May Day dan Ego Sektoral

Tahun 1918 di Kota Surabaya diperingati May Day atau hari buruh pertama di Indonesia. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara Asia pertama merayakan 1 Mei sebagai hari buruh. 

Melalui UU Kerja No. 12 Tahun 1948, pada pasal 15 ayat 2, yang berbunyi “Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban kerja”, kaum buruh Indonesia, pada masa itu, tiap tahun selalu memperingati May Day. Namun sejak peristiwa G 30 S PKI peringatan hari buruh ini dilarang di Indonesia karena diidentikkan sebagai bagian dari ajaran komunisme. Kemudian sejak tumbangnya Orde Baru, pada 1999 May Day kembali diperingati oleh kaum buruh di seluruh Indonesia bersama gerakan buruh sedunia.

“Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!” demikian Karl Marx menutup Manifesto Komunis yang ditulisnya hampir 200 tahun yang lalu. Slogan ini acap kali dipakai untuk membakar semangat buruh dan membangkitkan organisasi-organisasi perjuangan buruh.

Anak Kandung Sejarah Kapitalisme

Kenapa kaum buruh di istimewakan oleh Karl Marx hingga mendapat prioritas lebih dalam perhatian Karl Marx? Tidak lain dan tidak bukan karena analisis Marx terhadap kapitalisme mengatakan bahwa kapitalisme hidup dari penghisapan nilai lebih yang dihasilkan buruh yang bekerja di pabrik, dimana pabrik adalah ikon industrialisasi. Maka Marx melihat buruh harus di sadarkan sebagai sebuah kelas dan kelas tersebut berkontradiksi langsung dengan kelas lain dalam sistem produksi mereka di pabrik, pemilik modal. Kaum buruh lah yang harus menjadi pionir terdepan dalam perjuangan melawan sistem kapitalisme, karena buruh yang menjadi penggerak industrialisasi, tonggak utama kapitalisme pada masa itu.

Usaha-usaha me-revolusioner-kan buruh pun berlaku dipabrik-pabrik. Serikat-serikat buruh berdiri sebagai wadah bagi kaum ini berlindung, belajar, dan mendapatkan kesadaran akan ‘kelas’nya. Kelas dalam konteks ini adalah terminologi dalam marxisme untuk membedakan antar kelompok dalam suatu sistem yang saling berkontradiksi. Maka sesuai ajarannya, para penganut marxisme mengedepankan kaum buruh sebagai pelaku utama penggerak revolusi menumbangkan kapitalisme, atas dasar ini pula Bung Karno menyebut kaum ini adalah Soko Guru Revolusi.

Bukan isapan jempol semata analisis Marx tentang perlunya merevolusionerkan buruh ini menjadi kenyataan dengan berdirinya Uni Sovyet. Negara yang mengadopsi ideologi komunis yang didirikan oleh kekuatan buruh, walaupun akhirnya runtuh pada tahun 1991 di umur 74 tahun. Lalu matikah gerakan buruh? Tidak. Dimana masih terdapat industri dan pabrik-pabrik maka disitu ada buruh, dan dimana ada penindasan maka disitu ada perlawanan. Sebagai bagian yang terintegrasi dalam sistem produksi kapitalisme buruh akan tetap eksis, namun yang perlu dipertanyakan, apakah mereka masih revolusioner? Masihkah mereka mempertahankan posisi mereka sebagai kelas yang berkontradiksi dengan pemilik modal?

May Day diperingati untuk mengenang sebuah tragedi yang menimpa kaum buruh di Chicago tahun 1886. Dalam peristiwa itu, polisi Chicago menembaki para buruh dengan brutal ketika mereka sedang menggelar demonstrasi untuk menuntut delapan jam kerja dalam sehari, dan beberapa pimpinan buruh yang terlibat dalam demontrasi tersebut juga ditangkap dan dihukum mati. Sedangkan penetapan 1 Mei sebagai hari buruh internasional terjadi pada tahun 1889, yang merupakan salah satu hasil dari kongres Internasionale Kedua Komintern (Komunis Internasional – forum partai-partai komunis sedunia) yang diselenggarakan pada bulan Juli tahun 1889 di Paris.

Evolusi makna dan menghilangkan ego sektoral

Kini setelah lebih dari 100 tahun sejarah perjuangan buruh, kaum buruh masih dianggap sebagai salah satu kekuatan yang bisa memberikan tekanan terhadap kebijakan pemerintah. Inti kekuatan gerakan kaum ini ada pada massa-nya, maka yang ‘dihitung’ bukanlah buruh orang per orang tapi organisasi serikat buruhnya yang menghimpun mereka menjadi sebuah kekuatan yang memiliki posisi tawar. Kuantitas anggota serikat lebih utama, lalu kualitas dan militansi mengikutinya.

Dalam jangka waktu 100an tahun pasti banyak perubahan terjadi, kita tahu metode dan sistem produksi berubah, sistem permodalan juga berubah, namun apa yang berubah dari gerakan kaum buruh?

Rasanya bila mau jujur, gerakan buruh di Indonesia sudah mengalami stagnasi, pola dan tuntutannya klise dan jauh dari ciri-ciri revolusioner. Belakangan dapat kita perhatikan gerakan buruh semakin pragmatis dan hanya responsif pada apa-apa yang menyentuh langsung sisi ekonomis mereka, seperti tuntutan kenaikan upah dan atau pemutusan hubungan kerja.

