Disrupsi dan Peran Pemuda

A. Memahami disrupsi itu sendiri

            Era disrupsi yang kita bicarakan saat ini adalah sebuah era dimana sistem dominan yang sudah bercokol lama -dalam bentuk brand/merek, peraturan, manajerial, pola pikir- kemudian terganggu/diganggu/disrupted oleh sebuah inovasi yang datang entah darimana, tidak dikenal dan tidak diprediksi, sehingga pada awalnya sering disangkal kehadirannya oleh pemain lama yang mapan, atau mereka yang tidak siap dengan perubahan. Kemudian pada akhirnya mereka terdisrupsi (english: disrupt; drastically alter or destroy the structure of; Cause radical change in industry or market by means of innovation) oleh gelombang baru inovasi yang tak terbendung.

            Dengan demikian, disruption adalah sebuah inovasi. Ia adalah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disruption berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disruption  menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat.

                “disruption menggantikan ‘pasar lama’, industry, dan teknologi, dan menghasilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative!” –Clayton Christensen

                Inovasi memang sejatinya destruktif sekaligus kreatif. Karena itulah selalu ada yang hilang, memudar, lalu mati. Semua potensi itu menimbulkan ketakutan yang membuat kita membentengi diri secara berlebihan. Di sisi lain, ada hal baru yang hidup. Jadi meski ada lapangan kerja yang hilang, selalu ada yang menggantikannya – yang membutuhkan kreativitas, semangat kewirausahaan, dan cara-cara baru.

            Tetapi apakah disrupsi akan menghabisi semua pemain lama? Ada pengecualian, pengecualian itu terjadi jika kita benar-benar cerdik berinovasi, me-reshape model bisnis dengan cara-cara baru. Pengecualian itu juga terjadi apabila para elite dan masyarakatnya mau me-reshape undang-undang atau peraturan lama atau memberi ruang sedikit lebih luas pada pembaruan

Lalu apa sebenarnya yang membuat era disrupsi itu terjadi?

            Semua ini terjadi karena kemajuan teknologi. Pertama teknologi mengubah manusia dari peradaban time series menjadi peradaban real time. Dengan gaya statistik time series kita menginterpolasi data-data masa lalu untuk memprediksi masa depan. Di masa kini, semua hal menjadi serba real time. Data hari ini, pada detik ini juga langsung terolah dalam big data dan secepat itu pula bisa disimpulkan dan ditindaklanjuti.

            Time series statistic menghasilkan indikator-indikator lagging (ketinggalan). Meski perhitungannya benar, basis data yang digunakan adalah masa lalu yang sudah lewat. Sedangkan peradaban real time bisa menghasilkan indikator terkini, yaitu saat ini ketika kita sedang menghadapinya sehingga lebih relevan untuk membuat keputusan. Itu berkat teknologi analisis big data.

            Kedua, era bisnis masa lampau mensyaratkan semua aset produksi harus dimiliki sendiri, kini kita hidup dimana aset-aset konsumtif (gedung properti, mobil, motor, kapal, karyawan dsb) terbuka untuk digunakan bersama, saling berbagi, dan tak harus dimiliki sendiri untuk memulai sebuah bisnis.

            Ketiga, teknologi masa lalu tak memungkinkan kesegeraan. Namun sekarang, kita bisa mendapatkannya begitu kita menginginkannya pada saat itu juga (on demand). Jarak sudah mati; stok digital, data, dan armada sudah dipindahkan ke dekat lokasi yang dibutuhkan konsumen. Teknologi dan algoritma bigdata memungkinkan kita melakukannya.

            Keempat, kurva penawaran-permintaan yang dulu kita palajari adalah permintaan dan penawaran tunggal. Kini kita hidup dalam dunia apps (aplikasi mobile) yang pada saat bersamaan dikerjakan oleh puluhan, bahkan ribuan jejaring yang mempercapat disrupsi.

            Kelima, musuh-musuh (kompetitor) sudah tidak lagi kasat mata. Mereka langsung masuk ke sasaran-sasaran utama, kepada konsumen, dari pintu ke pintu, langsung. Seperti restoran online yang tak memerlukan wujud fisik, namun dapat melayani pesanan langsung pada konsumen, diantar langsung ke pintu rumahnya. Ini terjadi dalam segala sektor, mulai dari pangan, pariwisata, angkutan, obat dsb. Mereka datang dari jauh dalam peradaban global, melalui teknologi dan tangan jutaan orang di sekitar kita.             Cragun dan Sweetman  (2016) mengidentifikasi lima pemicu gelombang disrupsi yang terjadi sejak 1980. Tercatat hingga tahun 2015 kita telah melewati sekitar 20 episode kejutan yang dibagi dalam lima kategori penyebab yaitu; Teknologi (khususnya IT), Teori manajemen (pengelolaan SDM, kepemimpinan, produksi dan bisnis), Peristiwa Ekonomi (peran negara, bank sentral, fluktuasi penawaran-permintaan), Daya Saing Global, dan Geopolitik.

