Melihat kelompok LGBT dalam kerangka Gerakan Sosial Baru

Dalam kajian perkuliahannya, mahasiswa-mahasiswa Ilmu politik akan sampai pada satu topik tentang Gerakan Sosial Baru/GSB (New Social Movement), dan ketika mencapai topik ini, sebagian besar mahasiswa-mahasiswa tersebut lebih dahulu telah memahami apa itu gerakan sosial.

GSB pada awalnya adalah sebuah gejala utama dalam sejarah barat modern, namun sekaligus ia merupakan topik penting dalam studi sosial dan politik kontemporer. Maka akan bijaksana apabila GSB dikaji dan dipahami kebaruan gerakannya dalam konteks membuka perdebatan, bukan hanya sekedar refleksi tentang tahapan perkembangan masyarakat barat.

Istilah ‘gerakan sosial baru’ mengacu pada sekelompok gerakan sosial kontemporer (atau mutakhir) yang telah berperan signifikan dan umumnya progresif bagi sebagian besar pengkaji di masyarakat Barat sejak 1960-an. [1]

Identifikasi utama mengapa gelombang aktivisme mereka disebut ‘baru’ karena mengacu pada keprihatinan gelombang aktivisme tersebut pada isu, bukannya pada kelas seperti gerakan sosial terdahulu. Biasanya kategori aktivisme baru itu mencakup gerakan perdamaian dan antinuklir, gerakan lingkungan, gerakan ekologis atau gerakan hijau, gerakan pembebasan lesbian dan gay, gerakan feminis gelombang kedua, gerakan anti rasis, dan gerakan gaya hidup alternatif.

Akhir dari Ideologi

Dengan kata lain, GSB perlahan telah meninggalkan karakter analisa sosial marxisme yang determinan ekonomis, walaupun dalam beberapa kenyataan tidak meninggalkannya secara keseluruhan. Karakter baru ini muncul didukung oleh fenomena “ledakan ekonomi panjang’ dan ‘konsensus demokratis sosial’ pasca-perang Dunia II, serupa dengan periode stabilitas politik, bahkan apati, yang ditandai dengan diumumkannya ‘akhir dari ideologi’ oleh kalangan akademis. (Lipset, 1960:403-17)

Konflik antar modal dan kerja telah diredakan oleh struktur pengompromi kelas pada negara kesejahteraan, dengan kebijakan seperti pajak progresif, penyediaan jaminan sosial dan bantuan kesejahteraan, dan konsultasi ‘neokorporatis’ antara pemberi pekerjaan, serikat pekerja, dan pemerintah (Berger, 1981;Offe, 1984).

Sehingga kita sampai pada sebuah hipotesis bahwa gejala Gerakan Sosial Baru, dapat muncul pada tatanan masyarakat dimana kapitalisme telah unggul menjadi satu-satunya pemenang. Herbert Marcuse – pengkritik kapitalisme liberal dari sayap kiri – menggambarkan tatanan sosial yang berkuasa saat itu secara sinis sebagai ‘masyarakat berdimensi satu’ yang sudah tumbuh melampaui pertentangan antara kapitalis dan pekerja.

Berdasarkan teori dan ulasan yang didasarkan pada perkembangan masyarakat barat diatas, perkembangan gerakan sosial baru di Indonesia akan cukup menarik untuk diulas. Tanpa menafikan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang berlaku di Indonesia, jika kita melakukan pembalikan logika dengan apa yang terjadi di masyarakat barat, kemunculan gerakan sosial baru adalah ciri-ciri tatanan masyarakat Indonesia yang perlahan mulai meninggalkan antagonisme antar kelas.

Meskipun saya pesimis pudarnya pertentangan antar kelas ini memiliki alasan yang sama ketika terjadi pada masyarakat barat. Boleh jadi pendapatan masyarakat kita memang meningkat dan gerakan buruh semakin moderat, namun kesenjangan antara yang miskin dan kaya masih terpaut jauh. Dan sebagai negara pos kolonial yang sedang berkembang, pola masyarakat Indonesia sering kali mengadaptasi perkembangan nilai dan tatanan sosial dari masyarakat barat tanpa mengikuti tahapan yang dilalui masyarakat barat tersebut. Dan pola itu saya curigai berlaku juga pada gerakan sosial baru di Indonesia. Dengan hebatnya digitalisasi informasi seperti sekarang ini, tak ada batasan untuk transfer ide antar masyarakat dunia. Sehingga suatu komunitas yang berkembang di sebuah negara post industrial dapat saja memiliki ‘cabang’ di negara-negara yang kapitalismenya masih menghisap dengan vulgar.

