Tipu Muslihat dibalik wacana Mobil Murah

Belakangan pro dan kontra akan kehadiran mobil murah semakin sengit dibicarakan. Bahkan ada beberapa kepala daerah jelas-jelas menolak kehadiran jenis kendaraan yang katanya ramah lingkungan dan ramah di kantong konsumen ini. Isu mengenai LCGC atau lebih sering dipadankan dengan sebutan mobil murah sudah mulai terdengar sejak setahun terakhir ini. Setelah segala aturannya dikeluarkan pemerintah dan mobilnya diproduksi, LCGC kian menjadi buah bibir apalagi setelah sukses diperkenalkan di IIMS 2013.

LCGC secara konsep terlihat seperti proyek visioner pemerintah nasional, pemerintah seakan-akan memiliki visi ke depan bagaimana mewujudkan mobil yang dapat terjangkau oleh kebanyakan warga negara dan meningkatkan perekonomian nasional dari sektor otomotif. Lalu kenapa muncul pro dan kontra terhadap kehadirannya?

Terasa janggal memang, entah kenapa keberadaan visi ini bukannya malah mendorong terwujudnya cita-cita mobil Nasional yang sesungguhnya. Yang terjadi adalah para ATPM yang menjadi perpanjangan tangan merek mobil asing sebagai penguasa pasar otomotif nasional diberi misi untuk menciptakan mobil sesuai ‘visi’ pemerintah tadi. Maka muncul lah konsep Low Cost Green Car (LCGC) yang secara harfiah berarti konsep mobil yang murah ongkosnya (baik produksi ataupun perawatannya) serta ramah lingkungan.

Kategori yang disusun pemerintah untuk LCGC adalah mobil dengan spesifikasi; harga berkisar antara 50 juta sampai 85 Juta Rupiah, konsumsi BBM paling tidak mencapai 20 Km/liter, dan menggunakan bahan baku dalam negeri sedikitnya 60% dari seluruh komponennya.

Lalu bagaimana dengan kenyataannya? Benarkah mobil ini murah? Harga mobil tersebut setelah resmi di rilis berkisar antara 75-120 juta Rupiah. Ternyata memang benar ‘murah’ dibandingkan dengan mobil keluarga kelas menengah yang berkisar antara 150-200 jutaan. Jelas sekali kata ‘murah’ disini merupakan trik marketing, kata ‘murah’ akan memanipulasi psikologi masyarakat sebagai pangsa pasar produk ini.

Mental masyarakat dikondisikan untuk menerima bahwa produk ini memang murah dan layak dibeli. Bahwa kata ‘murah’ hanyalah manipulasi psikologis konsumen dalam marketing diperkuat dengan kenyataan dilapangan, saya mengambil contoh produk LCGC termurah dari Daihatsu yaitu AYLA tipe D manual seharga 75,5 juta. Pihak Daihatsu menjelaskan AYLA dengan harga itu adalah tipe sangat standar; tidak ada power steering, AC, bahkan Audio. Sementara peleknya pelat baja tanpa dop dan ban diameter 13 Inch. Mereka mengakui bahwa harga di angka 75 juta hanyalah harga psikologis. Bayangkan mobil seperti ini digunakan di jalanan kota yang macet dan panas? Pemiliknya malah harus mengeluarkan biaya lebih banyak lagi jika ingin membuat mobil ini nyaman atau lebih gaya. Low Cost?

Low Cost sudah terbantahkan, bagaimana dengan prinsip Green Car -nya? Faktanya tidak ada teknologi baru yang digunakan dalam mobil-mobil LCGC ini, kapasitas mesin kecil bukanlah indikator sebuah kendaraan disebut ‘green’. LCGC jelas bukan mobil listrik atau hybrid yang teknologinya masih mahal. Mobil pengguna bahan bakar fosil (BBM) dengan jumlah yang massif dan bertumpuk dikemacetan tidaklah sesuai dengan semangat ‘green car’.

Harga murah juga karena dukungan ‘fasilitas’ dari pemerintah. Dengan keluarnya PP nomor 41 Tahun 2013 yang membebaskan mobil kategori LCGC dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) serta pembebasan beamasuk suku cadang-nya. Kebijakan ini jelas-jelas menguntungkan ATPM dan merugikan negara karena kehilangan potensi pendapatan dari pajak tersebut.

Kebijakan meluncurkan LCGC ini menimbulkan paradoks dengan komitmen-komitmen populis yang sebelumnya dilontarkan pemerintah seperti ingin mengurangi kemacetan di kota-kota besar, penghematan penggunaan BBM, serta gencarnya pemerintah mengejar target pendapatan negara dari sektor pajak. Kemacetan sudah bisa dipastikan semakin parah karena masyarakat yang kecewa dengan kondisi transportasi umum dan merasa memiliki kemampuan, pasti lebih memilih membeli mobil ini. masyarakat yang biasanya jadi pemakai jasa transportasi umum perlahan akan beralih menjadi pengguna kendaraan pribadi.

Penghematan pemakaian BBM hanya tinggal slogan saja, di satu sisi pemerintah kalang kabut memenuhi konsumsi BBM nasional, tapi disisi lain mendorong penjualan dan pemakaian mobil, aneh. Lebih aneh lagi pemerintah rela kehilangan pendapatan dari pajak pembelian mobil agar mobil-mobil tersebut lebih cepat diserap pasar, keuntungan bagi ATPM, kerugian bagi negara.

Para pejabat yang mendukung LCGC dan individu awam yang senang dengan LCGC ini memandang bahwa ini adalah kesempatan bagi masyarakat atau dirinya bisa memiliki mobil. Kita tahu kekuatan Pasar dengan invisible hand-nya akan selalu menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru bagi mangsanya. Apa yang dulu mungkin bukan kebutuhan bagi sebahagian orang, tiba-tiba saja menjadi kebutuhan mendesak dengan rekayasa sosial dan psikologis, misalnya mencekoki masyarakat dengan iklan yang bertubi-tubi.

Masyarakat ‘dikondisikan’ untuk merasa butuh kendaraan pribadi dengan merampas haknya untuk mendapat sistem transportasi umum yang baik. Kondisi transportasi umum dibiarkan amburadul yang menghasilkan persepsi masyarakat memiliki kendaraan pribadi adalah yang pilihan yang terbaik. Masyarakat kelas menengah kebawah yang terpaksa membeli kendaraan seperti motor atau mobil bekas dan LCGC tentu bisa memenuhi kebutuhan lain yang lebih penting kalau mereka tidak terpaksa membeli kendaraan pribadi.