TahunKejutan GlobalKategori
1981Meningkatnya perhatian pada kompetisiDaya Saing Global
1989Perangkat komputer dan software user-friendlyTeknologi
1991Jatuhnya Uni SovyetGeopolitik
1991Kepemimpinan vs Status-QuoTeori Manajemen
1993Penyatuan Pasar: Uni eropaGeopolitik
1995Reengineering Business ProcessesTeori Manajemen
1995Harmonisasi Telekomunikasi GlobalTeknologi
1995PC, KonvergensiTeknologi
1996Kegiatan komersial menggunakan World Wide WebTeknologi
1997Era awal E-commerceTeknologi
1999Downsizing dan Pemutusan Hubungan KerjaEkonomi
2001Perang terhadap TerorismeGeopolitik
2004Implementasi Outsourcing dan OffshoringTeori Manajemen
2006Penyebarluasan SmartphoneTeknologi
2007Social MediaTeknologi
2008Ancaman resesi Subprime Mortgage Crises amerikaEkonomi
2010Standarisasi kantor virtual dan pengenalan Business Model baruTeori Manajemen
2011Arab SpringGeopolitik
2012Eskalasi Cloud ComputingTeknologi
2015Jatuhnya harga minyak mentah duniaEkonomi
20 Gelombang Disrupsi 1980-2015

Dapat kita perhatikan, manusia menghadapi krisis atau masalah di setiap zaman, dan manusia juga selalu menemukan cara untuk mengatasinya. Namun dalam prosesnya, selalu ada ribuan korban, yaitu mereka yang gagal beradaptasi, yang kondisi internalnya tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan, dan yang terikat dengan cara berpikir masa lalu.

Perubahan gaya konsumsi

            Kita ambil contoh mengenai ekonomi berbagi (sharing economy). Karena cara-cara terkini banyak yang baru dikenal, maka para pemimpin tak serta merta paham apa yang sedang terjadi. Tentang bagaimana lapangan pekerjaan lama hilang, dan bagaimana pelaku-pelaku usaha baru menggantikannya

            Kaum muda sudah mulai meninggalkan ekonomi memiliki, yang dimasa lalu mengakibatkan semua orang ingin menguasai aset-aset produktif, sehingga banyak aset pribadi menganggur sementara di sisi lain banyak orang yang butuh namun tidak dapat mengakses aset tersebut. Ketimpangan itu mendorong mereka beralih ke ekonomi berbagi atau ekonomi akses. Bagi mereka, yang penting sesungguhnya bukan memiliki, tetapi ada atau tidaknya akses pada barang-barang itu dan semangat menghidupi.

            Kita ibaratkan penumpang transportasi online yang memiliki akses ke beragam jenis kendaraan yang diperlukannya. Mereka merasa lebih nyaman karena tidak perlu memusingkan perawatan, parkir, dan biaya ini itu. Selama akses untuk menggunakan terbuka luas, tak ada apapun yang perlu dikhawatirkan. Hal ini jauh lebih efisien ketimbang memiliki kendaraan sendiri.

            Begitu juga sektor pariwisata, travelling sedang ramai-ramainya, namun yang menuai keuntungan bukanlah jaringan hotel raksasa internasional, melainkan perusahaan platform seperti AirBnB, RedDoors, OYO yang tidak memiliki satupun aset property sama sekali. Mereka berbagi keuntungan dengan pemilik-pemilik rumah dan kamar – rakyat biasa diseluruh dunia. Terjadi gotong-royong global yang memukul semua pemain lama.   

Dari Produk ke Platform

            Orang-orang lama terbiasa dengan realitas dunia riil, fisik dan terlihat. Itu adalah dunia konvensional dengan segala produk-produknya (Toyota, Honda, Mercedes, Matahari, Ramayana, BRI, BCA, Mandiri, Hilton, JW Marriot dll). Produk-produk itu kita sebut sebagai produk dengan mata rantai linear. Ada satu produsen, single supply, lalu ada single group of demandyang kita sebut konsumen.

            Kini dunia telah berubah menjadi serba-berjejaring, bukan lokal, tetapi global. Inilah yang menjadikannya rumit dan sulit dikendalikan negara apabila masih menggunakan cara-cara lama. Bagi para pelaku usaha dalam dunia baru ini, sharing is the new buying. Mereka bukan hanya membeli, tetapi melakukan ekonomi berbagi. Terbentuklah jejaring antara sesama konsumen, bahkan sesama pemasok. Hukum supply-demand sudah berubah dari apa yang kita pelajari dari teori-teori ekonomi klasik. Saat ini terdapat kelompok pemasok dan kelompok besar konsumen yang interaktif. Mata rantai yang terbentuk menjadi tidak linear melainkan berbentuk platform.

