Awal Pemberontakan Petani dimasa Kolonial

Bagi petani, tanah tidak hanya sebagai komoditas ekonomi, tapi juga bermakna sosial dan keamanan. Dari sisi makna ekonomis, tanah merupakan tempat sumber makanan, tempat mencari penghidupan, sebagai tempat melakukan aktivitas produktif, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Makna sosial tanah berarti eksistensi diri, sebagai tempat untuk menemukan dirinya secara utuh, bahkan tanah merupakan simbol status sosial di dalam masyarakat. Dalam makna keamanan, tanah akan membawa rasa aman tertentu bagi petani jika sesuatu terjadi pada diri mereka, yang berarti tanah membawa efek psikologis bagi petani.

Dari berbagai sudut pandang tersebut jelas terlihat tanah menempati kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena tanah merupakan modal utama, disanalah tempat atau pangkal dari budaya petani itu sendiri. Ketika kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani, tanah memiliki nilai yang begitu besar. Didalam beberapa kebudayaan, tanah bahkan dipandang sebagai istri kedua.

Singkatnya tanah memiliki makna yang multidimensional bagi kaum petani. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara sosial tanah dapat menetukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan warisan dan masalah-masalah transendental.

Analisa tentang latar belakang pergerakan

Studi yang dilakukan oleh Scott (1974 dan 1989) dan Popkin (1976) di pedesaan Asia mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa kolonial, memperlihatkan terdapatnya empat faktor utama penyebab kemarahan kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif.

Perubahan struktur agraria di pedesaan Asia, khususnya Jawa, dipengaruhi adanya sistem kolonialisme. Melalui kolonialisme, desa-desa di Asia terintegrasi dengan sistem kapitalis dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalis merupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten. Eksploitasi kolonial ditambah dengan tekanan demografi yang semakin meningkat, mengakibatkan rusaknya pola-pola yang sudah ada, serta mengkhianati sendi-sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etika subsistensi (Scott, 1976).

Kartodirjo (1991) berpendapat bahwa terdapat dua transformasi penting di era kolonial. Pertama, pengalihan secara besar-besaran disektor pertanian, dari yang semula merupakan pertanian subsisten menjadi pertanian yang berorientasi ekspor. Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi dan militer untuk mengontrol wilayah jajahan.

Salah satu bentuk transformasi tersebut mengejawantah dalam bentuk perkebunan – perkebunan besar. Pengenalan sistem pertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas dari tangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarap buruh tani upahan dan buruh perkebunan.

Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur – angsur telah menghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agraria yang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga – keluarga petani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula ada pada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial sama sekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadap fluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984)

Situasi pra kolonial

VOC datang di nusantara pada mulanya adalah sebagai pedagang, dengan demikian tujuannya hanya untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Kebijaksanaan Kompeni di pulau Jawa semakin tampak, yaitu ketika melalui raja jawa atau kaki tangannya meminta agar rakyat menyerahkan hasil tanaman yang dapat diperdagangkan di eropa, baik dilakukan secara sukarela maupun dengan cara paksa. (Suyono,2005)

Masa kejatuhan VOC dan diambil alihnya utang-utang oleh pemerintah Belanda, boleh dikatakan merupakan awal mula diterapkannya politik pemerintahan di pulau jawa. Marsekal H.W. Daendels, ketika menjadi gubernur Jenderal dan memerintah dari tahun 1808 hingga 1811, mendapat instruksi dari raja untuk lebih memperhatikan pertahanan militer, perbaikan administrasi, dan ekonomi.

Kebijaksanaan Daendels dalam penyerahan hasil bumi secara paksa, pada dasarnya mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh VOC. Beberapa produk hasil bumi, antara lain kopi, tetap dipaksakan penanamannya maupun penyerahan hasilnya. Diwaktu kemudian, Daendels dapat menyombongkan diri dengan mengatakan, bahwa pada masa kekuasaanya hasil kopi meningkat dari 27 juta menjadi 72 juta.(Suyono,2005)

Sesudah Perang Jawa yang menghabiskan banyak biaya dipihak belanda, diusahakan agar di nusantara dilaksanakan politik atau kebijaksanaan yang baru. Zaman VOC sudah berlalu dan penduduk nusantara harus mulai insyaf bahwa mereka adalah milik dari pemerintah belanda, dimana pemerintah belanda memerlukan uang.