LCGC hanya memberikan ilusi kenaikan status sosial. Kenyataannya dengan kondisi seperti sekarang bila keluarga kelas menengah membeli mobil ini, ia akan menghambat peningkatan kesejahteraan penggunanya. Salah satu indikator sejahtera adalah tersedianya waktu senggang yang cukup, macet mengurangi kesejahteraan karena waktu senggang jadi hilang. Pembeli kendaraan pribadi yang mengorbankan kebutuhan lain yang juga penting, terjebak jadi penyumbang pajak dan pemberi keuntungan bagi pengusaha. Maka mobil murah adalah benar-benar ilusi yang diberikan lewat brand LCGC.

Ternyata LCGC sangat sedikit sekali manfaatnya bagi masyarakat dan lebih banyak menguntungkan ATPM dan produsen mobil tersebut. Tugas pemerintah adalah meringankan beban masyarakat banyak dan menyelenggarakan kegiatan ekonomi untuk kemakmuran rakyat bukan kemakmuran pengusaha. Jika kemacetan parah terjadi kemakmuran masyarakat akan menurun, biaya untuk transportasi dan bepergian semakin tinggi. Kerugian baik seperti waktu produktif yang terbuang dan waktu senggang sedikit. Dari segi kesehatan stress dan depresi akan menyerang masyarakat serta kerugian dari pemborosan BBM.

Bagaimanapun pemerintah yang terlihat seperti di dikte oleh perusahaan otomotif, dan perusahaan perbankan ini tidak bisa kita harapkan untuk membatalkan kebijakan mobil LCGC ini. Walaupun beberapa gubernur populis seperti Jokowi, Ganjar pranowo di Jateng, Sukarwo gubernur Jatim dan walikota bandung Ridwan Kamil menolak mobil murah. Penolakan mereka jelas karena ketakutan ledakan populasi mobil ini memperparah kemacetan di daerah mereka. Yang lebih penting lagi adalah kita sebagai warga negara harus sadar dan melepaskan diri dari manipulasi psikologis dari pengusaha dan pedagang yang melihat penduduk Indonesia hanya sebagai pasar empuk yang potensial, sialnya negara ini bukannya melindungi warganya malah berkolaborasi dengan mereka.

Depok, 4 November 2013

Iklan

Apa peran Gubernur dalam Konflik Agraria di Sumut?

Konflik agraria di tanah air terkuak satu persatu, ironisnya, hal ini terkuak ketika sudah menjadi konflik yang melibatkan bentrokan fisik yang memakan korban jiwa. Seperti yang kita ketahui bahwa kasus Mesuji di Lampung dan Bima adalah puncak dari keseluruhan gunung es konflik agraria di Indonesia saat ini. Konflik agraria tersebar merata keseluruh negeri hingga mencapai ribuan konflik. Namun dari banyak konflik tersebut tidak akan semua terpublikasi di media dan sampai ke kuping pemerintah daerah apalagi pemerintah pusat.

Konflik tanah adalah bom waktu, di Sumatera Utara sengketa tanah yang ditangani Polda Sumut sampai tahun 2011 sudah mencapai 2833 kasus. Dari seluruh wilayah Indonesia, Sumut merupakan wilayah yang sangat tinggi intensitasnya dalam hal konflik soal tanah. Tidak heran mengapa Sumatera Utara merupakan wilayah dengan jumlah konflik tanah yang tinggi, karena sejak awal Sumatera Utara yang dahulunya adalah karesidenan Sumatera Timur merupakan lokasi perkebunan yang dirintis oleh pedagang dan pebisnis Belanda dengan komoditi pertama sekali yang ditanam secara massif adalah tembakau.

Pembukaan perkebunan secara luas dan komersial pada waktu itu dilakukan atas kongkalikong pengusaha Belanda dan Kesultanan Deli dengan menyewakan tanah komunal yang subur kepada perusahaan asing dengan sistem konsesi dengan Kesultanan tanpa melibatkan penguasa setempat (datok) dan rakyat. Segera saja kebijakan sewenang-wenang Sultan Deli menuai konflik dimasa itu. Perang Sunggal (1872) adalah salah satu contoh perjuangan rakyat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari ekspansi perkebunan asing. Perang ini berlangsung dalam kurun waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa tanah di Sumut yang menghadapkan rakyat dengan perusahaan perkebunan dibawah kendali Belanda. Perang Sunggal sendiri melibatkan berbagai etnis di Sumut pada waktu itu, dalam Perang Sunggal ini etnis Karo dibantu oleh etnis Aceh dan Melayu.

Perkebunan kelapa sawit komersial pertama pun dibuka di Sumatera Utara seratus tahun yang lalu (1911) di Tanah Itam hulu. Sehingga Sumatera Utara adalah pilot project bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit modern sekaligus memimpin kasus perampasan tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan industri. Sebagian besar Perkebunan yang ada pada saat ini adalah peninggalan kolonial belanda dan perusahaan perkebunan nasional melestarikan semangat budaya feodal kolonial dalam perusahaannya. Tanah yang pada awalnya bebas dan dapat dimanfaatkan seluruh orang kini dikuasai perusahaan-perusahaan negara maupun swasta, dan rakyat diusir dengan intimidasi dan streotip pemberontak dan PKI apabila tetap bertahan. Namun kini, penguasaan perusahaan atas tanah yang didasarkan pada perampasan itu kini mulai terkuak, karena rakyat semakin sadar akan haknya dan semakin kondusifnya keterbukaan informasi.

Bagaimana kondisi sekarang?

Seratus tahun lebih sudah semenjak pengembangan perkebunan komersial secara luas di Sumatera Utara, demografi penduduk pasti sudah banyak berubah. Jumlah penduduk dan tingkat ekonomi yang beragam sudah tentu tidak serasi lagi dengan penataan tanah dan lingkungan yang sama dengan perkebunan seratus tahun yang lalu.

