik uang yang dilakukan oleh calon kepala daerah ini yang kemudian menjadi tradisi disetiap perhelatan pilkada, rakyat kemudian menentukan pilihan karena besaran uang yang diterima, bahkan ada beberapa kasus dimana pemilih tidak mau datang ke TPS karena belum mendapatkan uang dari calon kepala daerah. Benar yang kita jalankan adalah demokrasi, tapi apakah demokrasi seperti ini yang kita harapkan? Seolah-olah seperti demokrasi.

Dalam perjalanannya kemudian muncul kritik terhadap terapan demokrasi seperti ini, demokrasi seharusnya berjalan dengan nilai-nilai substansialnya bukan hanya pada tahapan prosedural. Negara kita dianggap sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, bahkan pemilu kita adalah pemilu terbesar dan terkompleks di dunia, dimana satu kali pemilu legislatif misalnya digunakan untuk memilih tiga lembaga berbeda (DPRD, DPR RI, DPD) serentak diseluruh Indonesia secara langsung.

Namun ukuran besarnya demokrasi itu hanya berdasarkan penyelenggaraan pemilu saja, dan banyak dari kita telah mengecilkan makna demokrasi sama dengan pemilu saja. Inilah yang disebut oleh kritikus sebagai demokrasi prosedural, kita memang menjalankan prosedur-prosedur demokrasi namun meninggalkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Partisipasi rakyat hanya diukur saat pemilu saja, sedangkan dalam pembuatan kebijakan publik setelah pemilu, rakyat tidak diajak bahkan tidak ditanyakan pendapatnya. Serta-merta ‘komunikasi’ antara kepala daerah dengan rakyat pemilihnya berhenti ketika pilkada usai dan ia terpilih.

Kita harus menolak asumsi dasar bahwa demokrasi tidak lebih dari sekedar proses dalam pemilihan umum karena dalam pembuatan kebijakan publik setelah pemilu, harus melalui serangkaian komunikasi yang berorientasi pada kesetaraan dialog antara penguasa dan yang dikuasai. Usaha ini bertujuan untuk membatasi munculnya kepentingan mayoritas yang mendominasi kebijakan yang menguntungkannya.

Sejak sepuluh tahun terakhir ini kita menyaksikan berubahnya demokrasi kita menjadi sangat liberal, bahkan lebih liberal dari punggawa demokrasi liberal sendiri, Amerika Serikat. Demokrasi kita telah berubah dari talk-centric (musyawarah) menjadi voting-centric serta lebih menekankan angka-angka (numerable) ketimbang alasan (reasonable). Demokrasi dengan voting dan perwakilan –seperti demokrasi liberal-, tanpa dialog, musyawarah dan permufakatan hanya akan membuat demokrasi kita didominasi oleh kepentingan mayoritas, jauh dari harapan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.

Depok, 29 September 2014