Untuk itu pada pertengahan abad 18, untuk yang pertama di pulau jawa, dibuat peraturan yang mengatur bahwa nusantara, dalam hal ini pulau Jawa, dibebani sebagai penghasil uang. Dengan demikian tindakannya akan melebihi dari zaman kompeni (VOC). Untuk mewujudkan maksudnya itu, segenap pasukannya diperintahkan masuk ke pedalaman, guna mengalahkan raja dan penduduk disana yg membangkang. Dengan cara itu Belanda akan lebih dapat mengambil keuntungan yang dihasilkan oleh daerah itu.

Kekuasaan yang dimiliki raja juga dibuat semakin menciut, oleh karena itu setiap Sultan, Sunan, dan Bupati, disertai dengan seorang residen Belanda dalam menjalankan kekuasaannya. Meskipun pendamping Belanda tersebut katanya hanya akan bertindak sebagai penasehat, namun pada kenyataannya dialah yang memegang pemerintahan.

Residen Belanda, pada dasarnya mempunyai kewajiban untuk menjadikan daerah yang dikuasainya sebagai daerah produktif untuk hasil bumi yang mempunyai nilai jual yang tinggi di pasar eropa. Sehingga dengan demikian, kekayaan nusantara bisa menjadi sumber awal bagi terciptanya kekayaan negeri belanda. Meskipun seakan-akan ada upaya pula untuk memperbaiki nasib anak negeri, tetapi biasanya itu hanya merupakan upaya selingan, bukan merupakan maksud utama.

Tujuan utama adalah, Nusantara terutama pulau jawa harus diperas sampai kering. Antara tahun 1831 hingga 1877, uang yang dihasilkan pulau Jawa mencapai 823.000.000 gulden. Uang sebanyak itu mengalir ke negeri Belanda, untuk keperluan kas kerajaan belanda. Dengan uang ini pula, hutang-hutang negeri belanda dapat terlunasi, karena hutang hindia belanda pada tahun 1829 berjumlah 37.700.000 gulden. Segala upaya telah dicoba, dan akhir dari jawaban itu adalah pelaksanaan kultur-stelsel yang mampu menghasilkan keuntungan finansial bagi negeri belanda.

Cultuurstelsel dapat diartikan sebagai tatanan atau aturan penanaman. Pada tahun 1928, johannes van den bosch diangkat sebagai gubernur jenderal. sebelum diangkat menjadi gubernur jenderal, van den bosch telah memberi saran atas laporan kolonial yang dibuat oleh pendahulunya, yaitu L.P.J. burggraaf du Bus du Gisignies.

Laporan itu dibuat atas perintah raja Wilhelm I, dimana raja ingin memperoleh saran mengenai cara terbaik untuk memerintah Hindia belanda. Dapat dikatakan, laporan itu merupakan dasar bagi rencana liberal klasik pemerintahan modern. Menurut rencana itu, masuknya modal eropa di hindia Belanda harus mendapat kebebasan penuh, agar pertanian dapat berkembang dan hasilnya harus laku dipasaran dunia.

Orang-orang eropa akan diberi ijin menguasai tanah dengan hak sewa atau erfpacht. Hak itu akan diberikan ditempat-tempat yang padat penduduknya, sehingga penduduk pribumi akan mnyesuaikan diri seiring dengan desakan hokum ekonomi. Penduduk pribumi akan bekerja sebagai penggarap tanah dibeberapa onderneming yang dibangun oleh orang-orang eropa.

Sebetulnya kuultur stelsel adalah eksploitasi industri agraris terhadap pertanian di pulau Jawa. Sebagai dasar operasional sistem itu adalah tiap petani di pulau jawa diharuskan menyerahkan seperlima dari tanah yang dimiliki untuk ditanami produk tanaman yang diwajibkan oleh gubermen. Sistem itu dijalankan, dimana pemerintah kolonial akan memanfaatkan wibawa dan pengaruhnya untuk memaksa penduduk pribumi, yaitu menanam produk tanaman tropis yang laku di pasaran eropa. Dengan harga sepihak yang ditentukan oleh pemerintah. Pada akhirnya produk-produk itu dijual demi kepentingan keuangan pemerintahan hindia belanda.

Pelaksanaan cultuurstelsel ternyata dibatasi hanya di pulau jawa saja dan didaerah lain langsung berada dibawah Pemerintahan Belanda. Dalam Cultuurstelsel, pemerintahan belanda menentukan jenis tanaman yang harus ditanam. Jenis tanaman yang diutamakan adalah, kopi, tebu, dan indigo. Lalu kemudian tembakau, teh, merica, dan kayu manis.