Redistribusi lahan adalah solusi untuk menekan konflik agraria di masyarakat, dan pemerintah harus berani melakukannya. Redistribusi dalam konteks pembaruan agraria bukanlah bagi-bagi tanah, melainkan mengubah struktur sosial ekonomi kepemilikan tanah. Atau bisa disebut redistribusi tanah itu mengatur kembali sebaran tanahnya. Apabila 12 persen penduduk menguasai 70 persen tanah sementara sementara 50 persen penduduk lainnya menguasai kurang dari 10 persen, itu artinya timpang. Dan sebaran yang timpang itu direstrukturisasi dengan redistribusi tanah. Begitupun sasaran distribusi juga diatur, dan jelas sudah pada Undang-undang Pembaruan Agraria No.5 tahun 1960. Prinsip pembaruan agraria adalah tanah untuk penggarapnya, sehingga rakyat di desa yang bukan petani contohnya, tidak berhak atas redistribusi lahan. Dengan melakukan redistribusi lahan melalui dasar hukum dan mekanisme yang tepat pemerintah dapat menghindari kelompok atau oknum mafia tanah.

Alm. Tengku Rizal Nurdin saat menjabat Gubsu pada tahun 2002 pernah memerintahkan redistribusi lahan eks HGU PTPN II seluas 5873 Ha untuk petani penggarap. Kebijakan itu diambil didasari karena lahan PTPN II itu kerap menjadi sumber konflik. Lahan seluas 5873 Ha itu terhampar di kabupaten Deli serdang, kabupaten Langkat dan kota Binjai. Namun hingga kini redistribusi itu tidak terlaksana dan kian kabur pelaksanaanya mengingat gubernur sumut yang menggagasnya meninggal dalam masa tugasnya.

Gubernur setelahnya hingga saat ini belum menunjukkan kemauan politik yang baik untuk menuntaskan redistribusi itu walaupun desakan dari rakyat telah dilakukan berkali-kali. Entah apalagi yang ditunggu oleh Gubernur Sumatera Utara saat ini untuk membenahi konflik tanah yang semakin terbuka di sumatera utara ini. Bukankah dengan menyelesaikan paling tidak sebagian kecil dari konflik yang ada akan menunjukkan bahwa ia memiliki political will yang baik untuk mensejahterakan rakyat Sumut. Sebaliknya jika Gatot sebagai Gubsu lamban dan salah langkah menata isu ini, bukan saja ia akan di cap sebagai pembual, namun desakan agar ia mundur dari tampuk kepemimpinan sumut akan semakin besar dan tentu saja ini mendapat dukungan dari lawan-lawan politik. Pemprov seharusnya terdepan dan aktif turun ke rakyat menuntaskan konlik agraria di Sumut dan permasalahan rakyat lainnya.

Apapun niatannya, rakyat petani tidak ingin gubernur pilihannya meninggalkan mereka begitu saja. Tidak ada kebijakan yang melindungi mereka dalam mempertahankan hak mereka memiliki tanah untuk bertani. Ketimpangan penguasaan tanah harus diselesaikan agar konflik tidak meluas, berikan tanah untuk petani. Jangan mendekati petani hanya ketika momen pemilu saja, kaum tani punya kesabaran dan kaum tani juga punya perut untuk diisi.

Medan, Januari 2012

May Day dan Ego Sektoral

Tahun 1918 di Kota Surabaya diperingati May Day atau hari buruh pertama di Indonesia. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara Asia pertama merayakan 1 Mei sebagai hari buruh. 

Melalui UU Kerja No. 12 Tahun 1948, pada pasal 15 ayat 2, yang berbunyi “Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban kerja”, kaum buruh Indonesia, pada masa itu, tiap tahun selalu memperingati May Day. Namun sejak peristiwa G 30 S PKI peringatan hari buruh ini dilarang di Indonesia karena diidentikkan sebagai bagian dari ajaran komunisme. Kemudian sejak tumbangnya Orde Baru, pada 1999 May Day kembali diperingati oleh kaum buruh di seluruh Indonesia bersama gerakan buruh sedunia.

“Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!” demikian Karl Marx menutup Manifesto Komunis yang ditulisnya hampir 200 tahun yang lalu. Slogan ini acap kali dipakai untuk membakar semangat buruh dan membangkitkan organisasi-organisasi perjuangan buruh.

Anak Kandung Sejarah Kapitalisme

Kenapa kaum buruh di istimewakan oleh Karl Marx hingga mendapat prioritas lebih dalam perhatian Karl Marx? Tidak lain dan tidak bukan karena analisis Marx terhadap kapitalisme mengatakan bahwa kapitalisme hidup dari penghisapan nilai lebih yang dihasilkan buruh yang bekerja di pabrik, dimana pabrik adalah ikon industrialisasi. Maka Marx melihat buruh harus di sadarkan sebagai sebuah kelas dan kelas tersebut berkontradiksi langsung dengan kelas lain dalam sistem produksi mereka di pabrik, pemilik modal. Kaum buruh lah yang harus menjadi pionir terdepan dalam perjuangan melawan sistem kapitalisme, karena buruh yang menjadi penggerak industrialisasi, tonggak utama kapitalisme pada masa itu.

Usaha-usaha me-revolusioner-kan buruh pun berlaku dipabrik-pabrik. Serikat-serikat buruh berdiri sebagai wadah bagi kaum ini berlindung, belajar, dan mendapatkan kesadaran akan ‘kelas’nya. Kelas dalam konteks ini adalah terminologi dalam marxisme untuk membedakan antar kelompok dalam suatu sistem yang saling berkontradiksi. Maka sesuai ajarannya, para penganut marxisme mengedepankan kaum buruh sebagai pelaku utama penggerak revolusi menumbangkan kapitalisme, atas dasar ini pula Bung Karno menyebut kaum ini adalah Soko Guru Revolusi.

Bukan isapan jempol semata analisis Marx tentang perlunya merevolusionerkan buruh ini menjadi kenyataan dengan berdirinya Uni Sovyet. Negara yang mengadopsi ideologi komunis yang didirikan oleh kekuatan buruh, walaupun akhirnya runtuh pada tahun 1991 di umur 74 tahun. Lalu matikah gerakan buruh? Tidak. Dimana masih terdapat industri dan pabrik-pabrik maka disitu ada buruh, dan dimana ada penindasan maka disitu ada perlawanan. Sebagai bagian yang terintegrasi dalam sistem produksi kapitalisme buruh akan tetap eksis, namun yang perlu dipertanyakan, apakah mereka masih revolusioner? Masihkah mereka mempertahankan posisi mereka sebagai kelas yang berkontradiksi dengan pemilik modal?