            Begitulah platform ride sharing seperti Uber, Gojek, atau room sharing seperti AirBnB, Airy Room, OYO. Ada kelompok pemasok (pemilik kendaraan, property) bergabung dalam dunia apps. Lalu ada kelompok konsumen yang tidak saling mengenal tetapi tergabung dalam jejaring sebagai pengguna layanan apps tersebut.

B. Dimana Kita Dalam Era Disrupsi?

            Disrupting or disrupted, pemuda dan semua golongan yang terkena dampaknya hanya punya dua pilihan tersebut. Teori disruption memprediksi terjadinya disrupsi besar-besaran. Siapkah kita menghadapi bencana atau memanfaatkan kesempatan ini? Tahun 1997 Clayton M. Christensen memperkenalkan teori yang kemudian dikenal sebagai disruption. Kata disruption ini menjadi sangat populer karena bergerak sejalan dengan muncul dan berkembangnya aplikasi-aplikasi teknologi informasi dan mengubah bentuk kewirausahaan biasa menjadi start-up.

            Jika ada yang membandingkan disrupsi dengan revolusi, ya benar disruption betul-betul suatu revolusi.. Sejak krisis ekonomi Asia (1997) dan Amerika Serikat (2008), anak-anak muda diseluruh begitu bergairah membangun start-up ketimbang mencari pekerjaan. Mereka bukan sekedar berwirausaha, melainkan “mendisrupsi” industry, meremajakan, dan membongkar pendekatan-pendekatan lama dengan cara-cara baru.

            Pemain lama (incumbent) yang tak berdaya biasanya akan mengarahkan senjata terakhirnya, yaitu tenaga kerja yang terancam menganggur (jika perusahaan mereka collapse) untuk menekan regulator (unjuk rasa ke pemerintah). Begitulah respon dari mereka yang terdisrupsi. Semakin menarik karena regulator yang berkuasa  biasanya ketinggalan zaman dan tidak tahu apa yang terjadi.  

            Pemerintah juga merasa rentan karena inovasi-inovasi baru itu bepotensi mengancam pendapatan mereka dari sisi perizinan. Regulator belum paham dan tidak berfokus pada partisipasi ekonomi rakyat (khususnya kaum muda perkotaan), melainkan terfokus pada apa yang tertulis dalam mekanisme perizinan dan pungutan yang mereka terima. Disruptive economy membutuhkan disruptive leader, disruptive bureaucrat, dan disruptive mindset.

            Sebelum kita sampai pada tahapan yang harus dicapai oleh masing-masing kita (agar tidak terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru) yaitu self-disruption, berikut ini adalah poin-poin untuk memahami teori disrupsi, memahami teori perlu agar kita tidak bergerak dalam ruang gelap tanpa pemahaman yang cukup.  

            Disrupsi…;

  • Adalah suatu proses. Ia tidak terjadi seketika. Dimulai dari ide, riset atau eksperimen, lalu proses pembuatan, pengembangan business model. Ketika berhasil, pendatang akan mengembangkan usahanya pada titik pasar terbawah yang diabaikan incumbent, lalu perlahan-lahan menggerus keatas, ke segmen yang sudah dikuasai incumbent.
  • Memasuki pasar dengan business model baru, yang berbeda dengan yang sudah dilakukan pemain-pemain lama. Karena itu, inovasi business model menjadi penting.
  • Tidak semua disruption sukses menjadi pelaku disruption atau menghancurkan posisi incumbent.
  • Incumbent tak harus selalu berubah menjadi disruptor. Ada banyak strategi yang bisa ditempuh incumbent, termasuk meneruskan sustainable innovation dan membentuk unit lain yang melayani disruptor.
  • Teknologi bukan disruptor, tapi enabler. Selain TI, alat-alat baru lain dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan.
  • Disrupsi dapat menyebabkan deflasi, harga turun, karena disruptor memulai low cost strategy.

Pelajaran dari Nokia dan Kodak

            Pada 1970-an dunia hanya mengenal rol film merek Kodak dan Fuji. Kini Kodak telah tiada, sedangkan Fuji berevolusi ke dunia digital (lab, health dll). Sepuluh tahun yang lalu kita menyebut Nokia sebagai “HP sejuta umat” tapi pada 2013 kita melihat divisi handset Nokia diakuisisi Microsoft. Apa yang terjadi dengan strong brand itu?

            Ketika berhadapan dengan menurunnya revenue from sales, biasanya eksekutif mempersoalkan marketing. Yang satu mengotak-atik branding, yang lain membongkar sales, komisi penjualan, packaging, dan seterusnya. Padahal masalahnya bukan disitu. Masalahnya bukan di dalam tubuhnya, melainkan sesuatu yang telah berubah. Kalau perekonomian masih tumbuh, sementara usaha anda mengalami kemunduran, itu pertanda ada lawan-lawan baru yang tak terlihat. Temukanlah.

