EKSISTENSI ETNIS DAN PEMEKARAN DAERAH

POLITIK IDENTITAS DI PAKPAK BHARAT

Salah satu dampak yang tidak terduga dari demokratisasi politik ditingkat lokal adalah semakin kuatnya persaingan identitas dalam kegiatan politik terutama dalam pilkada dan pemekaran daerah. Mobilisasi jaringan kekerabatan, etnis dan keagamaan kemudian diciptakan untuk memenangkan persaingan politik tersebut. Setiap pemilihan baik itu gubernur, bupati maupun kepala desa mempertimbangkan keterwakilan etnis dan agama tertentu, sehingga power sharing antara kumpulan etnis dominan selalu mewarnai dalam setiap proses pemilihan kepemimpinan politik.[1]

Sebagai koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan uniformisasi pemerintah pusat dengan keluarnya kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah yang dalam visi otonomi daerah yakni dibidang politik, ekonomi, sosial budaya. Untuk bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi, maka harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada azas pertanggungjawaban publik.[2]

Ketidakpuasan daerah terhadap pusat menjadi wacana terbuka, kemarahan masyarakat kepada apa yang terlihat sebagai dominasi pusat dan perlakuan tidak adil juga semakin meluas dalam gelombang krisis ekonomi tersebut. Desentralisasi politik idealnya untuk menciptakan pengelolaan fiskal, kelembagaan negara, instrumen hukum, dan pengawasan wilayah yang lebih memperhatikan keseimbangan politik antara pusat dan daerah. Namun konsep ini tidak serta-merta menjadi solusi bagi permasalahan yang berakar pada keanekaragaman sosial, budaya, dan agama. Terjadinya konflik etnis pada beberapa daerah seperti di Kalimantan, Maluku, Sulawesi memperlihatkan desentralisasi belumlah seideal cita-citanya. Meskipun desentralisasi adalah pilihan kebijakan bagi Indonesia pasca otoritarianisme Orde Baru, tetapi pilihan itu bukanlah tanpa persoalan, terutama jika kita lebih jauh menyoroti dinamika sosial dan budaya, tidak sekedar terbatas pada aspek perubahan kelembagaan negara.[3]

Salah satu kebijakan yang tidak dapat dilepaskan dari desentralisasi dan berkaitan dengan lahirnya sentimen identitas adalah kebijakan pemekaran. Pemekaran adalah istilah Indonesia untuk menyebut sub-divisi distrik-distrik dan provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru.[4] Pemekaran adalah aspek yang paling mencolok dan tidak terencana terkait proses desentralisasi di Indonesia, karena para pembuat kebijakan desentralisasi di Indonesia tidak bermaksud memicu terjadinya pemekaran yang tergesa-gesa. Dari sekian banyak literatur tentang desentralisasi diseluruh dunia mengenai transfer kekuasaan dari tingkat administratif ke yang lainnya, tidak ada yang menyebutkan perlunya membuat kembali batas-batas baru wilayah administratif itu sendiri.

Kebebasan politik dan kesempatan yang terbuka oleh desentralisasi ini tidak disia-siakan oleh beberapa daerah yang selama ini ingin membentuk daerah pemekaran baru dan terlepas dari induknya. Pakpak Bharat adalah satu-satunya yang mekar dari kabupaten induknya Dairi pada tahun 2003. Berbeda dengan pemekaran pada tingkat provinsi yang merupakan gabungan dari beberapa kabupaten/kota, pemekaran pada tingkat kabupaten sangat dekat kecenderungannya pada upaya memelihara eksistensi etnis dan teritorial.

Pemekaran Kabupaten Pakpak Bharat berdasarkan Undang-Undang RI No.9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pakpak Bharat dengan wilayah yang ditetapkan terdiri atas 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Sitelu Tali Urang Jehe, Kecamatan Kerajaan, dan Kecamatan Salak. Peresmian Kabupaten Pakpak Bharat sendiri beserta pelantikan Pejabat Bupati Pakpak Bharat Tigor Solin dilaksanakan pada 28 Juli 2003 di Medan oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.

Keinginan Pakpak Bharat membuat DOB sendiri cenderung didorong oleh motif homogenitas etnis. Asumsi ini diperkuat dengan data demografi kependudukan Kabupaten Dairi sebelum pemekaran terjadi. Kabupaten Dairi yang penduduk aslinya merupakan etnis Pakpak mengalami peminggiran dalam bidang politik, sosial dan budaya di tanahnya sendiri akibat kalah dalam hal kuantitas dengan etnis Toba sebagai pendatang yang bermigrasi dari Tapanuli Utara.

Tabel 1.2 Persentase Penduduk Menurut etnis di Kabupaten Dairi Tahun 2005

No. Etnis Persentase (%)
1 Karo 15,11
2 Batak Toba 30,15
3 Pakpak 18,42
4 Simalungun 9,53
5 Mandailing 9,10
6 Jawa 8,22
7 Aceh 6,09

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi, Kabupaten Dairi dalam Angka. Tahun 2005

Meskipun demikian motivasi lain–seperti isu efisiensi dan efektivitas pemerintahan, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan elit lokal tetap relevan dalam tuntutan pemekaran Kabupaten Dairi ini.

Oleh karena itu diakhir tulisan ini berusaha melontarkan alasan Pemekaran Pakpak Bharat juga merupakan satu kasus dari sekian banyak pemekaran dalam arus bigbang decentralization yang terjadi di Indonesia. Namun faktor-faktor dan kondisi yang berlaku pada daerah yang menuntut pemekaran tidaklah seragam. Secara umum pemekaran Pakpak Bharat terlihat bermotif homogenitas identitas, tuntutan etnis asli untuk dapat memiliki pemerintahan dan wilayah yang murni dari etnis Pakpak sendiri.

Namun jika kita berhenti pada asumsi itu maka kita akan jatuh pada kesimpulan ahistoris dan mendistorsi politik identitas yang berlaku di daerah tersebut. Tulisan ini juga meninjau lebih jauh proses politik, sosial dan kultural yang dibentuk oleh dinamika desentralisasi dan cara masyarakat Pakpak Bharat terlibat dalam dinamika itu melalui penafsiran kembali lembaga, instrumen hukum dan teritorial sehingga menghasilkan DOB Kabupaten Pakpak Bharat.