May Day diperingati untuk mengenang sebuah tragedi yang menimpa kaum buruh di Chicago tahun 1886. Dalam peristiwa itu, polisi Chicago menembaki para buruh dengan brutal ketika mereka sedang menggelar demonstrasi untuk menuntut delapan jam kerja dalam sehari, dan beberapa pimpinan buruh yang terlibat dalam demontrasi tersebut juga ditangkap dan dihukum mati. Sedangkan penetapan 1 Mei sebagai hari buruh internasional terjadi pada tahun 1889, yang merupakan salah satu hasil dari kongres Internasionale Kedua Komintern (Komunis Internasional – forum partai-partai komunis sedunia) yang diselenggarakan pada bulan Juli tahun 1889 di Paris.

Evolusi makna dan menghilangkan ego sektoral

Kini setelah lebih dari 100 tahun sejarah perjuangan buruh, kaum buruh masih dianggap sebagai salah satu kekuatan yang bisa memberikan tekanan terhadap kebijakan pemerintah. Inti kekuatan gerakan kaum ini ada pada massa-nya, maka yang ‘dihitung’ bukanlah buruh orang per orang tapi organisasi serikat buruhnya yang menghimpun mereka menjadi sebuah kekuatan yang memiliki posisi tawar. Kuantitas anggota serikat lebih utama, lalu kualitas dan militansi mengikutinya.

Dalam jangka waktu 100an tahun pasti banyak perubahan terjadi, kita tahu metode dan sistem produksi berubah, sistem permodalan juga berubah, namun apa yang berubah dari gerakan kaum buruh?

Rasanya bila mau jujur, gerakan buruh di Indonesia sudah mengalami stagnasi, pola dan tuntutannya klise dan jauh dari ciri-ciri revolusioner. Belakangan dapat kita perhatikan gerakan buruh semakin pragmatis dan hanya responsif pada apa-apa yang menyentuh langsung sisi ekonomis mereka, seperti tuntutan kenaikan upah dan atau pemutusan hubungan kerja.

Mengharapkan peran lebih dan respon terhadap sektor lain di luar masalah buruh sepertinya akan jadi angan-angan apalagi mendewakannya menjadi pionir revolusi. Apalagi pada masa keemasan demokrasi prosedural ini, serikat buruh dianggap sebagai alat untuk mendapatan legitimasi non-partai dan kantung suara yang mudah dimobilisir. Beberapa elit serikat buruh pun dengan gampangnya menyatakan dukung-mendukung salah satu calon dalam sebuah pemilukada, begitu mudahnya sekarang menjalin aliansi dalam politik walaupun tanpa kesamaan ideologi.

Menyadari potensi kekuatan massa buruh bila terkonsolidasi dengan baik, pihak-pihak diluar buruh yang memiliki kepentingan terus mengembangkan cara memoderasi pola gerakan buruh untuk tidak mengatakan menghapus ideologi dari gerakan buruh. Contoh paling nyata adalah upaya dari beberapa pemerintahan daerah yang memfasilitasi elemen-elemen serikat buruh dalam memperingati hari buruh.

Beberapa tahun belakangan peringatan hari buruh banyak di ’kandangkan’ di gedung-gedung olahraga ataupun lapangan stadion untuk menikmati hiburan seperti dangdutan serta menerima pidato-pidato seremonial pejabat pemerintah terkait. Pemerintah menanggung semua biaya yang dikeluarkan, para buruh tinggal menikmati pesta ‘hari buruh’ yang difasilitasi pemerintah termasuk makan siang gratis yang dibagi-bagikan asalkan buruh tidak berdemonstrasi di jalan-jalan.

Marx sendiri menyatakan tiada sesuatu yang abadi melainkan perubahan itu sendiri. Sifat-sifat dalam suatu kontradiksi pun ikut berubah mengikuti zamannya, 100 tahun lalu penghisapan terhadap buruh terlihat kontras, perlawanan buruh diredakan dengan tindakan represif dan brutal oleh alat koersif negara (polisi & tentara). Kini hubungan antara buruh yang dulu dianggap pioner revolusi dengan aparat keamanan yang notabene penjaga kepentingan modal tidaklah sekaku hubungan mereka terdahulu.

Walaupun di beberapa kesempatan masih sering berjumpa secara frontal, namun kini pendekatan aparat keamanan maupun pemerintah lebih persuasif. Namun sayangnya gerakan buruh sepertinya terlena dengan ‘pengakuan’ yang diberikan oleh institusi resmi negara ini. Pengakuan bahwa mereka dianggap ada, difasilitasi, diajak bertemu dan bertatap muka langsung dengan pejabat pemerintah, walaupun kenyataannya semua itu tidak serta-merta menyelesaikan apa yang menjadi tuntutan dasar mereka.

Kalau kita runut sejarah peringatan May Day sebagai hari buruh, jelas May Day harus menjadi peringatan dengan karakter yang revolusioner. May Day bukanlah moment yang diperingati layaknya hari ulang tahun atau hari jadi sebuah pernikahan yang sarat  dengan hiburan dan hura-hura.

Lebih jauh, May Day adalah sebuah momentum untuk membangun kesadaran kelas dan memperkuat posisi politik buruh. Momen yang seharusnya bisa menjadi media konsolidasi kaum buruh seluruh Indonesia dan memunculkan isu dan slogan yang sama di tengah krisis politik dan mandegnya gerakan buruh dan gerakan sosial secara keseluruhan.

Soko Guru revolusi adalah penghargaan sekaligus beban yang terlalu berat untuk dipikul kaum buruh pada masa ini. Taklid kepada slogan itu merupakan sebuah kenaifan ditengah masyarakat ultramodern yang sudah jauh berubah struktur dan cara berkomunikasinya.

Kita dapat melihat dan mempelajari bagaimana pecahnya pemberontakan-pemberontakan, bahkan penggulingan pemerintahan di jajirah Arab beberapa tahun lalu tidak didominasi oleh salah satu sektor pekerjaan. Cukup sudah peran ego sektoral dimainkan, tidak ada sektor yang lebih berhak dari sektor yang lain untuk menjadi aktor utama perubahan di negeri ini, tidak buruh, tidak petani, tidak miskin kota, tidak mahasiswa, tidak juga kalangan profesional.

Yang kita perlukan adalah sinergisitas antar faksi-faksi sektoral yang ada, kalau perlu hapuskan saja wacana sektoral pada tiap isu-isu yang diperjuangkan. Perjuangan buruh harusnya merupakan perjuangan petani juga, begitu pula sebaliknya karena sebenarnya hubungan mereka dalam masyarakat pun berlaku timbal balik.