            Nokia pernah menjadi sahabat banyak orang di dunia, berawal dari merek sepatu menjadi ponsel dengan pendekatan ‘human touch’dan ‘connecting people’. Bentuknya jauh lebih fashionable daripada pesaing-pesaingnya; Motorola atau Ericsson. Namun tiba-tiba global market share nya mengerucut, tinggal 15%. Ketika itu terjadi, eksekutif Nokia melakukan hal serupa seperti perusahaan-perusahaan lainnya: mengotak-atik keunggulan brand-nya. Mereka lalu menjalin hubungan dengan Microsoft, yang tertarik menyebarluaskan software windows phone (penjualan PC global sedang drop, sehingga Microsoft perlu beralih ke bisnis mobile devices.

            Solusi tersebut terbukti keliru. Brand Microsoft tak mampu menjadikan Nokia lebih baik. Pasar telah beralih ke Android dan Nokia terlalu terlambat menanggapinya. Analis bisnis juga mengatakan, akuisisi Microsoft atas Nokia handset juga tak mampu menjadikan Microsoft seperti Apple yang telah terlanjur memiliki loyalis dalam kategori mobile devices.

            Pada 1980-an Sony mulai menjelajahi kamera digital, Fuji juga menangkap peluang itu, Kodak memilih duduk manis. Fuji malah menambah dana riset untuk teknologi digital. Pada 1999, total investasi risetnya di sektor digital mencapai 2 miliar dolar AS. Dengan demikian, pada 2003, mereka telah memiliki lebih dari 5000 digital processing lab. Mereka juga menjelajahi dunia kesehatan (rontgen, office automation dsb).

            Bagaimana reaksi Kodak? akhirnya Kodak hanya berkutat diseputar marketing: branding, location, pricing, packaging, advertising, dan seterusnya. Ketika Fuji telah menguasai digital processing lab, Kodak baru memiliki beberapa puluh unit saja. Inilah awal kemunduran Kodak, dengan resiko brand yang kuat pun bisa mati kalau hanya menjalankan marketing strategy. Penjualan yang turun bukanlah melulu akibat marketing salah, melainkan sesuatu telah berubah.

            Nokia dan Kodak diduga mengalami fase kepunahan karena tetap dengan pendekatan ‘produk’, tatkala dunia telah beralih ke teknologi informasi. Pada masa kejayaannya, dalam banyak kesempatan Nokia selalu mengedepankan ‘produk’ sebagai andalannya. Produk di desain dengan unik dan di proses menurut teori mata rantai nilai (value chain) yang konvensional. Sedangkan Apple di era “Steve Jobs return” langsung menyatakan dirinya sebagai telepon pintar dengan kekuatan jejaring Appstore yang menghubungkan beragam kebutuhan dan ekosistem kehidupan manusia. Apple menjadi fasilitator platform yang mengembangkan beragam jejaring, user to user, hal yang sama juga yang dilakukan Android-nya Google. Lalu kita lihat perbandingan antara Kodak dan Instagram, yang satu benar-benar menawarkan produk, yang satunya menawarkan kehidupan.

Self-Disruption

                Kita kembali lagi pada disrupting or disrupted. Sesungguhnya sedikit sekali diantara kita yang memiliki kecenderungan alami untuk dapat melihat kesenjangan atau gap sebagai sebuah peluang, bukan sebuah ancaman. Kesenjangan itu adalah modal untuk melakukan disrupsi, sesuatu yang berbeda akibat dari inovasi yang tak terpikirkan sebelumnya. Barangnya bisa sama, tetapi model bisnisnya berbeda. Para incumbent menganggap inovasi seperti itu sebagai penyimpangan, dan bagi mereka cara itu adalah ancaman, bukan peluang.

            Namun sebelum kita mendisrupsi organisasi, produk, dan rencana bisnis, kita perlu melakukan self-disruption: meremajakan cara berpikir agar lebih realistis. Self-disruption berarti kita berdamai dengan dinamika baru, mengubah ancaman menjadi peluang, membuat lebih sederhana, tentunya dengan teknologi baru.

            Meremajakan cara berpikir, ya mindset. Mindset adalah bagaimana manusia berpikir yang ditentukan oleh setting yang kita buat sebelum berpikir dan bertindak. Sama seperti kita men-setting ponsel sebelum kita gunakan, setting suara, bahasa, dan fitur-fitur lainnya. Incumbent banyak dihancurkan oleh disrupsi karena incumbent selalu melihat dengan ‘pengalaman’nya. Kalau saja ia memiliki disruptive mindset, ia bisa menjadi kreatif dan tak takut melihat perubahan yang seperti dilakukan anak-anak muda tanpa beban masa lalu.