Kebangkitan Etnis Pakpak

Upaya membangkitkan dan memperkuat simbol-simbol identitas etnis Pakpak ini ternyata bukan persoalan mudah, karena kesadaran identitas etnis Pakpak pada tahun 1950-an itu sangat lemah bahkan memudar. Banyaknya orang Pakpak yang mengganti marganya ke marga Batak Toba ketika mencari selamat saat adanya ancaman dan teror ketika pergolakan politik terjadi, semakin mengaburkan batasan etnis antara orang Pakpak dengan orang Batak Toba.[5] Ditambah lagi karena mengalami diskriminasi politik dan budaya, orang Pakpak menjadi malu-malu mempraktikkan budayanya sendiri, tetapi sebaliknya secara terbuka memakai bahasa dan budaya Batak Toba.[6]

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, harapan orang Pakpak untuk memiliki kabupaten sendiri dengan nama Kabupaten Pakpak kandas setelah Pemerintah Provinsi memberi nama kabupaten baru itu Kabupaten Dairi. Begitu juga dengan harapan kabupaten itu dipimpin oleh putra Pakpak, pupus setelah pemerintah provinsi menetapkan orang Batak Toba menjadi Bupati Dairi. Meski singkat, pada masa pemerintahannya Jauli Manik menggunakan kekuasaannya untuk merekonstruksi identitas dan mengonsolidasikan kesadaran etnik orang Pakpak.

Secara politik dan ekonomi keberadaan etnik Pakpak kembali melemah dengan pembentukan Kabupaten Dairi pada tahun 1964 tersebut. Kabupaten Dairi yang dipimpin oleh orang Batak Toba membuat kesadaran etnis orang Pakpak yang sedang  terkonsolidasi kembali buyar karena mereka tidak memiliki patron politik yang dapat memproteksi kepentingan dan aspirasi penduduk asli. Sebaliknya etnis Batak Toba kembali mendominasi terutama dibidang politik dan ekonomi.

Pada tahun 1965 – dua tahun setelah berdirinya Kabupaten Dairi – meletus peristiwa Gerakan 30 September. Di Dairi sendiri meskipun terdapat persaingan antar partai politik terkait gerakan 30 September, namun tidak pernah terjadi konflik fisik antar pendukung partai. Justru ketika komunisme berhasil dihancurkan dan Orde Baru naik kepuncak kekuasaan terjadilah ekses negatif bagi orang Pakpak. Sikap politik Orde Baru yang memberangus semua hal yang terkait dengan komunisme dan PKI menjalar kesemua aspek dan wilayah termasuk ke Kabupaten Dairi dan membuat orang Pakpak ketakutan. Elit lokal Dairi yang dikuasai oleh orang Batak Toba memanfaatkan isu komunis ini sebagai instrumen politik untuk menghabisi siapapun yang bermaksud mendisruspi kekuasaan lokal, terutama orang Pakpak yang ingin menuntut pembagian kekuasaan.[7] Akibatnya orang Pakpak takut menyuarakan kepentingan etnisnya sebagai penduduk asli karena khawatir dituduh komunis. Dengan demikian masa Orde Baru tidak memberikan perbedaan terhadap posisi orang Pakpak, mereka tetap terpinggirkan dari akses ke sumber daya lokal.

Pada 1970-an identitas etnis Pakpak jatuh terpuruk bahkan ada kecemasan ditengah orang Pakpak akan punahnya budaya dan tradisi Pakpak. Kecemasan ini adalah perasaan putus asa karena tidak adanya representasi kelompok etnik yang memegang jabatan strategis di pemerintahan. Menyadari kondisi ditengah-tengah orang Pakpak seperti itu, para pemuka masyarakat menyelenggarakan seminar tentang adat-istiadat Pakpak. Maksud dan tujuan seminar ini adalah menggali dan mengembangkan adat-istiadat serta merumuskan persamaan pendapat antara pemuka adat pemikir lokal tentang adat-istiadat Pakpak.

Seiring waktu jumlah orang Pakpak yang melanjutkan studi ke sekolah menengah di Sidikalang, Kabanjahe dan  Medan semakin banyak, meskipun masih sedikit yang meneruskan ke perguruan tinggi. Setelah menyelesaikan studi mereka kembali ke Sidikalang, mereka inilah yang menjadi kelompok terdidik masyarakat Pakpak, berkecimpung ditengah masyarakat sebagai wiraswastawan, pedagang dan pegawai pemerintahan.

Dalam pandangan kelompok terdidik Pakpak, pembangunan yang dijalankan selama ini terlihat sangat timpang. Di kecamatan-kecamatan yang penduduknya mayoritas Pakpak pembangunan berjalan lamban, sedangkan di wilayah yang penduduknya mayoritas Batak Toba pembangunan fisik berlangsung cepat dan dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Ketimpangan ini dilihat oleh kelompok terdidik Pakpak sebagai pengingkaran elite lokal untuk memajukan orang Pakpak. Ketimpangan pembangunan inilah yang melanggengkan kemiskinan, ketertinggalan, dan keterbelakangan etnis Pakpak. Mereka mulai menggugat secara kritis akar keterbelakangan dan ketimpangan pembangunan antara wilayah Simsim dan daerah lainnya. Mereka menganggap ketimpangan pembangunan ini sengaja diciptakan agar etnis Pakpak tetap tertinggal dan terus menerus dapat dikuasai orang Batak Toba.

Ketika hubungan kekuasaan lokal di Kabupaten Dairi sedang mesra-mesranya dengan kelompok etnis Pakpak, pada saat yang sama pemerintah pusat memperkenalkan otonomi daerah pada tahun 2001. Dimata orang Pakpak otonomi daerah ini dianggap sebagai peluang memperkuat dan memperjuangkan kepentingan kelompok etniknya. Orang-orang Pakpak memanfaatkan otonomi daerah dengan memaksimalkan diskusi-diskusi tentang demokrasi dan keterbelakangan kelompok etnisnya di tanah kelahirannya sendiri.

Salah satu wacana yang berkembang dalam diskusi-diskusi tersebut adalah tentang pemekaran Kabupaten Dairi. Soal penguasaan sumber daya alam juga menjadi hangat ditengah-tengah masyarakat. Jika sebelum tahun 1999, orang Pakpak merasa takut membicarakan pengelolaan sumber daya alam dan penduduk asli sebagai pemilik tanah ulayat, dimasa otonomi daerah pembicaraan tentang tanah adat semakin meluas. Klaim orang Pakpak sebagai pemilik tanah ulayat terus meninggi dan dinyatakan secara terbuka di wilayah-wilayah yang terdapat orang Pakpaknya. Pengakuan sebagai pemilik tanah ulayat ini menambah tenaga baru dalam penguatan kesadaran etnis Pakpak. Tanah ulayat yang telah berpindah tangan tersebut dipertanyakan dan digugat kembali di masa otonomi daerah. Pernyataan-pernyataan yang mengangkat persoalan tanah ulayat telah memompa semangat kesukuan orang Pakpak sekaligus mulai menunjukkan sikap ketidaksenangan terhadap kelompok-kelompok etnik yang menguasai tanah ulayatnya.