Bisa saja dalam sebuah keluarga seorang ayah adalah petani sedangkan anaknya adalah seorang buruh pabrik. Buruh mengkonsumsi hasil produksi petani, petani membutuhkan buruh sebagai pembeli. Begitupun mahasiswa merupakan bagian dan berkepentingan memperjuangkan sesuatu di luar persoalan-persoalan normatif mereka.

Tuntutan yang terfraksi-fraksi tidak akan memiliki daya juang yang lama. Sebaliknya perjuangan yang diusung bersama-sama akan memiliki kekuatan perubahan yang lebih kuat dan besar peluangnya. Selamat hari buruh selamat hari perjuangan bersama.

 

dimuat di Koran Sindo 1 Mei 2013

Gagalnya demokratisasi dalam pemilu kita

Judul tulisan ini bisa jadi terdengar sangat paradoks, bagaimana bisa sebuah instrumen demokrasi yaitu pemilu, malah dianggap gagal dalam melaksanakan demokratisasi? Tetapi itulah yang terjadi di masyarakat kita pada saat pesta demokrasi tersebut berlangsung pada 9 April 2014 yang lalu.

Hanya dalam hitungan hari pasca pemilu, muncul kepermukaan berbagai macam kecurangan dalam pelaksanaan pemilu tersebut. Modusnya dan oknum yang terlibat bermacam-macam, namun yang paling marak terjadi seperti yang ramai diberitakan di media adalah praktik penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara pemilu mulai dari anggota KPPS yang bertugas di TPS sampai pada anggota PPK yang bertugas di Kecamatan. Para Caleg nakal tentunya terlibat dalam kasus ini sebagai ‘pemesan’ atau ‘klien’ yang akan digelembungan suaranya melalui akal-akalan anggota penyelenggara pemilu tadi. Kecurangan dilakukan dengan cara mencoblos sendiri kertas-kertas suara yang tidak terpakai lalu dimasukkan kedalam kotak suara yang tertutup ataupun menukar kertas suara yang sudah di coblos dengan membuka kotak suara, tentunya tanpa diawasi oleh saksi-saksi dari partai peserta pemilu. Parahnya dalam beberapa kasus, para penyelenggara itulah yang secara aktif menawarkan ‘jasa’ menggelembungkan suara kepada caleg-caleg yang bertarung dengan tarif yang sudah mereka tetapkan.

Apa yang terjadi diatas tentunya sudah sangat keterlaluan. Praktik politik uang tidak lagi hanya menjadi transaksi antara caleg dengan calon konstituen untuk mempengaruhi pilihan mereka, namun sudah sampai memasuki dan merusak sistem pemilu itu sendiri. Apabila penyelenggara pemilu sendiri yang secara sadar melakukan kecurangan terhadap hasil suara rakyat untuk keuntungan suatu pihak, maka sebenarnya pemilu yang kita bangga-banggakan sebagai indikator berjalannya demokrasi di Indonesia itu telah mati atau setidaknya mulai membusuk dari dalam.

Salah satu hal yang substansial antara para pemilih (pemilik suara) dengan sistem pemilu dan penyelenggaranya – dalam hal ini KPU—adalah adanya kepercayaan dan legitimasi terhadap lembaga penyelenggara tersebut. Legitimasi KPU sebagai penyelenggara pemilu cukup kuat secara hukum, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, Kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu pun mulai tumbuh pasca tumbangnya Orde Baru. Terbukti dari perilaku pemilih dan mereka yang golput pada pemilu-pemilu pasca reformasi bukanlah karena ketidakpercayaan pada penyelenggaranya (KPU) tetapi lebih pada rasa apatis terhadap politik secara umum atau khusunya pada partai politik dan oknum politisi yang korup.

Melihat Pemilu 2004 ketika pertama kalinya kita melaksanakan pemilihan langsung terhadap caleg dan capres adalah pemilu yang sukses dalam artian pelaksanaan yang teratur, damai dan transparan. Keberhasilan pemilu ini melambungkan nama Indonesia ditengah-tengah pergaulan Internasional sebagai negara yang berhasil demokrasinya. Klaim-klaim bermunculan atas prestasi pesta demokrasi yang paling rumit dan terbesar didunia ini. Namun keberhasilan ini menghasilkan preseden bahwa rakyat Indonesia dan pemerintahnya sudah sangat mampu menyelenggarakan pemilu dengan menjunjung tinggi kaedah-kaedah demokratis dalam pelaksanaannya. Sehingga pada pemilu berikutnya, 2009 dan 2014, kontrol dan pengawasan juga rekruitmen para anggota penyelenggaranya lemah dan tidak seketat Pemilu 2004.

Euforia pemilihan langsung pertama oleh rakyat pada 2004 memang mengundang banyak elemen independen diluar partai -dari dalam dan luar negeri- untuk mengawasi langsung pelaksanaan pemilu tersebut. Faktor ini bisa menjadi pendukung minimnya kecurangan yang terjadi dalam proses pemungutan maupun sampai proses rekapitulasi suara. Namun keterlibatan masyarakat sipil yang terorganisir ini sangat minim pada pemilu 2009 dan lebih minim lagi pada 2014 yang lalu.

Tidak banyak perubahan dalam sistem pemilu semenjak 2004 selain dari mekanisme proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka pada pemilu 2009. Namun politik bukanlah sebuah entitas yang stagnan, dinamika yang terjadi dalam kegiatan politik dapat berubah-ubah dalam hitungan hari apalagi jika dalam kurun lima tahun. Dan perubahan mekanisme menjadi proporsional terbuka itu ternyata memberikan implikasi yang luas dalam perubahan persaingan antar caleg dalam satu partai dalam berebut kursi. Hal ini kurang diantisipasi oleh penyelenggara pemilu kita. Anggapan keberhasilan pemilu 2004 telah mematikan daya sensitifitas mereka bahwa masyarakat kita terus berubah, mereka yang memilih pada pemilu saat ini bukanlah mereka yang memilih pada pemilu lima atau sepuluh tahun yang lalu. Dan mereka yang bertarung berebut kursi sekarang juga lebih ‘lihai’ dari sepuluh tahun yang lalu. Sehebat apapun sebuah sistem pasti memiliki celah. Apalagi sistem tersebut tidak pernah diperbarui dan tidak didukung dengan sumberdaya manusia yang berintegritas, pasti telah banyak celah yang ditemukan dan dimanfaat mereka yang berkepentingan.