            Beberapa contoh kasus dalam sebuah kompetisi, hanya mereka yang bermental terbuka dan siap menerima kebaruan dari luar diri mereka yang akan keluar sebagai pemenang kompetisi. Mental disruptive ini tidak terikat oleh pengalaman atau aturan baku yang kaku pada masa lalu, melainkan sikap terbuka terhadap masa depan.

C. Penutup

            Kata kuncinya adalah; buatlah diri kita selalu tetap relevan. Sebagai perumpamaan kita ambil contoh karir manusia, apapun profesinya, apakah anda pemegang gelar master yang ingin jadi dosen lalu bercita-cita ingin jadi guru besar dan ilmuwan yang dihormati atau berhenti begitu menjadi dosen. atau musisi yang ingin tetap dikenal sepanjang hayat melalui lagu fenomenal atau berhenti begitu muncul di televisi dan meluncurkan satu album, atau atlet yang suatu ketika berubah menjadi pelatih, dsb.     

            Sekali anda merasa sudah final, maka karir anda sudah selesai. Karir seorang ilmuwan bisa sudah berhenti lama saat ia selesai menjadi dosen dan berhenti menulis, namun dengan tetap melakukan penelitian dan menulis membuat dirinya tetap relevan.

            Dunia sekitar kita saat ini berubah terus-menerus, mereka berlari sangat kencang dibantu oleh para pengembang teknologi yang bukan saja memperbaharui kecepatan dan alat, melainkan juga business model, business process, dan engagement yang mereka tawarkan. Selain itu, semua orang terus menuntut perbaikan hidup. Dan perbaikan hidup akan membuat manusia berpindah (shifting) ke hal yang baru dan yang lebih efisien.                

“Adaptive all the time is the key for being able to shift ahead” –Maryam Bambarin, Former CEO of Hyatt

Iklan

Surat Terbuka Untuk Ustadz Arifin Ilham

Kajian Timur Tengah

Yang saya hormati, Ustadz Arifin Ilham,

Assalamualaikum ww. Perkenalkan, saya Dina Y. Sulaeman, seorang ibu rumah tangga biasa, yang senang belajar dan menulis. Kecintaan saya untuk menuntut ilmu mendorong saya untuk kuliah lagi di program doktor Hubungan Internasional; sama sekali tak ada karir yang menuntut saya untuk itu. Tulisan-tulisan saya selama ini, kelihatannya cukup banyak diapresiasi orang; dalam arti, bukan tulisan ngawur. Bahkan ada tulisan saya yang sempat dimuat di majalah Az-Zikra yang Antum terbitkan, Ustadz.

Hanya saja, sejak saya aktif memberikan penjelasan tentang bagaimana sebenarnya konflik Suriah, saya tiba-tiba dimusuhi oleh kelompok-kelompok radikal pro-jihad Suriah. Dan tiba-tiba saja, seorang ibu rumah tangga seperti saya mendapat ‘kehormatan’ dinobatkan jadi “Tokoh Syiah Indonesia” oleh media-media pro-jihad Suriah, yang pemiliknya adalah teman-teman Antum sendiri, Ustadz. Meskipun isi artikel berjudul Tokoh Syiah itu fitnah, tapi setidaknya tiba-tiba saja ada gelar ‘tokoh’ dilekatkan kepada saya. Siapa tahu gelar ini (meskipun ngawur), membuat saya dianggap…

Lihat pos aslinya 1.469 kata lagi

INTRO

Saya ingin mengucapkan selamat datang dan selamat membaca tulisan-tulisan di blog ini kepada siapa pun yang kebetulan lewat dan berkunjung kesini. Maaf saya tidak bisa menyajikan apa-apa selain tulisan-tulisan dari pikiran absurd ini hehehehe. Blog ini memang saya maksudkan sebagai blog pribadi yang memuat tulisan-tulisan saya sendiri yang berupa opini, artikel ilmiah, surat-surat, essai ataupun puisi dan jenis-jenis tulisan lainnya, yang telah saya tulis diwaktu terdahulu atau yang akan saya tulis dimasa mendatang.

Pertimbangan pertama kenapa akhirnya membuat blog ini adalah atas dasar keperluan dokumentasi, blog terdahulu yang pernah saya buat berakhir tragis karena tidak pernah diurus dengan berbagai macam alasan. Namun setelah menyadari bahwa banyak dokumen-dokumen yang pernah ditulis berserak dan hilang begitu saja di hardisk-hardisk PC, laptop, dan Flashdisk, saya mulai berpikir untuk merangkumnya dalam sebuah wadah, dimana tulisan-tulisan itu bisa terdokumentasi sehingga tidak hilang begitu saja, maka saya putuskan untuk membuat blog ini. Paling tidak selama wordpress dan internet masih ada, tulisan-tulisan ini akan tetap eksis.