Isu pemekaran daerah sangat berpengaruh pada identitas, apalagi pemekaran yang terjadi atas dasar perpecahan identitas seperti di Dairi. Ada potensi perubahan hubungan mayoritas-minoritas di kedua daerah, dimana daerah baru mereka yang minoritas akan menemukan diri mereka menjadi mayoritas baru. Pada saat yang sama, mereka yang selama ini bagian dari mayoritas tiba-tiba menemukan diri mereka menjadi minoritas.

Masyarakat beretnis Batak Toba merasakan ancaman dari bangkitnya kesadaran etnis Pakpak ini, muncul kabar dimana-mana kalau orang Batak Toba akan diusir dari tanah Pakpak. Akibatnya orang Batak Toba mengkonsolidasikan diri untuk memberikan perlawanan jika benar mereka akan diusir. Ketegangan antara dua etnis ini dirasakan sangat kuat di Sidikalang pada tahun 2001, suasana saling curiga dan saling berjaga-jaga antar mereka sebagai antisipasi kalau terjadi penyerangan.

Walaupun terjadi ketegangan etnis, tetapi kedua kelompok etnis ini masing-masing dapat menahan diri sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Ketegangan hubungan etnis ini perlahan-lahan mengendur karena tidak ada yang mendahului penyerangan ke kelompok lain, akhirnya ketegangan reda dengan sendirinya. Namun redanya ketegangan antar dua kelompok etnis ini, bukan berarti konflik terselubung antara etnis Pakpak dan Batak Toba selesai dengan sendirinya. Ketegangan etnik terselubung antara kedua kelompok etnis ini terus berlangsung dan bersifat laten.

4.2. Eksistensi Etnis

Pada masa awal otonomi daerah ini orang Pakpak juga memanfaatkan situasi untuk melakukan konsolidasi kelompok etnisnya. Pemuka masyarakat, IKPPI dan kaum terdidik lokal yang selama ini merumuskan dan memperkuat identitas etnis Pakpak kini telah muncul sebagai elit Pakpak.[8] Kesadaran elit etnis Pakpak ini tentunya sudah tinggi, merekalah yang kemudian memanfaatkan sentimen kesukuan untuk tujuan politik dan ekonomi. Pemanfaatan dan pemanipulasian sentimen etnis tersebut dapat terlihat dari keinginan kuat elit etnis Pakpak mendapatkan kekuasaan diwilayahnya sendiri.

Manipulasi terhadap sentimen etnis tercermin dari pernyataan-pernyataan yang dikampanyekan elit Pakpak di masa otonomi daerah, salah satunya adalah pentingnya menjadi orang Pakpak, menjadi penduduk asli sekaligus pemilik tanah ulayat di tanah kelahirannya sendiri. Elit Pakpak menyadari bahwa tanpa memanipulasi sentimen kelompok etniknya, orang Pakpak tidak akan pernah bangkit menjadi amunisi politik untuk bernegosiasi dengan kekuasaan dan birokrasi yang mayoritas dikuasai orang Batak Toba.

Dalam bayangan mereka bila ada satu kabupaten baru mekar dari Dairi yang penduduknya mayoritas orang Pakpak, maka harkat martabat orang Pakpak akan terangkat dalam semua aspek, baik ekonomi, politik dan aspek sosial budaya. Jika itu terjadi maka semua pejabat mulai dari bupati, ketua dan anggota DPRD  serta pejabat-pejabat di bawahnya adalah orang Pakpak. Hal yang sama juga akan terjadi pada penguasaan sumber daya alam dan budaya Pakpak akan lebih dikenal di masyarakat umum.[9]

Dukungan moral dan sosial dari lima suak Pakpak ini dijadikan modal politik oleh elit etnik Pakpak. Elit etnis Pakpak semakin kuat mendesak percepatan pembentukan kabupaten baru dengan cara mobilisasi massa dan memanipulasi sentimen etnik untuk memompa soliditas dan solidaritas orang Pakpak. Manipulasi sentimen etnisitas tersebut dijalankan melalui isu penduduk asli, pemilik tanah ulayat, menjadi tuan rumah di tanah kelahiran sendiri dan marginalisasi politik dan ekonomi. Isu-isu tersebut menjadi justifikasi pembentukan kabupaten baru. Dengan semakin meningkatnya kesadaran etnis Pakpak, elit semakin gencar memobilisasi massa dengan menggelar demonstrasi-demonstrasi untuk mendapat dukungan kekuasaan lokal.

Kesimpulan

Etnis Pakpak telah menjadi masyarakat minoritas yang termarjinalisasi secara sistematis; marjinal dari sistem sosial kultural, politik dan geografis. Hal itu menimbulkan banyak peristiwa menyedihkan, kemarahan yang terpendam, dan keinginan untuk suatu saat kelak harus bangkit dari keterpurukan.

Pelemahan identitas etnis Pakpak dimulai dari marjinalisasi geografisnya. Wilayah tradisional Orang Pakpak telah tersegmentasi dan terpencar di beberapa wilayah keresidenan dan onder Afdeling sejak zaman penajajahan Belanda. Dari si Lima Suak Pakpak, suak Boang berada diwilayah keresidenan Aceh, dan suak Kelasen masuk ke wilayah onder Afdeling Batak Landen. Pembentukan Kabupaten Dairi tahun 1960 pun masih mengacu pada segmentasi wilayah yang diciptakan Belanda.

Khususnya soal nama Kabupaten dan wilayah cakupannya. Pada saat itu Orang Pakpak sudah mengusulkan nama Kabupaten Pakpak sebagai kabupaten baru yang lepas dari Kabupaten Tapanuli Utara, dan wilayahnya adalah wilayah cakupan  si Lima Suak Pakpak. Namun karena perwakilan di dewan yang sangat kecil, sehigga eksekutif maupun legislatif di kabupaten Tapanuli Utara dan Sumatera Utara tidak sepakat, sehingga diajukan nama Dairi dengan wilayah sama seperti onder Afdeling Dairi yang dibuat oleh Belanda.. Orang Pakpak hanya bisa menerima keputusan pahit itu dengan diam, setidaknya sudah berpisah dari kabupaten Tapanuli Utara.

