Belakangan pro dan kontra akan kehadiran mobil murah semakin sengit dibicarakan. Bahkan ada beberapa kepala daerah jelas-jelas menolak kehadiran jenis kendaraan yang katanya ramah lingkungan dan ramah di kantong konsumen ini. Isu mengenai LCGC atau lebih sering dipadankan dengan sebutan mobil murah sudah mulai terdengar sejak setahun terakhir ini. Setelah segala aturannya dikeluarkan pemerintah dan mobilnya diproduksi, LCGC kian menjadi buah bibir apalagi setelah sukses diperkenalkan di IIMS 2013.
LCGC secara konsep terlihat seperti proyek visioner pemerintah nasional, pemerintah seakan-akan memiliki visi ke depan bagaimana mewujudkan mobil yang dapat terjangkau oleh kebanyakan warga negara dan meningkatkan perekonomian nasional dari sektor otomotif. Lalu kenapa muncul pro dan kontra terhadap kehadirannya?
Terasa janggal memang, entah kenapa keberadaan visi ini bukannya malah mendorong terwujudnya cita-cita mobil Nasional yang sesungguhnya. Yang terjadi adalah para ATPM yang menjadi perpanjangan tangan merek mobil asing sebagai penguasa pasar otomotif nasional diberi misi untuk menciptakan mobil sesuai ‘visi’ pemerintah tadi. Maka muncul lah konsep Low Cost Green Car (LCGC) yang secara harfiah berarti konsep mobil yang murah ongkosnya (baik produksi ataupun perawatannya) serta ramah lingkungan.
Kategori yang disusun pemerintah untuk LCGC adalah mobil dengan spesifikasi; harga berkisar antara 50 juta sampai 85 Juta Rupiah, konsumsi BBM paling tidak mencapai 20 Km/liter, dan menggunakan bahan baku dalam negeri sedikitnya 60% dari seluruh komponennya.
Lalu bagaimana dengan kenyataannya? Benarkah mobil ini murah? Harga mobil tersebut setelah resmi di rilis berkisar antara 75-120 juta Rupiah. Ternyata memang benar ‘murah’ dibandingkan dengan mobil keluarga kelas menengah yang berkisar antara 150-200 jutaan. Jelas sekali kata ‘murah’ disini merupakan trik marketing, kata ‘murah’ akan memanipulasi psikologi masyarakat sebagai pangsa pasar produk ini.
Mental masyarakat dikondisikan untuk menerima bahwa produk ini memang murah dan layak dibeli. Bahwa kata ‘murah’ hanyalah manipulasi psikologis konsumen dalam marketing diperkuat dengan kenyataan dilapangan, saya mengambil contoh produk LCGC termurah dari Daihatsu yaitu AYLA tipe D manual seharga 75,5 juta. Pihak Daihatsu menjelaskan AYLA dengan harga itu adalah tipe sangat standar; tidak ada power steering, AC, bahkan Audio. Sementara peleknya pelat baja tanpa dop dan ban diameter 13 Inch. Mereka mengakui bahwa harga di angka 75 juta hanyalah harga psikologis. Bayangkan mobil seperti ini digunakan di jalanan kota yang macet dan panas? Pemiliknya malah harus mengeluarkan biaya lebih banyak lagi jika ingin membuat mobil ini nyaman atau lebih gaya. Low Cost?
Low Cost sudah terbantahkan, bagaimana dengan prinsip Green Car -nya? Faktanya tidak ada teknologi baru yang digunakan dalam mobil-mobil LCGC ini, kapasitas mesin kecil bukanlah indikator sebuah kendaraan disebut ‘green’. LCGC jelas bukan mobil listrik atau hybrid yang teknologinya masih mahal. Mobil pengguna bahan bakar fosil (BBM) dengan jumlah yang massif dan bertumpuk dikemacetan tidaklah sesuai dengan semangat ‘green car’.
Harga murah juga karena dukungan ‘fasilitas’ dari pemerintah. Dengan keluarnya PP nomor 41 Tahun 2013 yang membebaskan mobil kategori LCGC dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) serta pembebasan beamasuk suku cadang-nya. Kebijakan ini jelas-jelas menguntungkan ATPM dan merugikan negara karena kehilangan potensi pendapatan dari pajak tersebut.