Satu hal yang menurut saya menjadi pengalaman yang menyenangkan adalah ketika kita dapat membaca tulisan-tulisan lama yang kita buat sendiri. Dalam pengalaman pribadi, sering kali saya tidak menyangka pernah punya pikiran-pikiran seperti yang pernah dituliskan dalam artikel-artikel atau opini yang pernah dibuat. Mungkin itu karena dinamika pemikiran dan wawasan yang terus berkembang sejak artikel itu ditulis pada masanya. Bagi saya hal itu menyenangkan karena kita bisa melihat rekam jejak perkembangan pemikiran dan wawasan kita sejak dari kurun waktu kapan tulisan itu dibuat. Kadang saya bisa tertawa sendiri kenapa dulu punya pemikiran sebodoh itu ketika membaca opini-opini terdahulu yang dibuat sendiri. 😀

Dari pengalaman seperti itu saya semakin meyakini bahwa kita tidak boleh tunduk dan patuh apalagi mengkultuskan seseorang, karena manusia bisa salah, manusia pasti berubah. Bila ingin setia, setialah pada nilai-nilai, ide-ide dan gagasan yang diucapkan, bukan setia pada siapa yang mengucapkan (dalam konteks prinsip-prinsip hidup profan). Ini membuat saya teringat dengan dialog dalam film V for Vendetta soal apa yang terakhir saya tulis diatas. V yang memakai topeng Guy Fawkes itu menjelaskan pada Evey tokoh wanita pada salah satu adegan film itu kenapa ia memakai topeng. Karena ia ingin menyampaikan pesan bahwa bukan sosok manusianya yang harus dikagumi tetapi ide dan pemikirannya lah yang harus diteladani dan diwarisi;

‘Karena manusia bisa gagal. Dia bisa tertangkap, dia bisa terbunuh dan terlupakan. Tapi 400 tahun kemudian, sebuah pemikiran masih bisa mengubah dunia. Aku menyaksikan dari awal akan kedahsyatan sebuah pemikiran. Aku melihat manusia membunuh dengan mengatasnamakan pemikiran itu dan mati karena mempertahankan pemikiran tersebut. Tapi kau tak bisa mencium pemikiran, tak bisa menyentuh ataupun memegang pemikiran tersebut. Pemikiran tidak berdarah. Mereka tidak merasakan sakit.’

Sebagai contoh tentang perubahan sikap saya adalah tulisan dalam blog ini yang berjudul ‘Bagaimana Kontestan Pilgubsu Belajar dari Jokowi-Ahok’ adalah ekpresi kekaguman saya pada waktu itu akan kemunculan Joko Widodo di bursa Pikada Gubernur DKI, dengan segala tampilan permukaannya yang dicitrakan sedemikian rupa sehingga kita melihatnya sebagai antitesis dari semua tipe kepemimpinan yang ada selama ini di Indonesia, dengan jujur saya katakan pada waktu itu saya terpesona dengan Jokowi. Namun penilaian pada Jokowi berubah ketika ia memutuskan maju sebagai Presiden pada pilpres 2014.

Sebagai mahasiswa dan sedang tidak terikat dengan organisasi manapun – yang bisa mempengaruhi penilaian objektif terhadap calon-calon presiden- dengan tambahan wawasan dan keilmuan yang saya miliki, saya mencoba mempertimbangkan dan akhirnya memutuskan bahwa Jokowi memiliki lebih banyak ‘kejanggalan’ daripada pesaingnya bila maju dalam pilpres. Bagaimanapun pilpres sudah usai dan kita tahu siapa presiden Indonesia sekarang. Yang pasti saya tidak mendapatkan benefit langsung siapapun presidennya, saya juga menduga anda yang rakyat biasa tidak mendapat keuntungan apa-apa selain kebanggaan jagoannya menang di pertarungan pilpres. Jadi udah deh kita stop pembahasan tentang Jokowi ini. 0_0

Contoh diatas hanya ingin mengatakan bahwa tulisan berbentuk opini yang saya buat biasanya adalah tulisan yang dibuat spontan ketika ada fenomena baik politik, ekonomi, budaya atau sosial (seringnya sih politik) yang menarik perhatian saya dan ingin mengomentarinya. Jadi itu semacam komentar spontan tentang sebuah fenomena yang terjadi.

Jadi kepada teman-teman semua yang kebetulan sedang membaca blog ini, saya mohon maaf sebelumnya kalau ada komentar-komentar yang bodoh dan naif sampai-sampai menyinggung anda sehingga membuat anda membenci saya, sungguh saya tidak ingin dibenci, inginnya dicintai. 😉

Saya tidak bermaksud muluk-muluk dengan ingin berbagi menerbitkan tulisan-tulisan di blog ini. Apakah saya mau memberikan pencerahan kepada pembacanya? Mustahil, saya sendiri aja masih jauh dari tercerahkan hahaha. Tidak pula ingin mendapatkan apresiasi, semata-mata ini hanya bagian dari proses belajar saya dalam menulis. Dulu saya selalu mendorong orang untuk menulis, padahal saya sendiri aja masih jarang menulis, dengan adanya blog ini semoga motivasi saya untuk menulis semakin kuat.