 Namun usaha untuk membangkitkan kembali identitas Pakpak selalu kembali muncul ketika situasi politik mendukung. Kelompok terdidik yang lahir dari tengah masyarakat sendiri menjadi modal untuk melakukan perbaikan nasib orang Pakpak di tanah leluhurnya. Sampai ketika reformasi politik terjadi dan gelombang desentralisasi yang melanda seluruh Indonesia, etnis Pakpak pun siap mewujudkan Kabupaten-nya sendiri. Kabupaten yang merepresentasikan eksistensi etnis mereka, lepas dari bayang-bayang etnis lain. Besarnya keinginan orang Pakpak untuk pemekaran wilayah Kabupaten Dairi, lebih disebabkan oleh masalah ketidakadilan yang dirasakan sejak zaman Kolonial Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan. Akibatnya pada masa otonomi daerah ini, ketertinggalan dan keterkungkungan tersebut diaktualisasikan dengan besarnya keinginan untuk mendirikan suatu kabupaten yang identik dengan etnis Pakpak.

Perspektif konstruktivis dalam melihat etnisitas, penulis anggap lebih tepat untuk menjelaskan fenomena etnis Pakpak dalam usaha-usaha untuk membangkitkan identitasnya, sampai pada usaha pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat. Bagi penganut perspektif ini identitas etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat bergeser atau berubah jika situasi atau konteks sosialnya berubah. Identitas etnis menurut perspektif konstruktivis bersifat cair, oleh karena itu merupakan sesuatu yang selalu bisa dikonstruksi dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Elit etnis Pakpak dengan sangat baik melakukan penyadaran akan identitas orang Pakpak umumnya, dapat kita lihat isu-isu yang dikembangkan ditengah-tengah masyarakat menjelang pemekaran adalah pengelolaan sumber daya alam tanah Pakpak, mengenai tanah ulayat orang Pakpak dan mempertanyakan kembali bagaimana cara etnis pendatang mendapatkan tanah mereka dahulu. Dalam pertemuan-pertemuan mengenai rencana pemekaran jelas sekali motivasi eksklusifitas identitas tersebut, bagaimana kabupaten baru nanti, mulai dari bupati-nya, anggota legislatif dan semua birokrasinya adalah orang Pakpak. Sumber daya alamnya dikelola oleh orang Pakpak, dan untuk kemajuan orang Pakpak. Tentu pemikiran tersebut muncul dari pengalaman panjang marjinalisasi etnis Pakpak tersebut.

Hingga pada akhirnya terbentuklah Kabupaten Pakpak Bharat sebagai hasil kolaborasi dari momentum kebangkitan identitas etnis Pakpak, reformasi politik, dan hasrat politik elit etnis Pakpak. Meski sebenarnya dengan berdirinya kabupaten baru ini, etnis Pakpak semakin memperkecil luasan tanah leluhurnya (Tanoh Pakpak). Namun pilihan ini harus diambil agar Pakpak sebagai identitas etnis bisa eksis dalam bentuk kabupatennya sendiri seperti etnis Karo dan Simalungun yang memiliki Kabupaten dengan nama etnisnya masing-masing. Karena jika tidak, seperti yang dikatakan J.H. Manik, etnis Pakpak bisa saja punah karena tidak memiliki benteng budaya dan tradisi dari serbuan etnis pendatang yang telah mencaplok tanah mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Chandra, Kanchan , Making Causal Claims about the effect of ‘ethnicity’, dalam Marc Irving

Lichbach & Alan S. Zuckerman, Comparative Politics: Rationality, Culture, and Structure, Cambridge University Press, New York, 2009.

Edwin, Donni dkk. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good

Governance, Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Ibnu, Fadjar Thufail dan Martin Ramstedt, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan

kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru. Gramedia, Jakarta 2011.

Kimura, Ehito,  Provincial Proliferation: Vertical Coalitions And The Politics of

Territoriality In Post-Authoritarian Indonesia, (Disertasi, Political Science University of Wisconsin-Madison, 2006) .

Laode Ida, 2014, Election And Political Evil Ambition In Indonesia’s Reformasi Era,

International Journal of Politics and Good Governance Volume 5, No. 5.4 Quarter IV 2014, hal.4.

Manan, Bagir, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,FH UII Press, Yogyakarta.

Rasyid, Ryaas, 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press.

Sari, Fitriani, Handayani Razak, Pergulatan Etnis dalam Pemekaran Daerah (Studi Kasus;

wacana pemekaran Pinrang Utara), Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2015.

Schulte, Henk, Nordholt & Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, YOI &

            KITLV, Jakarta.

Zuska, Fikarwin, 2012, Jurnal Antropologi Indonesia, volume 33, Nomor 3.

Vel, Jacqueline , Kampanye Pemekaran di Sumba Barat, dalam Politik Lokal di Indonesia,

            Henk Schulte Nordholt & Gerry Van Klinken (ed), KITLV, Jakarta, 2014.


[1] Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, FH UII Press, Yogyakarta. Hal. 25

[2] Ryaas Rasyid. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press. Hal. 8-9

[3] Fadjar Ibnu Thufail dan Martin Ramstedt, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru, Gramedia, Jakarta 2011. hal. 2

[4] Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, YOI & KITLV, Jakarta 2014. hal. 25

[5] Seperti dikatakan pendekatan instrumentalis bahwa identitas etnis tidaklah tetap, berubah-ubah, dan adaptif bergantung dengan siapa berinteraksi. Untuk tujuan politik dan ekonomi orang dapat menukar identitasnya dan suatu saat dapat pula kembali ke identitasnya semula. (Milton J. Eastman, Ethnic Politics. (Ithaca: Cornel University Press) hal: 10-11.

[6]DR Budi Agustono, op.cit hal. 183

[7] DR. Budi Agustono, wawancara dengan Benyamin Banurea ibid hal. 190

[8] Lahirnya elit etnis seperti ini baru mulai terjadi setelah runtuhnya Orde Baru, khususnya di daerah yang mengalami konflik etnis dan atau elit lokalnya yang berkompetisi merebut kekuasaan. Salah satu contohnya adalah munculnya elit baru Dayak pasca  1998. Gerry van Klinken, “Indonesia’s New Ethnic Elites” dalam Henk Schulte Nordholt and Irwan Abdullah (eds) In Search of Transition. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Hal. 66-105

[9] Lihat Kanchan Chandra tentang politik identitas dan patronase politik, Making Causal Claims about the effect of ‘ethnicity’, dalam Marc Irving Lichbach & Alan S. Zuckerman, Comparative Politics: Rationality, Culture, and Structure, Cambridge University Press, New York, 2009 hal. 382

Iklan

PSI dan Perda Syariah. BENARKAH MENOLAK PERDA AGAMA BERARTI MENOLAK AGAMA?