LGBT Indonesia

Saya beruntung memiliki satu pengalaman yang menarik bisa berinteraksi dengan salah satu jenis gerakan sosial baru ini, yaitu ketika sedang mengikuti kegiatan seorang anggota DPR RI sebagai mahasiswa program internship dari kampus. KH. Maman Imanulhaq anggota DPR RI dari fraksi PKB (tempat saya internship) pada waktu itu kedatangan rombongan tamu sekitar 50 –an orang yang mengusung isu LGBTIQ[2] (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, and Queer), mereka ingin berdialog dan menyampaikan aspirasi mereka kepada anggota dewan yang mereka anggap dapat dipercaya dan mengerti permasalahan yang mereka hadapi.

Kedatangan mereka rupanya dalam rangka Peringatan Hari Mengenang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Transgender se-Dunia/ International Transgender Day of Remembrance yang jatuh pada tanggal 20 November setiap tahunnya. Pertemuan kelompok LGBT yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini dengan KH. Maman ternyata bukan kebetulan, beberapa personal mereka telah mengenal dan sering berdialog dengan KH. Maman sebelum menjadi anggota DPR RI. KH. Maman atau akrab disapa Kang Maman ini memang sejak lama telah aktif membela kaum-kaum marjinal dan mendukung pluralisme dan keberagaman di Indonesia.

Saya akui, mengikuti dialog dengan kaum LGBT ini adalah pengalaman baru dan ini yang pertama bagi saya. Saya mendapati perspektif saya – sebelum dan sesudah mengikuti audiensi – jauh berubah dalam memandang isu tersebut. Seperti yang dikatakan teoritisi yang mengulas GSB, mereka berbeda dengan ‘politik lama’ yang didominasi isu kelas dan isu distribusional. Meski masih menyuarakan tuntutan material (kesempatan kerja dan persamaan gaji, keadilan sosial, perdagangan yang jujur, dll)

Dalam audiensi yang dilakukan dalam ruangan rapat Fraksi PKB di Gedung Nusantara I DPR RI tersebut, aktivis-aktivis LGBT fasih menyuarakan keadilan konstitusional mereka sebagai warga negara, seperti mempertanyakan bagaimana negara menjamin keamanan warga negara dan Hak Asasi manusia tanpa membedakan orientasi sexual.

Mereka mempertanyakan hak konstitusional tersebut karena dalam kehidupan mereka sering medapati kesulitan ketika berhadapan dengan administrasi birokrasi karena alasan transgender. Bila saya diperkenankan untuk menyederhanakan inti dari tuntutan kawan-kawan LGBT ini adalah keinginan mereka untuk diakui oleh negara, pengakuan oleh negara ini dalam artian adanya peraturan hukum yang tetap untuk menjamin dan melindungi keberadaan dan perbedaan mereka. Mengutip salah satu pernyataan personal mereka;Jpeg

“kami adalah minoritas yang tidak diakui dalam pembuatan kebijakan negara (not recognizing)”.

Meskipun kedatangan kelompok LGBT ini untuk beraudiensi dengan anggota DPR RI merupakan penyimpangan dari karakter GSB sebenarnya, namun apa yang mereka lakukan telah tepat bila melihat kondisi faktual sosial, politik dan budaya di Indonesia. Seperti yang saya katakan sebelumnya tahapan kemunculan GSB di Indonesia tentunya tidak mengikuti tahapan serupa yang dialami masyarakat barat. Dengan itu cara mereka berjuang untuk eksistensi dan mengaktualisasikan diri dan komunitas juga berbeda.

Aktivis GSB umumnya berusia muda, berpendidikan universitas atau akademi, dari latar belakang kelas menengah atau kelas ‘menengah baru’ dan tidak patriarkhi. Maka dari itu kebaruan GSB umumnya berasal dari tantangannya terhadap keadaan teori dan ideologi yang mapan di masa kemunculannya. Gerakan ini menantang stabilitas sekaligus menantang legitimasi masyarakat-masyarakat demokrasi liberal. Organisasi mereka tidak bersifat elektoral birokratis tetapi lebih cair, partisipatif bahkan anarkistis. Mereka tidak menggunakan saluran konvensional seperti pemungutan suara (pemilu), kegiatan lobi (Lobbying), mencalonkan diri tetapi menggunakan protes tanpa kekerasan (civil disobedience), aksi mogok atau boikot (direct action) yang dilakukan berulang-ulang.

Perbedaan cara perjuangan ini dapat kita lihat sebagai taktik kelompok LGBT, yang masih terlalu ringkih untuk bertahan dengan kekuatan mereka sendiri dalam kondisi sosial, politik dan budaya di Indonesia sekarang ini. Menggunakan kesolidan kelompok dan kuantitas mereka untuk mendukung partai tertentu – yang mau mengusung isu mereka – dalam sebuah kontestasi elektoral adalah strategi politik yang paling masuk akal saat ini.

[1] David West, Gerakan-gerakan Sosial Baru, dalam Gerald F. Gaus & Chandran Kukathas Hand Book Teori Politik,

[2] Masyarakat Indonesia mungkin lebih kenal dengan singkatan LGBT saja tanpa tambahan IQ

Depok, 10 Desember 2014

Iklan