Saya tidak bilang menulis itu mudah atau menulis itu gampang, karena saya berpendapat yang bilang menulis itu mudah dan yang bilang menulis itu susah mereka berdiri dan memandang dari perspektif yang berbeda, kedua pendapat itu benar dalam perspektif masing-masing. Saya menganalogikan seperti dua orang yang sedang ngobrol soal mendaki gunung, yang satu yang belum pernah mendaki mengatakan bahwa mendaki gunung itu melelahkan dan pekerjaan berat dan sia-sia, walaupun ia sering mendengar cerita-cerita tentang keindahan dan keseruan dari orang-orang yang turun dari gunung, sedangkan yang satu lagi yang telah turun-naik gunung dan mengalami pengalamannya sendiri tentang keindahan alam tersebut tanpa perlu berargumen panjang segera mengajak teman ngobrolnya itu untuk mendaki gunung terdekat.

Anyway saya cuma bisa berharap blog ini bisa dengan konsisten saya isi, dan kualitasnya semakin lama semakin baik. Saya akan sangat berterimakasih jika anda tidak sungkan-sungkan untuk memberikan masukan saran, dan kritik pada saya, bisa langsung pada halaman blog ini atau ke email saya di fuadginting@gmail.com

Depok, 28 November 2014

Bila Saye Berjalan-Jalan Sambil Melihat-Lihat Bahasa

Melakukan perjalanan memang seharusnya tak hanya berarti berpindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya. Biasanya sangat banyak tersedia waktu luang ketika kita melakukan perjalanan dan akan menjadi sia-sia jika waktu tersebut tak digunakan untuk sekedar memperhatikan, menyelidiki atau memahami tentang sesuatu hal baru yang kita jumpai dalam perjalanan.

Selayaknya sebuah buku, melakukan perjalanan adalah sebuah cara yang mengasyikkan untuk membuka cakrawala. Dengan melakukan perjalanan kemungkinan besar kita akan menemui berbagai hal yang baru dan berbeda dengan apa yang sehari-hari kita temui dilingkungan tempat tinggal kita. Hal-hal baru dan berbeda itu bisa jadi adalah adat-istiadat, bahasa, makanan dan minuman, kebiasaan sehari-hari, pekerjaan penduduk setempat, atau pakaian mereka dan masih banyak lagi. Sehingga sangat wajar jika seorang pejalan memiliki luasnya wawasan yang tak kalah dengan orang yang banyak membaca buku.

Sebuah kebudayaan yang besar dan dominan muncul dari kebudayaan yang disempurnakan dari kebudayaan-kebudayaan di sekitarnya. Mereka mengambil nilai dan tradisi yang baik kemudian di implementasikan kedalam budaya mereka melalui proses interaksi yang panjang sehingga menghasilkan kebudayaan yang lebih sempurna. Dahulu interaksi antar budaya itu terjadi akibat aktor-aktor perjalanan yang dilakukan oleh pedagang atau misi khusus kebudayaan yang dikirim oleh suatu kerajaan ke sebuah negeri untuk menjalin persahabatan. Maka dapat kita lihat dimana wilayah yang dahulu dekat dengan pelabuhan dan perdagangan internasional serta-merta kebudayaannya maju dengan pesat, sedangkan wilayah di pedalaman atau pulau terpencil, kebudayaan suku-suku yang tinggal didalamnya berkembang dengan lambat.

Bicara tentang perjalanan, beberapa waktu lalu saye melakukan perjalanan darat lintas sumatera dengan menggunakan mobil dan bus, serta sempat singgah di beberapa kota. Ada yang menarik perhatian saye dalam perjalanan kali ini – oh ya ini adalah perjalanan pertama saye melintasi jalan Pulau Sumatera dimulai dari ujung lampung kemudian naik keatas kearah barat Sumatera – sebelumnya saye sudah pernah melakukan trip dari Medan Ke Jambi. Apa yang menarik perhatian saye adalah gradasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat di tiap-tiap provinsi yang saye lewati. Walaupun saye tak berhenti lama disetiap kota ditiap provinsi, namun interaksi dengan pedagang dan mendengar bahasa penduduk di setiap pemberhentian bus, saye sudah bisa merasakan keunikan bahasa dan menyimpulkan beberapa hal.