Beberapa hari belakangan pidato Ketua Umum PSI saat memperingati ulang tahun keempat PSI  menuai kontroversi. Pasalnya sist Grace menyatakan dengan tegas bahwa jika PSI duduk di parlemen maka PSI tidak akan mendukung terbitnya perda-perda Injil ataupun Syariah. (pidato lengkap Grace Natalie)

Ditengah sentimen politik netizen yang sedang genit-genitnya, dimana soal selip lidah-salah ucap saja bisa digoreng berminggu-minggu, apalagi sebuah pernyataan sikap politik yang tegas dari seorang Ketua umum partai baru, unyu-unyu, belum berpengalaman, dan -mungkin paling fatal adalah- sejak lama sudah mendeklarasikan diri sebagai cebongers. sudah pasti diburu untuk dibully dan digoreng sampai kering oleh pihak oposisi.

Setelah tanggal 11 November 2018 itu, di media sosial kemudian ramai gunjingan miring tentang PSI yang disebut anti Agama, simpatisan PKI dsb. Bahkan fitnah keji diarahkan kepada Grace Natalie yang foto wajahnya diedit sedemikian rupa kemudian disatukan dengan tubuh dari foto model majalah dewasa dengan pose sensual. (Sangat kelihatan kualitas pikiran oposisi ga kredibel itu, yang menyerang kepribadian perempuan, sudah ahli hoax otaknya mesum pula)

Namun anehnya postingan terkait sampai dibagikan ribuan kali disalah satu platform medsos, yang mengindikasikan ribuan orang itu percaya bahwa foto itu memang betul Ketua Umum PSI dan berpose memalukan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat kita memang sedang sakit. Saya percaya mereka tahu bahwa yang mereka share/bagikan itu adalah  foto editan dan berita bohong. (karena terlalu gampang melacak jejak rekam seorang Grace Natalie asli jika mereka punya kuota internet, dan tentunya mereka punya karena bisa share postingan hoax itu) Tetapi mereka tetap membagikannya dengan harapan membanjiri media sosial dengan informasi sesat ini.

Beginilah propaganda politik diera revolusi 4.0 dilakukan, bukan dari satu kanal kantor propaganda tapi dari ribuan akun mediasosial milik masing-masing individu yang tak pernah bertemu dan tak merasa dikomandoi. Mereka hanya  merasa berita bohong itu cocok dengan sikap politiknya, dan ingin orang lain mendapatkan berita yang sama. Tujuannya dari dulu tetap sama, menggiring opini masyarakat luas, mereka berharap “kebohongan yang diucapkan terus-menerus lama-lama akan terlihat seperti kebenaran” -Joeseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi.

Kembali ke soal perda-perda-an yang sebenarnya pun kita sebagai masyarakat kadang tidak tahu semua perda yang berlaku ditempat tinggal masing-masing. Penolakan PSI mendukung Perda yang berdasarkan agama tertentu bukanlah berarti PSI anti Agama atau mau menjauhkan masyarakat  dari Agama – seperti yang dituduhkan beberapa pihak yang pandai memperkosa makna kata dan melecehkan kecerdasannya sendiri hanya agar kebohongannya diterima masyarakat awam – tetapi kami melihat Perda berbasis agama akan menimbulkan sikap diskriminasi baru ditengah masyarakat indonesia yang memang plural ini. intinya soal keadilan dan anti diskriminasi. *(pembahasan mengenai perda berbasis Agama ini mengecualikan daerah-daerah di Provinsi Aceh yang memang memiliki status otonomi khusus dan memiliki kesepakatan pasca perdamaian(MoU) antara GAM dan Pemerintah. Pengakuan keistimewaan dan kekhususan Aceh dapat dilihat pada UU No. 11 2006 Tentang Pemerintahan Aceh)

Mari kita bayangkan seandainya masing-masing kelompok Agama tertentu yang merasa dirinya mayoritas mendesak diberlakukan peraturan daerah berdasarkan agama mayoritas tersebut didaerahnya, mau jadi apa negara ini? yg terjadi kemudian adalah persaingan memunculkan perda-perda agama tertentu didaerah-daerah  dimana agama tersebut menjadi mayoritas. Sungguh keadaan yang sangat jauh dari cita-cita pendiri bangsa. Pendahulu kita itu, walaupun hidup dijaman komputer belum diciptakan tetapi dapat melihat lebih luas, berjalan lebih jauh, sehingga cakrawala tidak sesempit layar handphone. Para pendiri bangsa kita telah memahami keberagaman agama yang ada di nusantara, bukan hanya agama, aliran kepercayaan dari suku-suku asli pun banyak yang eksis bahkan sampai hari ini. (di Sumut ada Parmalim dan Pemena misalnya) Untuk itulah slogan Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai pemersatu suku-suku bangsa ini.

Sungguh kebebasan beragama sudah dijamin oleh UUD 45 pada pasal 29, saya sudah tahu itu sejak Sekolah Dasar. Sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa yang menjamin semua Agama dan kepercayaan dijamin dapat hidup bersama dibawah lindungan NKRI. Semua pemeluk Agama bebas menjalankan ajaran Agamanya di Indonesia dan bebas beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. Kitab-kitab suci setiap Agama yang diimani pengikutnya cukuplah jadi landasan dan pedoman hukum tertinggi bagi setiap pengikutnya. Jadi kenapa mesti isi kitab suci direndahkan derajatnya hanya menjadi perda? apakah perlu ditambahkan satu lagi keimanan kepada perda? Pada poin inilah saya pribadi melihat tidak ada subtansi  dan kebutuhan perda-perda berbasis agama dikeluarkan. Perda-perda seperti itu hanya akan membuat kita terpecah belah. Wilayah-wilayah daerah kita memang seharusnya tidak dibeda-bedakan berdasarkan Agama, karena Agama harusnya ada didalam hati masing-masing pemeluknya dan menjadi dasar kehidupan sehari-hari tanpa perlu dijadikan perda ini-itu.