Kekhawatiran paling utama atas kondisi ini adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada KPU dan Pemilu itu sendiri. Dan apabila itu terjadi, hal tersebut adalah sebuah kemunduran besar bagi demokrasi bangsa ini. Ketidakpercayaan masyarakat yang memuncak pada penyelenggara pemilu dapat menimbulkan huru-hara ditengah masyarakat kita yang masih sangat mudah terpancing emosinya ketika merasa kandidatnya dicurangi dalam pemilu. Banyak contoh kasus huru-hara yang terjadi di daerah-daerah saat Pilkada karena ada indikasi kecurangan, dan KPUD setempat tidak memiliki integritas dalam menjawab masalah itu. Bayangkan hal tersebut terjadi saat Pilpres dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 nanti, dan KPU tidak bisa mempertanggungjawabkan bahwa pelaksanaan pemilu telah berjalan dengan bersih, jujur dan adil.

Ada baiknya dilakukan evaluasi besar dalam tubuh penyelenggara pemilu setelah pelaksanaan Pileg 9 april kemarin. Bila dibutuhkan komisioner-komisioner KPU dari daerah sampai pusat yang tidak menunjukkan kinerja optimal segera diganti. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dapat melakukan intervensi terbatas terhadap pelaksanaan evaluasi di tubuh KPU ini dengan membentuk tim ad-hoc atau sejenisnya. Dan melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk menjamin suksesi kepemimpinan nasional berjalan aman, tertib dan demokratis.

Karena tanpa penyelenggara pemilu yang memiliki integritas dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, sesungguhnya demokrasi kita sedang meniti jalan di tepi jurang tanpa pagar pembatas, tinggal menunggu waktu untuk terpleset dan jatuh. Pemilu masih akan terus berjalan hanya karena masyarakat kita masih terlalu naif saja meyakini bahwa suara mereka akan benar-benar dihitung dan berarti dalam penentuan kepemimpinan nasional dalam pelaksanaan yang kacau balau begini.

dimuat di KORAN SINDO, 16 Mei 2014

Bagaimana kontestan PILGUBSU 2013 belajar dari Jokowi-Ahok?

Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok beberapa waktu lalu pada Pilgub DKI tidak hanya menjadi konsumsi warga Jakarta, euforianya meng-Indonesia, bahkan media asing The New York Times mengangkat topik mengenai Pilgub DKI dan Jokowi dalam beberapa tulisan.

Banyak tulisan di beberapa media mengatakan hasil PilGub DKI merupakan kemenangan Demokrasi yang sebenarnya, atau demokrasi terasa kian matang, bahkan peneliti senior Sukardi Rinakit menyatakan Pilgub DKI merupakan bukti bahwa pemilu telah bergeser dari semula sangat prosedural menjadi kearah substansial. Kenapa banyak kalangan menilai kemenangan Jokowi adalah kemajuan dalam berdemokrasi?

Mungkin karena Jokowi-Ahok dianggap sebagai ‘Politisi Jenis Baru’ untuk kaliber kontestasi di DKI, dimana biasanya politisi sering berasal dari lingkaran elit. Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama telah membalikkan peta kekuasaan yang selama ini didominasi kalangan elit dengan kekuatan sumber dananya. Lalu dari sisi perekrutan politik, Jokowi-Ahok adalah Bupati atau Walikota berprestasi, mereka memperoleh berbagai penghargaan sebagai kepala daerah. Perekrutan seperti ini jauh lebih baik, sebab selama ini banyak calon kepala daerah datang dengan track record buram dan maju dengan ‘menyewa’ partai politik.

Satu lagi yang menggembirakan iklim demokrasi, bahwa pemilih pada Pilgub DKI lebih bersikap sangat rasional. Mereka menentukan pilihan berdasarkan program yang dijanjikan kandidat, hanya 12,6 % (Tempo) pemilih yang memilih dengan alasan kesamaan agama yang mereka anut. Kegagalan kampanye dengan isu SARA patut kita apresiasi, Jokowi-Ahok mampu meredam serangan isu suku, agama, ras, dan antargolongan yang membahayakan demokrasi.

Fakta yang paling fenomenal ialah bahwa calon incumbent Foke dan calon wakilnya Nachrowi Ramli (Nara) pada putaran kedua didukung oleh 10 Partai besar dan kecil (Demokrat, Golkar, PKS, Hanura, PAN, PKB, PBB, PMB, PKNU, dan PKS) yang memiliki mayoritas kursi di DPRD DKI Jakarta sedangkan lawannya Jokowi-Ahok hanya didukung 2 partai (PDI-P dan Gerindra) yang hanya memiliki 17 kursi. Terkait hal ini saya kutip penyataan Douglas Ramage (peneliti Bower Group Asia) tentang hasil Pilgub DKI “Para pemilih mencari pemerintahan yang bersih dan terpercaya. Sesuatu yang identik dengan partai sudah runtuh di Indonesia.”

Lalu apa yang membuat Jokowi unggul?

Hasil Pilgub DKI Jakarta merupakan bentuk kontras antara kandidat yang bergantung penuh pada dukungan mesin politik dan kandidat yang diyakini rakyat memiliki perhatian khusus pada kebutuhan rakyat. Foke secara konvensional mempercayai bahwa kesamaan partai politik akan berpengaruh besar pada pilihan politik warga, maka ia meyakini ilusi yang diciptakan koalisi besar partai pendukungnya akan meraup suara yang signifikan pula. Ternyata masyarakat (Jakarta) telah berubah. Dalam survey yang dilakukan Litbang harian Kompas (Sabtu, 22 Sept. 2012) , sebanyak 55% pemilih tidak melihat kesamaan parpol sebagai alasan memilih calon tertentu, dan 40,1 % pemilih tidak peduli dengan koalisi parpol mendukung salah seorang calon atau tidak. Pemilih lebih perhatian pada sosok calon yang dianggap bersih/tidak korupsi (36,3%), ideologi dan visi-misi yang jelas (20,8%) dan program yang ditawarkan (15%).