Gradasi bahasa ini menarik karena saye menyadarinya ketika telah meninggalkan Lampung dan tengah berada dalam perjalanan ke kota Palembang. saye menyadari bahwa arus perubahan penggunaan bahasa di jalur lintas sumatera ini sejalan dengan jalur migrasi penduduk. Tak hanya dari arah pulau Jawa ke Sumatera, tetapi juga dari arah Sumatera ke Jawa. Di Lampung bahasa yang saye temukan digunakan dalam percakapan sehari-hari sudah banyak bercampur dengan bahasa pasaran yang berasal dari Jakarta. Misalnya pemakaian lu-gue dan istilah serta logat yang digunakan tak berbeda jauh dari istilah dan logat yang digunakan orang-orang di Jakarta. Namun semakin kita ke barat mendekati perbatasan provinsi Lampung dengan Sumatera Selatan, pengaruh bahasa Palembang semakin kuat. Ini terlihat dari bahasa yang banyak digunakan orang di pasar, kemungkinan ini terjadi karena banyak dari mereka adalah orang Palembang yang bekerja atau sudah bermigrasi ke Lampung. Dugaan saye ternyata benar, karena dua orang pekerja sebagai porter di pelabuhan Bakaheuni yang saye ajak ngobrol sebelumnya mengaku berasal dari Palembang, juga pemilik rumah makan dan pelayannya tempat saye transit menunggu tumpangan selanjutnya dari kota Bandar Lampung menuju Palembang.

Di Palembang saye berteduh selama 3 malam sambil mengunjungi tempat-tempat tersohor disana. Palembang memiliki bahasa dan logat yang khas, sangat berbeda dengan logat-logat yang saye temui sebelumnya. Menurut saye yang memang bukan ahli linguistik, bahasa Palembang sekilas terdengar seperti perpaduan bahasa melayu dan jawa yang lebih kental unsur melayunya, karena terdengar mendayu-dayu.

Begitupun di Palembang semakin kita berjalan ke Barat mendekati perbatasan, maka kita akan mendapati bahasa kaum pendatang yang perlahan mendominasi, bahasa Minang. Selidik punya selidik ternyata cukup banyak perantau minang yang menetap dan memiliki usaha di Palembang dan menjadikan bahasa mereka terdengar familiar disini karena mereka menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari diantara sesama orang minang. Bahkan saye menduga bus yang saye tumpangi untuk pergi dari Palembang ke Bukit Tinggi adalah milik pengusaha berdarah minang, karena selain nama armadanya yang berbahasa minang, pegawai, supir serta kernetnya semua berbahasa minang. Ketika saye berada didalam bus itu saye sudah merasa berada di Sumatera Barat bukan di Palembang lagi.

Ternyata penggunaan bahasa minang tak terhenti sampai disitu, ketika saye berhenti untuk makan malam di Jambi, sebagian orang yang saye jumpai terdengar memakai bahasa yang mirip dengan bahasa minang. Meski itu mungkin juga karena saye memang makan di rumah makan padang dan tak bertemu dengan penduduk setempat.

Mendapati kenyataan seperti diatas, kemudian saye tiba-tiba teringat dengan cerita dari teman saye sendiri yang bermukim di Riau. Bahwa di Riau sana yang notabene adalah wilayah kerajaan melayu, namun bahasa lisan dan logat yang populer disana terpengaruh erat dengan bahasa minang. Sepertinya hipotesa bahwa bahasa itu ditularkan dan menyebar dari kegiatan perniagaan benar adanya. Dahulu bahasa melayu begitu populer di nusantara karena para pedagang antar pulau dan negeri tetangga menggunakannya sebagai bahasa dalam perniagaan, hal ini tak terlepas karena dahulu bandar-bandar laut (pelabuhan niaga) internasional yang maju dan ramai ada di tanah melayu di selat Malaka.

Singkat cerita setelah melewati hampir separuh jalan lintas sumatera pantai barat gradasi bahasa masih terjadi, dan polanya tetap sama seperti sebelumnya. Hampir disetiap perbatasan selalu ada percampuran bahasa karena penduduknya juga telah berbaur. Kali ini yang saye dapati adalah gradasi bahasa minang ke bahasa mandailing di wilayah perbatasan Sumatera Barat dengan Sumatera Utara, daerah itu disebut dengan Panti. Masih bagian dari wilayah Sumatera Barat namun saye mendapati banyak orang memakai bahasa Mandailing disitu. Beberapa kali saye pernah singgah di salah satu kedai kopi disitu, saye beranikan diri berteriak ‘tes manis’ (mandailing “tes” = “teh”) kepada yang jaga kedai. Tanya punya tanya dengan sesama peminum kopi disitu memang di Panti ini banyak pendatang dari Sumatera Utara terutama dari Mandailing dan Tapanuli Selatan. Saye tak bertanya lebih jauh sejak kapan pendatang dari Sumut ada di Panti, tetapi sepanjang penglihatan saye masyarakat di Panti terlihat damai dan rukun tanpa ada gejolak sosial karena perbedaan suku. Dugaan saye pembauran itu telah berlangsung lama sejak agama Islam mulai menyebar dari Sumatera Barat ke wilayah Tapanuli Selatan melalui jalur yang saye lewati ini.   — 00 —     Depok, 13 September 2014