Mengharapkan peran lebih dan respon terhadap sektor lain di luar masalah buruh sepertinya akan jadi angan-angan apalagi mendewakannya menjadi pionir revolusi. Apalagi pada masa keemasan demokrasi prosedural ini, serikat buruh dianggap sebagai alat untuk mendapatan legitimasi non-partai dan kantung suara yang mudah dimobilisir. Beberapa elit serikat buruh pun dengan gampangnya menyatakan dukung-mendukung salah satu calon dalam sebuah pemilukada, begitu mudahnya sekarang menjalin aliansi dalam politik walaupun tanpa kesamaan ideologi.

Menyadari potensi kekuatan massa buruh bila terkonsolidasi dengan baik, pihak-pihak diluar buruh yang memiliki kepentingan terus mengembangkan cara memoderasi pola gerakan buruh untuk tidak mengatakan menghapus ideologi dari gerakan buruh. Contoh paling nyata adalah upaya dari beberapa pemerintahan daerah yang memfasilitasi elemen-elemen serikat buruh dalam memperingati hari buruh.

Beberapa tahun belakangan peringatan hari buruh banyak di ’kandangkan’ di gedung-gedung olahraga ataupun lapangan stadion untuk menikmati hiburan seperti dangdutan serta menerima pidato-pidato seremonial pejabat pemerintah terkait. Pemerintah menanggung semua biaya yang dikeluarkan, para buruh tinggal menikmati pesta ‘hari buruh’ yang difasilitasi pemerintah termasuk makan siang gratis yang dibagi-bagikan asalkan buruh tidak berdemonstrasi di jalan-jalan.

Marx sendiri menyatakan tiada sesuatu yang abadi melainkan perubahan itu sendiri. Sifat-sifat dalam suatu kontradiksi pun ikut berubah mengikuti zamannya, 100 tahun lalu penghisapan terhadap buruh terlihat kontras, perlawanan buruh diredakan dengan tindakan represif dan brutal oleh alat koersif negara (polisi & tentara). Kini hubungan antara buruh yang dulu dianggap pioner revolusi dengan aparat keamanan yang notabene penjaga kepentingan modal tidaklah sekaku hubungan mereka terdahulu.

Walaupun di beberapa kesempatan masih sering berjumpa secara frontal, namun kini pendekatan aparat keamanan maupun pemerintah lebih persuasif. Namun sayangnya gerakan buruh sepertinya terlena dengan ‘pengakuan’ yang diberikan oleh institusi resmi negara ini. Pengakuan bahwa mereka dianggap ada, difasilitasi, diajak bertemu dan bertatap muka langsung dengan pejabat pemerintah, walaupun kenyataannya semua itu tidak serta-merta menyelesaikan apa yang menjadi tuntutan dasar mereka.

Kalau kita runut sejarah peringatan May Day sebagai hari buruh, jelas May Day harus menjadi peringatan dengan karakter yang revolusioner. May Day bukanlah moment yang diperingati layaknya hari ulang tahun atau hari jadi sebuah pernikahan yang sarat  dengan hiburan dan hura-hura.

Lebih jauh, May Day adalah sebuah momentum untuk membangun kesadaran kelas dan memperkuat posisi politik buruh. Momen yang seharusnya bisa menjadi media konsolidasi kaum buruh seluruh Indonesia dan memunculkan isu dan slogan yang sama di tengah krisis politik dan mandegnya gerakan buruh dan gerakan sosial secara keseluruhan.

Soko Guru revolusi adalah penghargaan sekaligus beban yang terlalu berat untuk dipikul kaum buruh pada masa ini. Taklid kepada slogan itu merupakan sebuah kenaifan ditengah masyarakat ultramodern yang sudah jauh berubah struktur dan cara berkomunikasinya.

Kita dapat melihat dan mempelajari bagaimana pecahnya pemberontakan-pemberontakan, bahkan penggulingan pemerintahan di jajirah Arab beberapa tahun lalu tidak didominasi oleh salah satu sektor pekerjaan. Cukup sudah peran ego sektoral dimainkan, tidak ada sektor yang lebih berhak dari sektor yang lain untuk menjadi aktor utama perubahan di negeri ini, tidak buruh, tidak petani, tidak miskin kota, tidak mahasiswa, tidak juga kalangan profesional.

Yang kita perlukan adalah sinergisitas antar faksi-faksi sektoral yang ada, kalau perlu hapuskan saja wacana sektoral pada tiap isu-isu yang diperjuangkan. Perjuangan buruh harusnya merupakan perjuangan petani juga, begitu pula sebaliknya karena sebenarnya hubungan mereka dalam masyarakat pun berlaku timbal balik.

Bisa saja dalam sebuah keluarga seorang ayah adalah petani sedangkan anaknya adalah seorang buruh pabrik. Buruh mengkonsumsi hasil produksi petani, petani membutuhkan buruh sebagai pembeli. Begitupun mahasiswa merupakan bagian dan berkepentingan memperjuangkan sesuatu di luar persoalan-persoalan normatif mereka.

Tuntutan yang terfraksi-fraksi tidak akan memiliki daya juang yang lama. Sebaliknya perjuangan yang diusung bersama-sama akan memiliki kekuatan perubahan yang lebih kuat dan besar peluangnya. Selamat hari buruh selamat hari perjuangan bersama.

 

dimuat di Koran Sindo 1 Mei 2013

Iklan