Walaupun tidak bisa dikatakan sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi, namun Figur atau ketokohan-lah yang memenangkan pasangan Jokowi-Ahok. Kapasitas individu dan buruknya citra lawan adalah dua hal yang banyak mempengaruhi hasil Pilgub DKI. Jokowi-Ahok dinilai memiliki integritas moral yang baik serta memiliki keberanian dan ketegasan dalam melaksanakan gagasannya. Mereka juga dikenal sangat aspiratif ketika memimpin didaerah asalnya dibandingkan dengan kepemimpinan Foke. Tidak cukup dengan kekuatan karakter Jokowi-Ahok, Foke-Nara malah semakin terpuruk dengan kampanye blunder berbau SARA. Kesalahan pasangan Foke-Nara dalam membaca karakter publik Jakarta menentukan jatuhnya citra kepemimpinan Foke.

Citra pasangan Foke-Nara diperparah sikap elit-elit partai politik yang ramai-ramai mendukung pasangan ini sehingga justru menimbulkan kritik dan kecaman dari publik. Pilihan publik akhirnya mengarah pada calon yang terlihat low profile dalam menghadapi berbagai tuduhan kampanye negatif lawannya.

Pelajaran dari Pilkada DKI untuk Sumut

Jelas sekali karakter masyarakat Sumut dengan Jakarta masih jauh berbeda, baik dari komposisi kesukuan, tingkat pendidikan, kesejahteraan dan kemampuan mengakses informasi dgn cepat. Namun tetap ada pelajaran yang bisa kita ambil dari fenomena kemajuan demokrasi di Ibukota tersebut.

Pertama sekali ialah memudarnya pengaruh isu sara ditengah-tengah masyarakat yang semakin rasional. Ini perlu diperhatikan para calon gubernur yang ingin maju di Sumut agar tidak mengulangi kesalahan Tim Foke yang malah berakibat buruk pada citra kepemimpinannya.

Berikutnya ialah kecenderungan masyarakat yang tidak lagi melihat pilihan partai politik sebagai preferensi memilih pilihan kepala daerah. Masyarakat kita sudah mulai ‘mencair’, sekat-sekat etnik dan agama dalam pemilu mulai pudar apalagi sekedar ideologi partai yang sudah tidak relevan dengan konteks kekinian yang dihadapi masyarakat. Fenomena ini perlu diperhatikan calon kontestan Pilgubsu, agar tidak sepenuhnya memasrahkan nasib ke mesin politik partai-partai pendukung tanpa membangun hubungan yang dekat dengan masyarakat pemilih.

Figur menjadi faktor penting dalam kemenangan Jokowi-Ahok, namun arti Figur disini bukan hanya soal pencitraan kosong dengan iklan-iklan wajah si calon di berbagai media. Integritas moral dari rekam jejak perjalanan karir si calon kepala daerah menjadi modal yang sangat berharga. Jokowi ‘terlanjur’ di cap sebagai pemimpin yang santun, bersih, sederhana dan mengayomi warganya. Sehingga karakternya itu dengan mudah di ’pasarkan’ ke tengah-tengah masyarakat Jakarta yang memang sedang muak dan kehilangan harapan pada gubernurnya dan menginginkan kepemimpinan gaya baru.

Jadilah Figur calon pemimpin yang dekat dengan masyarakat dan mengusung program-program yang memperjuangkan rakyat kecil, 32% pemilih jokowi memilihnya karena ini. Metode kampanye juga tidak harus mengumbar janji-janji yang manis, pemilih yang semakin rasional lebih yakin kepada program-program yang terukur dan realistis dijalankan oleh si calon ketika ia menang nanti.

Tidak hanya kepada calon Gubernur Sumut, juga kepada partai-partai politik yang ada sudah selayaknya membenahi internal masing dan menjalankan fungsi partai secara ideal, bukan hanya sebagai perahu bagi bakal calon. Arogansi elit partai akan semakin membuat muak masyarakat umum, Jakarta merupakan pelajaran mahal bagi partai-partai yang berkoalisi mendukung Foke-Ahok, mereka mengabaikan keinginan konstituennya. Ingat yang memilih adalah masyarakat, seharusnya partai mengartikulasikan apa yang menjadi keinginan masyarakat bukannya ‘menyodorkan’ calon hasil kongkalikong untuk kemudian dipilih oleh masyarakat.

Tentu kita tidak dapat dengan mudah mengaplikasikan apa yang berhasil di DKI Jakarta dengan kondisi dan situasi yang berbeda di Sumatera Utara. Namun kreativitas dan kejelian memanfaatkan kelemahan kawan secara cerdas dan beretika menunjukkan hasil yang lebih positif dari usaha-usaha negatif seperti kampanye hitam pembusukan karakter, teror dan intimidasi serta isu SARA. Dan satu lagi kemenangan Jokowi-Ahok, mereka menguasai apa yang disebut Social media (jejaring sosial) dunia maya, ini adalah kebutuhan baru bagi tim sukses di era kekinian. Selamat datang era demokrasi baru di Indonesia.

Medan, 17 Mei 2013

Bila Saye Berjalan-Jalan Sambil Melihat-Lihat Bahasa

Melakukan perjalanan memang seharusnya tak hanya berarti berpindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya. Biasanya sangat banyak tersedia waktu luang ketika kita melakukan perjalanan dan akan menjadi sia-sia jika waktu tersebut tak digunakan untuk sekedar memperhatikan, menyelidiki atau memahami tentang sesuatu hal baru yang kita jumpai dalam perjalanan.

Selayaknya sebuah buku, melakukan perjalanan adalah sebuah cara yang mengasyikkan untuk membuka cakrawala. Dengan melakukan perjalanan kemungkinan besar kita akan menemui berbagai hal yang baru dan berbeda dengan apa yang sehari-hari kita temui dilingkungan tempat tinggal kita. Hal-hal baru dan berbeda itu bisa jadi adalah adat-istiadat, bahasa, makanan dan minuman, kebiasaan sehari-hari, pekerjaan penduduk setempat, atau pakaian mereka dan masih banyak lagi. Sehingga sangat wajar jika seorang pejalan memiliki luasnya wawasan yang tak kalah dengan orang yang banyak membaca buku.

Sebuah kebudayaan yang besar dan dominan muncul dari kebudayaan yang disempurnakan dari kebudayaan-kebudayaan di sekitarnya. Mereka mengambil nilai dan tradisi yang baik kemudian di implementasikan kedalam budaya mereka melalui proses interaksi yang panjang sehingga menghasilkan kebudayaan yang lebih sempurna. Dahulu interaksi antar budaya itu terjadi akibat aktor-aktor perjalanan yang dilakukan oleh pedagang atau misi khusus kebudayaan yang dikirim oleh suatu kerajaan ke sebuah negeri untuk menjalin persahabatan. Maka dapat kita lihat dimana wilayah yang dahulu dekat dengan pelabuhan dan perdagangan internasional serta-merta kebudayaannya maju dengan pesat, sedangkan wilayah di pedalaman atau pulau terpencil, kebudayaan suku-suku yang tinggal didalamnya berkembang dengan lambat.

