Apa peran Gubernur dalam Konflik Agraria di Sumut?

Konflik agraria di tanah air terkuak satu persatu, ironisnya, hal ini terkuak ketika sudah menjadi konflik yang melibatkan bentrokan fisik yang memakan korban jiwa. Seperti yang kita ketahui bahwa kasus Mesuji di Lampung dan Bima adalah puncak dari keseluruhan gunung es konflik agraria di Indonesia saat ini. Konflik agraria tersebar merata keseluruh negeri hingga mencapai ribuan konflik. Namun dari banyak konflik tersebut tidak akan semua terpublikasi di media dan sampai ke kuping pemerintah daerah apalagi pemerintah pusat.

Konflik tanah adalah bom waktu, di Sumatera Utara sengketa tanah yang ditangani Polda Sumut sampai tahun 2011 sudah mencapai 2833 kasus. Dari seluruh wilayah Indonesia, Sumut merupakan wilayah yang sangat tinggi intensitasnya dalam hal konflik soal tanah. Tidak heran mengapa Sumatera Utara merupakan wilayah dengan jumlah konflik tanah yang tinggi, karena sejak awal Sumatera Utara yang dahulunya adalah karesidenan Sumatera Timur merupakan lokasi perkebunan yang dirintis oleh pedagang dan pebisnis Belanda dengan komoditi pertama sekali yang ditanam secara massif adalah tembakau.

Pembukaan perkebunan secara luas dan komersial pada waktu itu dilakukan atas kongkalikong pengusaha Belanda dan Kesultanan Deli dengan menyewakan tanah komunal yang subur kepada perusahaan asing dengan sistem konsesi dengan Kesultanan tanpa melibatkan penguasa setempat (datok) dan rakyat. Segera saja kebijakan sewenang-wenang Sultan Deli menuai konflik dimasa itu. Perang Sunggal (1872) adalah salah satu contoh perjuangan rakyat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari ekspansi perkebunan asing. Perang ini berlangsung dalam kurun waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa tanah di Sumut yang menghadapkan rakyat dengan perusahaan perkebunan dibawah kendali Belanda. Perang Sunggal sendiri melibatkan berbagai etnis di Sumut pada waktu itu, dalam Perang Sunggal ini etnis Karo dibantu oleh etnis Aceh dan Melayu.

Perkebunan kelapa sawit komersial pertama pun dibuka di Sumatera Utara seratus tahun yang lalu (1911) di Tanah Itam hulu. Sehingga Sumatera Utara adalah pilot project bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit modern sekaligus memimpin kasus perampasan tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan industri. Sebagian besar Perkebunan yang ada pada saat ini adalah peninggalan kolonial belanda dan perusahaan perkebunan nasional melestarikan semangat budaya feodal kolonial dalam perusahaannya. Tanah yang pada awalnya bebas dan dapat dimanfaatkan seluruh orang kini dikuasai perusahaan-perusahaan negara maupun swasta, dan rakyat diusir dengan intimidasi dan streotip pemberontak dan PKI apabila tetap bertahan. Namun kini, penguasaan perusahaan atas tanah yang didasarkan pada perampasan itu kini mulai terkuak, karena rakyat semakin sadar akan haknya dan semakin kondusifnya keterbukaan informasi.

Bagaimana kondisi sekarang?

Seratus tahun lebih sudah semenjak pengembangan perkebunan komersial secara luas di Sumatera Utara, demografi penduduk pasti sudah banyak berubah. Jumlah penduduk dan tingkat ekonomi yang beragam sudah tentu tidak serasi lagi dengan penataan tanah dan lingkungan yang sama dengan perkebunan seratus tahun yang lalu.

Redistribusi lahan adalah solusi untuk menekan konflik agraria di masyarakat, dan pemerintah harus berani melakukannya. Redistribusi dalam konteks pembaruan agraria bukanlah bagi-bagi tanah, melainkan mengubah struktur sosial ekonomi kepemilikan tanah. Atau bisa disebut redistribusi tanah itu mengatur kembali sebaran tanahnya. Apabila 12 persen penduduk menguasai 70 persen tanah sementara sementara 50 persen penduduk lainnya menguasai kurang dari 10 persen, itu artinya timpang. Dan sebaran yang timpang itu direstrukturisasi dengan redistribusi tanah. Begitupun sasaran distribusi juga diatur, dan jelas sudah pada Undang-undang Pembaruan Agraria No.5 tahun 1960. Prinsip pembaruan agraria adalah tanah untuk penggarapnya, sehingga rakyat di desa yang bukan petani contohnya, tidak berhak atas redistribusi lahan. Dengan melakukan redistribusi lahan melalui dasar hukum dan mekanisme yang tepat pemerintah dapat menghindari kelompok atau oknum mafia tanah.

Alm. Tengku Rizal Nurdin saat menjabat Gubsu pada tahun 2002 pernah memerintahkan redistribusi lahan eks HGU PTPN II seluas 5873 Ha untuk petani penggarap. Kebijakan itu diambil didasari karena lahan PTPN II itu kerap menjadi sumber konflik. Lahan seluas 5873 Ha itu terhampar di kabupaten Deli serdang, kabupaten Langkat dan kota Binjai. Namun hingga kini redistribusi itu tidak terlaksana dan kian kabur pelaksanaanya mengingat gubernur sumut yang menggagasnya meninggal dalam masa tugasnya.

Gubernur setelahnya hingga saat ini belum menunjukkan kemauan politik yang baik untuk menuntaskan redistribusi itu walaupun desakan dari rakyat telah dilakukan berkali-kali. Entah apalagi yang ditunggu oleh Gubernur Sumatera Utara saat ini untuk membenahi konflik tanah yang semakin terbuka di sumatera utara ini. Bukankah dengan menyelesaikan paling tidak sebagian kecil dari konflik yang ada akan menunjukkan bahwa ia memiliki political will yang baik untuk mensejahterakan rakyat Sumut. Sebaliknya jika Gatot sebagai Gubsu lamban dan salah langkah menata isu ini, bukan saja ia akan di cap sebagai pembual, namun desakan agar ia mundur dari tampuk kepemimpinan sumut akan semakin besar dan tentu saja ini mendapat dukungan dari lawan-lawan politik. Pemprov seharusnya terdepan dan aktif turun ke rakyat menuntaskan konlik agraria di Sumut dan permasalahan rakyat lainnya.

Apapun niatannya, rakyat petani tidak ingin gubernur pilihannya meninggalkan mereka begitu saja. Tidak ada kebijakan yang melindungi mereka dalam mempertahankan hak mereka memiliki tanah untuk bertani. Ketimpangan penguasaan tanah harus diselesaikan agar konflik tidak meluas, berikan tanah untuk petani. Jangan mendekati petani hanya ketika momen pemilu saja, kaum tani punya kesabaran dan kaum tani juga punya perut untuk diisi.

Medan, Januari 2012

Iklan