Bayangkan saja misalnya kita di Sumut ini yang sudah hidup aman dan tenteram antar umat beragama selama ini. Tiba-tiba disuatu Kabupaten ada yang mayoritas Katolik ingin bikin Perda di kabupatennya berlandaskan nilai-nilai Katolik. Begitu juga daerah yang mayoritas penduduknya muslim, ingin perda syariah dijalankan disana dengan tujuan agar penduduknya semakin agamis dan Islami sehari-hari. apa yang akan terjadi? Akan terjadi kekacauan, muncul perasaan saling iri dan sinis antar umat beragama di daerah-daerah yg komposisi mayoritas-minoritasnya terpaut jauh. Tiba-tiba hubungan harmonis kekeluargaan berubah jadi saling benci dan curiga.

Perda berlandaskan agama tertentu adalah kegagalan memahami bahwa kita sebagai umat beragama tertentu tidak sendirian berada dinegara ini, disebuah provinsi, kabupaten, tidak ada yang benar-benar homogen agamanya. Usulan-usulan Perda berlandaskan agama hanya buah dari ambisi politik identitas yang digalang untuk meraup suara konstituen kelompok mayoritas. Murni politisasi agama yang mana legislatif dan eksekutifnya juga belum tentu menjalankan perda tersebut. Atau sebagian masyarakatnya malah menjadi tidak nyaman dengan peraturan daerahnya sendiri karena tidak memenuhi kebutuhan riil masyarakat. Karena terbukti Perda Agama hanya sibuk pada formalisasi dan simbolisasi Agama, padahal kebutuhan riil masyarakat adalah lapangan pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. Bukan marka-marka dijalan dan baliho yang bertuliskan hadis, atau salib dan gambar Yesus di jalan-jalan.

Demikian PSI hanya ingin mengembalikan semangat awal cita-cita pendirian bangsa ini. Sebuah Negara besar yang dapat menjadi rumah bagi semua agama, ras, suku dan golongan. Satu kesatuan dan tak terkotak-kotak. Kami adalah generasi optimis yang tidak percaya Indonesia bubar tahun 2030. Dan kami siap berdiri didepan sesuai fungsi kami sebagai partai, mendidik masyarakat agar paham hak dan kewajiban politiknya, mencegah  paham ekstrimis, dan melawan politisi-politisi korup yang menebar pesimisme ditengah-tengah masyarakat agar masyarakat berpaling pada mereka meminta tolong. Untuk itu kami mengumandangkan mari #SamaSamaBangunBangsa, berpolitik dengan akal sehat dan menebarkan optimisme ke generasi muda. Salam Solidaritas.  (Sikap PSI tentang Perda berbasis Agama)

Sebagai Warga Negara Republik, Meiliana Harus Dibela.

Demokrasi seharusnya menjadi sebuah ruang terbuka untuk menyampaikan gagasan, ide, dan pengetahuan. Termasuk menerima pendapat yang berbeda didalam masyarakat. Demokrasi diandaikan sebagai ruang, dimana harapan setiap individu dikontestasikan sebagai upaya konstruktif menuju kebaikan bersama. Maka sebenarnya, perbedaan pendapatlah yang melatarbelakangi demokrasi (disensus), bukan semata-mata kesepahaman (konsensus).

Kita memilih demokrasi karena para pendiri bangsa menyadari kemajemukan dan perbedaan yang hadir dalam tubuh bangsa Indonesia. Bukan hanya perkara perbedaan identitas, tetapi juga ide gagasan yang hadir disetiap individu. Untuk itulah kebebasan menyuarakan pendapat diatur di dalam konstitusi kita UUD 1945, pasal 28E ayat 3.

Satu kejadian memilukan datang dari Tanjung Balai, Sumatera Utara. Di mana seorang ibu rumah tangga bernama Meiliana terkena vonis 18 bulan penjara akibat menyampaikan pendapatnya terkait “suara Azan yang terlalu keras”. Meiliana didakwa atas dasar pasal Penodaan Agama pasal 156 subsidair 156a pada 21 agustus 2018 oleh Pengadilan Negeri Sumatera Utara dengan bunyi pasal: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang terjadi di Indonesia”.

Tentu vonis yang dijatuhi kepada Meiliana merupakan bagian dari ketidakadilan dan harus ditentang sebagai suatu pemihakan terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Terlebih lagi, apa yang disampaikan oleh yang bersangkutan adalah perkara “Suara azan yang terlalu keras” bukan Azannya itu sendiri. Tentu ini bisa diselesaikan dengan asas kekeluargaan, dan suami dari Meiliana telah meminta maaf terkait protes istrinya  tersebut. Tetapi sentimen identitas dan hoaks sudah tersebar di kalangan masyarakat sekitar, hingga pada 29 Juli 2016 terjadi intimidasi dan perusakan rumah Meiliana, lalu kemudian pembakaran belasan rumah ibadah umat Budha di Kota Tanjung Balai.

MUI yang pada saat itu enggan mengeluarkan fatwa, mendapatkan tekanan dari berbagai ormas yang ada didalamnya. Hingga pada Januari 2017 MUI mengeluarkan fatwa bahwa apa yang disampaikan oleh Meiliana sebagai bentuk penodaan agama. Maret 2017 Meiliana ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Utara. Meiliana yang merupakan seorang penganut Budha dan memiliki empat orang anak ini tidak sepantasnya dijatuhi vonis 18 bulan penjara karena ia hanya memperbandingkan antara suara Azan yang dulunya tidak sekeras suara azan waktu itu.

Perlakuan yang didapatkan oleh Meiliana merupakan bagian dari diskriminasi, persekusi dan sentimen identitas. Pasalnya, sebelum ia dibawa ke muka pengadilan, sebagai warga negara ia diperlakukan dengan cara-cara yang diluar jalur hukum, mengandaikan bahwa Meiliana adalah seorang Budha dan ber-etnis Tionghoa, yang menurut sebagian oknum warga tidak pantas untuk mengungkapkan hal tersebut. Padahal apa yang dilakukan oleh Meiliana dijamin oleh Konstitusi sebagai hak bagi seluruh warga negara, terlepas apa identitas yang melekat pada dirinya.

Selain itu, vonis yang dijatuhkan kepadanya tidak relevan. Dengan menggunakan pasal penodaan agama 156, vonis tampak dipaksakan akibat tekanan dari massa yang menginginkan Meiliana dipenjara sebagai bentuk sentimen yang berkembang akibat tersebarnya hoaks yang begitu cepat. Ini menandai bahwa proses hukum tidak berada pada koridor rule of law dan fair trail. Vonis dijatuhkan atas dasar demi menyenangkan mayoritas yang terlanjur benci dan terpapar kabar bohong. Di satu sisi Meiliana di vonis 18 bulan, sedangkan sejumlah oknum yang melakukan kerusuhan dan pengrusakan rumah ibadah Vihara hanya dijatuhi hukuman 1,5 sampai 2 bulan saja. Padahal terang, oknum-oknum inilah yang menimbulkan keresahan sebagai ekspresi berlebihan atas dasar kebencian terhadap identitas tertentu.