Untuk itu tidak hanya tenaga kerja dari petani saja yang dipakai, melainkan juga tanahnya termasuk yang biasanya untuk penanaman padi disawah. Bagi penduduk, selain mengerjakan perkebunan berdasarkan cultuurstelsel, juga mempunyai tugas mengerjakan hasil perkebunannya sebelum dikapalkan, termasuk pengangkutannya.

Menurut teori, sistem itu tidak akan menyengsarakan para petani. Tetapi dalam praktek, terutama bagi petani yang sudah miskin, sistem tersebut merupakan beban yang berat.

Reaksi dan Perlawanan Politik Petani

Hal yang menarik justru terlihat dalam karakteristik petani itu sendiri. Keadaan yang sudah sedemikian buruk ternyata belum cukup untuk membuat petani berontak untuk melawan. Sifat evolusi petani yang amat sangat terbiasa hidup dalam kesusahan membuat mereka sudah tertempa untuk dapat mempergunakan berbagai cara untuk mempertahankan tingkat subsistensi mereka.

Aksi perlawanan petani baru dapat terjadi apabila terjadi kemerosotan ekonomi secara mengejutkan, dimana hal tersebut dibarengi dengan peningkatan eksploitasi yang dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Ekploitasi yang dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak petani, dan hampir terjadi diseluruh wilayah, serta dapat mengancam jaring pengaman sosial mereka atas sumber – sumber subsistensial, maka besar sekali kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.

Pelaksanaan cultuurstelsel di satu sisi memberikan keuntungan yang luar biasa bagi pemerintah Belanda. Tercatat sampai akhir tahun 1870, keuntungan yang diperoleh pemerintah Belanda mencapai 725 juta gulden, yang kemudian dapat untuk membayar hutang-hutang mereka dan menjadi bagian terbesar yang menopang anggaran belanja negeri Belanda.

Tetapi di sisi lain, menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang amat sangat di kalangan kaum tani. Bencana kelaparan dan penyakit menyerang massa rakyat khususnya kaum tani di Jawa. Krisis ekonomi melanda pulau Jawa secara luas pada akhir tahun 1880. Dan data sejarah mencatat, terjadi tragedi memilukan karena tingginya tingkat kematian akibat bencana kelaparan dan penyakit sehingga setengah dari jumlah penduduk Jawa berkurang.

Scott (1976) mencoba menjelaskan bahwa lingkup dan sifat dari kejutan-kejutan eksploitasi memiliki arti penting. Besarnya lingkup kejutan atas eksploitasi dapat menjadi suatu alasan kolektif petani dalam jumlah besar untuk bertindak. Terlebih lagi, apabila kejadian tersebut datang secara tiba-tiba sehingga petani sulit untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi beban tambahan dan tingkat subsistensinya.

Pemberontakan yang terjadi di pedesaan Jawa sebagian besar disebabkan karena pengambilalihan tanah dalam jumlah yang sangat banyak untuk digunakan usaha-usaha perkebunan. Ketika dunia dilanda depresi besar pada tahun 1930-an yang juga amat berdampak pada struktur perekonomian kolonial, terjadi ratusan pemberontakan petani dalam rangka menentang pungutan pajak yang dilakukan oleh negara (Kuntowijoyo, 1993).

Sartono Kartodirdjo dalam bukunya yang berjudul “Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrests in The Nineteenth and Twentieth Centuries” menjelaskan bahwa ada beberapa topologi gerakan petani. Tipe-tipe itu adalah anti penghisapan (anti-extortion), gerakan mesianistis, gerakan revivalisme, dan gerakan sektarian, dan gerakan lokal Sarekat Islam.

Gerakan anti penghisapan (anti-extortion) merupakan gerakan yang terjadi di tanah partikelir, yaitu wilayah yang dibeli oleh swasta dari Belanda. Agitasi kaum petani yang timbul di tanah partikelir sepanjang abad XIX dan awal XX merupakan suatu gejala historis dari masyarakat petani pribumi.

Sejarawan Indonesia Onghokham mengemukakan bahwa semenjak perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 sampai permulaan pergerakan nasional pada tahun 1908, diperkirakan terdapat lebih dari 100 pemberontakkan atau keresahan petani. Itu berarti hampir setiap tahun ada saja onrust atau uproar (kerusuhan), sifatnya lokal dan mudah ditindas, termasuk peristiwa paling spektakuler yakni pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888.

Pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888 menjadi puncak perlawanan kaum tani terhadap penguasa penjajah dan kaki tangan pribuminya sepanjang abad 19 dan menjelang abad 20. Pemberontakkan petani Banten juga dilatarbelakangi oleh beban berat penderitaan kaum tani dan kebencian yang amat dalam terhadap penguasa Belanda maupun juga penguasa pribumi (Bupati dan Residen) yang dianggap sebagai antek-antek Belanda.

Pemberontakan tersebut terjadi di wilayah Banten, Lebak dan juga sampai ke daerah Batavia. Pemimpin pemberontakkan berasal dari kalangan ulama yaitu kyai/tubagus maupun para jawara. Namun demikian pemberontakkan petani Banten tersebut dapat ditumpas dengan mudah karena seperti halnya karakter gerakan perlawanan kaum tani sebelum abad 20, masih bersifat lokal, kedaerahan, dan dipimpin oleh tokoh feodal lokal.

Pustaka

Fajrin, Mochammad. “Dinamika Gerakan Petani: Kemunculan Dan Kelangsungannya. Bogor: PDF File skripsi IPB. 2011

Kartodirjo, Sartono. “Pemberontakan Petani Banten 1888.” Jakarta : Pustaka

Jaya. 1984.

Kuntowijoyo. “Radikalisasi Petani : Esai – Esai Sejarah.” Yogyakarta :

Bentang Intervisi Utama. 1993

Popkin, Samuel L. “Petani Rasional.” Jakarta : Penerbit Yayasan Padamu

Negeri. 1986

Scott, James C. “The Moral Economy Of The Peasant”, New Heaven : Yale

University Press. 1976

Suyono, Capt. R.P. “Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial.” Jakarta: Grasindo. 2005

Iklan

Apa peran Gubernur dalam Konflik Agraria di Sumut?

Konflik agraria di tanah air terkuak satu persatu, ironisnya, hal ini terkuak ketika sudah menjadi konflik yang melibatkan bentrokan fisik yang memakan korban jiwa. Seperti yang kita ketahui bahwa kasus Mesuji di Lampung dan Bima adalah puncak dari keseluruhan gunung es konflik agraria di Indonesia saat ini. Konflik agraria tersebar merata keseluruh negeri hingga mencapai ribuan konflik. Namun dari banyak konflik tersebut tidak akan semua terpublikasi di media dan sampai ke kuping pemerintah daerah apalagi pemerintah pusat.

Konflik tanah adalah bom waktu, di Sumatera Utara sengketa tanah yang ditangani Polda Sumut sampai tahun 2011 sudah mencapai 2833 kasus. Dari seluruh wilayah Indonesia, Sumut merupakan wilayah yang sangat tinggi intensitasnya dalam hal konflik soal tanah. Tidak heran mengapa Sumatera Utara merupakan wilayah dengan jumlah konflik tanah yang tinggi, karena sejak awal Sumatera Utara yang dahulunya adalah karesidenan Sumatera Timur merupakan lokasi perkebunan yang dirintis oleh pedagang dan pebisnis Belanda dengan komoditi pertama sekali yang ditanam secara massif adalah tembakau.

Pembukaan perkebunan secara luas dan komersial pada waktu itu dilakukan atas kongkalikong pengusaha Belanda dan Kesultanan Deli dengan menyewakan tanah komunal yang subur kepada perusahaan asing dengan sistem konsesi dengan Kesultanan tanpa melibatkan penguasa setempat (datok) dan rakyat. Segera saja kebijakan sewenang-wenang Sultan Deli menuai konflik dimasa itu. Perang Sunggal (1872) adalah salah satu contoh perjuangan rakyat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari ekspansi perkebunan asing. Perang ini berlangsung dalam kurun waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa tanah di Sumut yang menghadapkan rakyat dengan perusahaan perkebunan dibawah kendali Belanda. Perang Sunggal sendiri melibatkan berbagai etnis di Sumut pada waktu itu, dalam Perang Sunggal ini etnis Karo dibantu oleh etnis Aceh dan Melayu.