Bicara tentang perjalanan, beberapa waktu lalu saye melakukan perjalanan darat lintas sumatera dengan menggunakan mobil dan bus, serta sempat singgah di beberapa kota. Ada yang menarik perhatian saye dalam perjalanan kali ini – oh ya ini adalah perjalanan pertama saye melintasi jalan Pulau Sumatera dimulai dari ujung lampung kemudian naik keatas kearah barat Sumatera – sebelumnya saye sudah pernah melakukan trip dari Medan Ke Jambi. Apa yang menarik perhatian saye adalah gradasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat di tiap-tiap provinsi yang saye lewati. Walaupun saye tak berhenti lama disetiap kota ditiap provinsi, namun interaksi dengan pedagang dan mendengar bahasa penduduk di setiap pemberhentian bus, saye sudah bisa merasakan keunikan bahasa dan menyimpulkan beberapa hal.

Gradasi bahasa ini menarik karena saye menyadarinya ketika telah meninggalkan Lampung dan tengah berada dalam perjalanan ke kota Palembang. saye menyadari bahwa arus perubahan penggunaan bahasa di jalur lintas sumatera ini sejalan dengan jalur migrasi penduduk. Tak hanya dari arah pulau Jawa ke Sumatera, tetapi juga dari arah Sumatera ke Jawa. Di Lampung bahasa yang saye temukan digunakan dalam percakapan sehari-hari sudah banyak bercampur dengan bahasa pasaran yang berasal dari Jakarta. Misalnya pemakaian lu-gue dan istilah serta logat yang digunakan tak berbeda jauh dari istilah dan logat yang digunakan orang-orang di Jakarta. Namun semakin kita ke barat mendekati perbatasan provinsi Lampung dengan Sumatera Selatan, pengaruh bahasa Palembang semakin kuat. Ini terlihat dari bahasa yang banyak digunakan orang di pasar, kemungkinan ini terjadi karena banyak dari mereka adalah orang Palembang yang bekerja atau sudah bermigrasi ke Lampung. Dugaan saye ternyata benar, karena dua orang pekerja sebagai porter di pelabuhan Bakaheuni yang saye ajak ngobrol sebelumnya mengaku berasal dari Palembang, juga pemilik rumah makan dan pelayannya tempat saye transit menunggu tumpangan selanjutnya dari kota Bandar Lampung menuju Palembang.

Di Palembang saye berteduh selama 3 malam sambil mengunjungi tempat-tempat tersohor disana. Palembang memiliki bahasa dan logat yang khas, sangat berbeda dengan logat-logat yang saye temui sebelumnya. Menurut saye yang memang bukan ahli linguistik, bahasa Palembang sekilas terdengar seperti perpaduan bahasa melayu dan jawa yang lebih kental unsur melayunya, karena terdengar mendayu-dayu.

Begitupun di Palembang semakin kita berjalan ke Barat mendekati perbatasan, maka kita akan mendapati bahasa kaum pendatang yang perlahan mendominasi, bahasa Minang. Selidik punya selidik ternyata cukup banyak perantau minang yang menetap dan memiliki usaha di Palembang dan menjadikan bahasa mereka terdengar familiar disini karena mereka menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari diantara sesama orang minang. Bahkan saye menduga bus yang saye tumpangi untuk pergi dari Palembang ke Bukit Tinggi adalah milik pengusaha berdarah minang, karena selain nama armadanya yang berbahasa minang, pegawai, supir serta kernetnya semua berbahasa minang. Ketika saye berada didalam bus itu saye sudah merasa berada di Sumatera Barat bukan di Palembang lagi.

Ternyata penggunaan bahasa minang tak terhenti sampai disitu, ketika saye berhenti untuk makan malam di Jambi, sebagian orang yang saye jumpai terdengar memakai bahasa yang mirip dengan bahasa minang. Meski itu mungkin juga karena saye memang makan di rumah makan padang dan tak bertemu dengan penduduk setempat.

Mendapati kenyataan seperti diatas, kemudian saye tiba-tiba teringat dengan cerita dari teman saye sendiri yang bermukim di Riau. Bahwa di Riau sana yang notabene adalah wilayah kerajaan melayu, namun bahasa lisan dan logat yang populer disana terpengaruh erat dengan bahasa minang. Sepertinya hipotesa bahwa bahasa itu ditularkan dan menyebar dari kegiatan perniagaan benar adanya. Dahulu bahasa melayu begitu populer di nusantara karena para pedagang antar pulau dan negeri tetangga menggunakannya sebagai bahasa dalam perniagaan, hal ini tak terlepas karena dahulu bandar-bandar laut (pelabuhan niaga) internasional yang maju dan ramai ada di tanah melayu di selat Malaka.

Singkat cerita setelah melewati hampir separuh jalan lintas sumatera pantai barat gradasi bahasa masih terjadi, dan polanya tetap sama seperti sebelumnya. Hampir disetiap perbatasan selalu ada percampuran bahasa karena penduduknya juga telah berbaur. Kali ini yang saye dapati adalah gradasi bahasa minang ke bahasa mandailing di wilayah perbatasan Sumatera Barat dengan Sumatera Utara, daerah itu disebut dengan Panti. Masih bagian dari wilayah Sumatera Barat namun saye mendapati banyak orang memakai bahasa Mandailing disitu. Beberapa kali saye pernah singgah di salah satu kedai kopi disitu, saye beranikan diri berteriak ‘tes manis’ (mandailing “tes” = “teh”) kepada yang jaga kedai. Tanya punya tanya dengan sesama peminum kopi disitu memang di Panti ini banyak pendatang dari Sumatera Utara terutama dari Mandailing dan Tapanuli Selatan. Saye tak bertanya lebih jauh sejak kapan pendatang dari Sumut ada di Panti, tetapi sepanjang penglihatan saye masyarakat di Panti terlihat damai dan rukun tanpa ada gejolak sosial karena perbedaan suku. Dugaan saye pembauran itu telah berlangsung lama sejak agama Islam mulai menyebar dari Sumatera Barat ke wilayah Tapanuli Selatan melalui jalur yang saye lewati ini.   — 00 —     Depok, 13 September 2014