PSI tentu secara etik berpandangan bahwa apa yang dialami oleh Meiliana sebagai bentuk ketidakadilan hukum dan meminta agar yang bersangkutan diterima bandingnya untuk mendapatkan keadilan.meilianaMeiliana sama sekali tidak melakukan penodaan atas agama apalagi mengujarkan kebencian terhadap agama, dalam hal ini Islam. Ini adalah bentuk kemarahan sebagian oknum yang memandang Meiliana dari sisi identitas yang melekat pada dirinya: Thionghoa dan Budha. Sama sekali tidak ada nada sinis dan meresahkan, karena porsi Meiliana sebagai orang yang bertanya mengenai kodisi: “Suara azan yang keras”. Harusnya pertanyaan ini hanya perlu untuk dijawab, bukan malah menyeretnya ke muka hukum dengan sangka dan dakwaan penodaan agama.

PSI selalu menganjurkan toleransi harus dikedepankan demi menjaga keharmonisan ditengah pluralitas suku maupun agama, juga perbedaan pendapat. Sehingga kecenderungan kearah disintegrasi akibat aksi intoleransi harus dilawan sebagai pemihakan terhadap hak asasi manusia. Demokrasi harus menjadi instrumen penjamin setiap warga negara untuk mengekspresikan pendapatnya. Meiliana harus dihitung sebagai warga negara tanpa diskriminasi dan marjinalisasi akibat ke minoritasannya. Maka hukum harus sanggup mengatakan yang benar sebagai benar dan salah sebagai salah tanpa harus takut oleh tekanan mayoritas. Hukum mesti dapat menyuarakan kebenaran diatas apapun tanpa intervensi demi rasa keadilan dan hati nurani.

ditulis oleh: Irfan Prayogi, Agustus 2018.

diedit seperlunya oleh admin.

PILGUBSU, Mencari Sosok dengan Kualitas Baru

Beberapa waktu yang lalu saya terlibat obrolan dengan dua orang berbeda namun dengan topik serupa; suksesi Gubernur Sumatera Utara 2018.  Kebetulan dua teman saya itu adalah praktisi politik dari Jakarta, walaupun kami ngobrolnya diwaktu dan kesempatan berbeda mereka berdua sama-sama bertanya dan mengeluhkan gersangnya lahan politik Sumut dari tokoh-tokoh pemimpin baru yang berintegeritas dan kapabel. Tentunya pertanyaan dan keluhan ini membuat kegelisahan tersendiri bagi saya sebagai warga Sumatera Utara.

Saat ini, lebih kurang setahun lebih menjelang Pilgubsu 2018, nama-nama yang muncul kepermukaan belum lagi mampu mengugah pesimisme masyarakat terhadap perubahan politik yang berarti bagi sumut. Ya, pesimisme sudah tumbuh di benak masyarakat Sumut sejak trend kepala daerah terpilih pasti tidak ada yang selesai menjalankan amanah satu periode kepemimpinannya. Biasanya dalam dua atau paling lama tiga tahun setelah dilantik kepala daerah tersebut akan tersangkut masalah korupsi dan kemudian digantikan oleh wakilnya.

Kita lihat saja mulai dari gubernur terpilih pada Pilkada 2008 silam, Syamsul Arifin. Pada tahun ketiganya Syamsul ditangkap KPK, diproses lalu ditahan sehingga tugasnya sebagai Gubernur dilaksanakan oleh wakilnya Gatot Pujonugroho (GPN).  GPN menghabiskan sisa masa pemerintahan dan kemudian mencalonkan diri lagi sebagai Gubernur Sumut berpasangan dengan Tengku Erry Nuradi pada tahun 2013.

Seperti mengulangi sejarah, GPN kemudian masuk tahanan karena kasus penyalahgunaan anggaran bantuan sosial, wakilnya T. Erry mengambil alih kepemimpinan Sumut. Hingga saat ini sampai periode pemerintahan berakhir 2018 nanti T. Erry masih mantab memimpin sumut, dan sudah digadang-gadang untuk maju bertarung lagi sebagai Sumut 1 pada Pilgubsu nanti. Namun kabut pesimisme terhadap kepemimpinan T. Erry kedepan tetap menggelayut, karena rekam-jejak kepemimpinannya tidaklah mulus dan potensi mengulangi sejarah dua gubernur sebelumnya terulang kembali begitu besar.

Trend kepala daerah yang tesangkut korupsi dan terjegal dari kursinya bukan hanya monopoli Pemerintahan Provinsi, Walikota Medan dua periode sebelum sekarang juga mengalami hal serupa. Pasangan Abdillah-Ramli yang terpilih terakhir dengan mekanisme dipilih oleh anggota DPRD pada tahun 2005 bahkan tersangkut masalah korupsi secara bersamaan, sehingga kota medan harus dipimpin oleh Sekretaris Daerah dan Pelaksana Tugas sampai pilkada berikutnya. Pilkada tahun 2010 yang diharapkan memecahkan kebuntuan politik di Medan setelah vakum ditinggal Walikotanya, antusiasme masyarakat juga tampak meningkat dengan munculnya 10 pasangan calon dengan latar belakang beragam.

Namun Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin pemenang Pilkada Kota Medan yang sampai dua putaran itu mengalami antiklimaks. Rahudman yang terpilih dalam pilkada langsung pertama dikota Medan itu tidak dapat menghabiskan satu periode jabatannya karena  terjerat kasus korupsi yang dilakukannya pada jabatan sebelumnya. Kembali kota Medan ditinggalkan pemimpinnya karena kasus korupsi dan Dzulmi Eldin wakil Walikota menjabat sebagai pelaksana tugas yang kemudian maju lagi dalam pilkada selanjutnya tahun 2015 menjadi Walikota Medan.

Dengan rekam-jejak hasil Pilkada seperti itu – baik di Sumut, Medan dan kab/kota disekitarnya –  akhirnya menghasilkan apatisme politik ditengah-tengah masyarakat. Setiap kepala daerah yang maju dan menang dalam kontestasi telah diukur berapa lama akan bertahan sebelum diciduk oleh kejaksaan atau KPK yang kemudian akan digantikan oleh wakilnya dan apabila beruntung akan maju lagi sebagai nomor satu diperiode selanjutnya untuk kemudian tertangkap lagi dan digantikan lagi oleh wakilnya, begitu seterusnya.