Perkebunan kelapa sawit komersial pertama pun dibuka di Sumatera Utara seratus tahun yang lalu (1911) di Tanah Itam hulu. Sehingga Sumatera Utara adalah pilot project bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit modern sekaligus memimpin kasus perampasan tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan industri. Sebagian besar Perkebunan yang ada pada saat ini adalah peninggalan kolonial belanda dan perusahaan perkebunan nasional melestarikan semangat budaya feodal kolonial dalam perusahaannya. Tanah yang pada awalnya bebas dan dapat dimanfaatkan seluruh orang kini dikuasai perusahaan-perusahaan negara maupun swasta, dan rakyat diusir dengan intimidasi dan streotip pemberontak dan PKI apabila tetap bertahan. Namun kini, penguasaan perusahaan atas tanah yang didasarkan pada perampasan itu kini mulai terkuak, karena rakyat semakin sadar akan haknya dan semakin kondusifnya keterbukaan informasi.

Bagaimana kondisi sekarang?

Seratus tahun lebih sudah semenjak pengembangan perkebunan komersial secara luas di Sumatera Utara, demografi penduduk pasti sudah banyak berubah. Jumlah penduduk dan tingkat ekonomi yang beragam sudah tentu tidak serasi lagi dengan penataan tanah dan lingkungan yang sama dengan perkebunan seratus tahun yang lalu.

Redistribusi lahan adalah solusi untuk menekan konflik agraria di masyarakat, dan pemerintah harus berani melakukannya. Redistribusi dalam konteks pembaruan agraria bukanlah bagi-bagi tanah, melainkan mengubah struktur sosial ekonomi kepemilikan tanah. Atau bisa disebut redistribusi tanah itu mengatur kembali sebaran tanahnya. Apabila 12 persen penduduk menguasai 70 persen tanah sementara sementara 50 persen penduduk lainnya menguasai kurang dari 10 persen, itu artinya timpang. Dan sebaran yang timpang itu direstrukturisasi dengan redistribusi tanah. Begitupun sasaran distribusi juga diatur, dan jelas sudah pada Undang-undang Pembaruan Agraria No.5 tahun 1960. Prinsip pembaruan agraria adalah tanah untuk penggarapnya, sehingga rakyat di desa yang bukan petani contohnya, tidak berhak atas redistribusi lahan. Dengan melakukan redistribusi lahan melalui dasar hukum dan mekanisme yang tepat pemerintah dapat menghindari kelompok atau oknum mafia tanah.

Alm. Tengku Rizal Nurdin saat menjabat Gubsu pada tahun 2002 pernah memerintahkan redistribusi lahan eks HGU PTPN II seluas 5873 Ha untuk petani penggarap. Kebijakan itu diambil didasari karena lahan PTPN II itu kerap menjadi sumber konflik. Lahan seluas 5873 Ha itu terhampar di kabupaten Deli serdang, kabupaten Langkat dan kota Binjai. Namun hingga kini redistribusi itu tidak terlaksana dan kian kabur pelaksanaanya mengingat gubernur sumut yang menggagasnya meninggal dalam masa tugasnya.

Gubernur setelahnya hingga saat ini belum menunjukkan kemauan politik yang baik untuk menuntaskan redistribusi itu walaupun desakan dari rakyat telah dilakukan berkali-kali. Entah apalagi yang ditunggu oleh Gubernur Sumatera Utara saat ini untuk membenahi konflik tanah yang semakin terbuka di sumatera utara ini. Bukankah dengan menyelesaikan paling tidak sebagian kecil dari konflik yang ada akan menunjukkan bahwa ia memiliki political will yang baik untuk mensejahterakan rakyat Sumut. Sebaliknya jika Gatot sebagai Gubsu lamban dan salah langkah menata isu ini, bukan saja ia akan di cap sebagai pembual, namun desakan agar ia mundur dari tampuk kepemimpinan sumut akan semakin besar dan tentu saja ini mendapat dukungan dari lawan-lawan politik. Pemprov seharusnya terdepan dan aktif turun ke rakyat menuntaskan konlik agraria di Sumut dan permasalahan rakyat lainnya.

Apapun niatannya, rakyat petani tidak ingin gubernur pilihannya meninggalkan mereka begitu saja. Tidak ada kebijakan yang melindungi mereka dalam mempertahankan hak mereka memiliki tanah untuk bertani. Ketimpangan penguasaan tanah harus diselesaikan agar konflik tidak meluas, berikan tanah untuk petani. Jangan mendekati petani hanya ketika momen pemilu saja, kaum tani punya kesabaran dan kaum tani juga punya perut untuk diisi.

Medan, Januari 2012