Kebijakan meluncurkan LCGC ini menimbulkan paradoks dengan komitmen-komitmen populis yang sebelumnya dilontarkan pemerintah seperti ingin mengurangi kemacetan di kota-kota besar, penghematan penggunaan BBM, serta gencarnya pemerintah mengejar target pendapatan negara dari sektor pajak. Kemacetan sudah bisa dipastikan semakin parah karena masyarakat yang kecewa dengan kondisi transportasi umum dan merasa memiliki kemampuan, pasti lebih memilih membeli mobil ini. masyarakat yang biasanya jadi pemakai jasa transportasi umum perlahan akan beralih menjadi pengguna kendaraan pribadi.
Penghematan pemakaian BBM hanya tinggal slogan saja, di satu sisi pemerintah kalang kabut memenuhi konsumsi BBM nasional, tapi disisi lain mendorong penjualan dan pemakaian mobil, aneh. Lebih aneh lagi pemerintah rela kehilangan pendapatan dari pajak pembelian mobil agar mobil-mobil tersebut lebih cepat diserap pasar, keuntungan bagi ATPM, kerugian bagi negara.
Para pejabat yang mendukung LCGC dan individu awam yang senang dengan LCGC ini memandang bahwa ini adalah kesempatan bagi masyarakat atau dirinya bisa memiliki mobil. Kita tahu kekuatan Pasar dengan invisible hand-nya akan selalu menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru bagi mangsanya. Apa yang dulu mungkin bukan kebutuhan bagi sebahagian orang, tiba-tiba saja menjadi kebutuhan mendesak dengan rekayasa sosial dan psikologis, misalnya mencekoki masyarakat dengan iklan yang bertubi-tubi.
Masyarakat ‘dikondisikan’ untuk merasa butuh kendaraan pribadi dengan merampas haknya untuk mendapat sistem transportasi umum yang baik. Kondisi transportasi umum dibiarkan amburadul yang menghasilkan persepsi masyarakat memiliki kendaraan pribadi adalah yang pilihan yang terbaik. Masyarakat kelas menengah kebawah yang terpaksa membeli kendaraan seperti motor atau mobil bekas dan LCGC tentu bisa memenuhi kebutuhan lain yang lebih penting kalau mereka tidak terpaksa membeli kendaraan pribadi.
LCGC hanya memberikan ilusi kenaikan status sosial. Kenyataannya dengan kondisi seperti sekarang bila keluarga kelas menengah membeli mobil ini, ia akan menghambat peningkatan kesejahteraan penggunanya. Salah satu indikator sejahtera adalah tersedianya waktu senggang yang cukup, macet mengurangi kesejahteraan karena waktu senggang jadi hilang. Pembeli kendaraan pribadi yang mengorbankan kebutuhan lain yang juga penting, terjebak jadi penyumbang pajak dan pemberi keuntungan bagi pengusaha. Maka mobil murah adalah benar-benar ilusi yang diberikan lewat brand LCGC.
Ternyata LCGC sangat sedikit sekali manfaatnya bagi masyarakat dan lebih banyak menguntungkan ATPM dan produsen mobil tersebut. Tugas pemerintah adalah meringankan beban masyarakat banyak dan menyelenggarakan kegiatan ekonomi untuk kemakmuran rakyat bukan kemakmuran pengusaha. Jika kemacetan parah terjadi kemakmuran masyarakat akan menurun, biaya untuk transportasi dan bepergian semakin tinggi. Kerugian baik seperti waktu produktif yang terbuang dan waktu senggang sedikit. Dari segi kesehatan stress dan depresi akan menyerang masyarakat serta kerugian dari pemborosan BBM.
Bagaimanapun pemerintah yang terlihat seperti di dikte oleh perusahaan otomotif, dan perusahaan perbankan ini tidak bisa kita harapkan untuk membatalkan kebijakan mobil LCGC ini. Walaupun beberapa gubernur populis seperti Jokowi, Ganjar pranowo di Jateng, Sukarwo gubernur Jatim dan walikota bandung Ridwan Kamil menolak mobil murah. Penolakan mereka jelas karena ketakutan ledakan populasi mobil ini memperparah kemacetan di daerah mereka. Yang lebih penting lagi adalah kita sebagai warga negara harus sadar dan melepaskan diri dari manipulasi psikologis dari pengusaha dan pedagang yang melihat penduduk Indonesia hanya sebagai pasar empuk yang potensial, sialnya negara ini bukannya melindungi warganya malah berkolaborasi dengan mereka.
Depok, 4 November 2013