Indikasi paling nyata dari apatisme itu adalah Pilkada kota Medan akhir tahun 2015 lalu, Plt Walikota Dzulmi Eldin maju lagi sebagai calon Walikota melawan Ramadhan Pohan (tokoh yang didatangkan dari Jakarta). Eldin maju dengan dukungan mayoritas Partai dan menang. Namun pemilih yang menggunakan hak suaranya ke TPS hanya berkisar 30%  saja. Artinya apa? Bahwa ada 70% pemilik suara bersarkan DPT tidak peduli lagi siapa yang akan menjadi walikota Medan, dengan kata lain Pilkada tersebut tidak menarik bagi mayoritas warga Medan karena kualitas tokoh yang ditawarkan untuk menjadi pemimpin sudah kadaluwarsa.

Pemimpin dengan kualitas-kualitas baru

Kembali lagi kepada upaya pencarian sosok pemimpin untuk Sumut, kita masih kesulitan mencari kualitas-kualitas pemimpin generasi baru. Kalau saja kita jeli, bahwa sudah tampak di beberapa wilayah lain di Indonesia, bahkan pada Presiden kita sendiri. Pemimpin generasi baru itu adalah orang-orang biasa, bukan dari keluarga elit politik, bukan dari konglomerat, dan bukan juga petinggi Partai Politik. Mereka adalah orang-orang yang berdedikasi pada bidangnya dan membuktikan dirinya mampu memimpin dengan baik di daerahnya masing-masing.

Era orang-orang besar sudah berakhir, kini saatnya orang-orang biasa yang tampil memimpin. Bukan karena pencitraan atau rekayasa media namun karena zaman sudah berubah dan rakyat memang menginginkan kualitas seperti itu. Pemimpin bukanlah lagi orang yang berjarak dengan yang dipimpinnya, karakter pemimpin yang diidamkan adalah seorang pelayan bagi rakyatnya bukan lagi yang dilayani oleh bawahannya. Pemimpin adalah orang yang ikut bekerja bukan lagi orang yang berkarakter seperti komandan atau raja yang memberi perintah dari singgasana. Mampu memberikan terobosan kebijakan baru, bukan hanya melanjutkan agenda usang sampai jabatannya berakhir.

Jika ada sosok yang karakternya mendekati kualitas-kualitas diatas, maka layaklah dia menjadi pemimpin generasi baru kedepan. Namun dari obrolan dengan kedua teman tadi, kami memeriksa sekilas kualitas pemimpin dari 33 kab/kota di Sumatera Utara, kira-kira siapa yang berpotensi menjadi pemimpin Sumut kedepan dengan kualitas baru tadi? Jawabnya tidak ada. Bahkan dari 33 Kab/kota tersebut tidak ada prestasi yang menonjol dan gebrakan baru dalam pembangunan di daerah masing-masing yang mereka pimpin.

Tradisi politik dan lingkungan keorganisasian yang melestarikan budaya-budaya lama seperti premanisme dan pemalakan terorganisir membuat miskinnya regenerasi  sosok pemuda yang memiliki kualitas karakter pemimpin baru. Orang-orang muda yang tersedia kebanyakan hanya muda secara umur dan fisik, namun mereka hanya kelanjutan dari tradisi kepemimpinan model lama yang dilestarikan sejak Orde Baru berkuasa. Jangan harapkan kreativitas muncul dari jenis pemuda seperti ini, mereka hanya tahu menakut-nakuti, meminta sumbangan dan ‘menjual jasa’ pengamanan, cara-cara primitif untuk mendapatkan uang yang katanya untuk pengembangan organisasi.

Kebuntuan ini harus dipecahkan oleh kita warga Sumut sendiri, pemimpin sumut kedepan harus sosok yang lahir dan tumbuh berkembang di Sumatera Utara. Bukan karena alasan pemuda daerah yang harus memimpin daerahnya, tapi lebih karena mereka yang merasakan sendiri kegelisahan rakyatnya, mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyat Sumut maka kebijakan yang dibuatnya kelak akan lebih berdampak langsung. Alasan ini sekaligus juga untuk menampik kecenderungan beberapa partai yang selalu membawa tokoh dari Jakarta untuk ikut meramaikan bursa Pilgubsu hanya karena tokoh tersebut memiliki identitas kesukuan dari Sumut atau pernah bertugas di Sumut, namun belum tentu pernah mengunjungi 33 kabupaten/kota di Sumut yang masing-masing merepresentasikan kearifan budaya dan tradisi lokal yang berbeda-beda pula.

Tulisan ini dibuat untuk menggugah siapa saja yang perduli pada peningkatan pembangunan Sumatera Utara, provinsi ini mulai tertinggal dari provinsi lain karena masalah politik dan kepemimpinannya yang tidak kunjung beres. Di saat provinsi lain sibuk membangun infrastruktur dan dasar perekonomian daerahnya, kita masih disibukkan dengan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dipanggil ke kantor KPK. Secara bersama-sama masyarakat dan partai politik yang ada harus komitmen mendukung dan mengusung sosok yang bersih dan berintegritas serta memiliki visi membawa kemajuan bagi Sumut. Namun sebelum itu kita masih memiliki tugas menggali dan menemukan potensi-potensi bibit lokal yang bisa menjadi pemimpin masa depan dari Sumatera Utara.

Bagaimana kontestan PILGUBSU 2013 belajar dari Jokowi-Ahok?

Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok beberapa waktu lalu pada Pilgub DKI tidak hanya menjadi konsumsi warga Jakarta, euforianya meng-Indonesia, bahkan media asing The New York Times mengangkat topik mengenai Pilgub DKI dan Jokowi dalam beberapa tulisan.

Banyak tulisan di beberapa media mengatakan hasil PilGub DKI merupakan kemenangan Demokrasi yang sebenarnya, atau demokrasi terasa kian matang, bahkan peneliti senior Sukardi Rinakit menyatakan Pilgub DKI merupakan bukti bahwa pemilu telah bergeser dari semula sangat prosedural menjadi kearah substansial. Kenapa banyak kalangan menilai kemenangan Jokowi adalah kemajuan dalam berdemokrasi?

Mungkin karena Jokowi-Ahok dianggap sebagai ‘Politisi Jenis Baru’ untuk kaliber kontestasi di DKI, dimana biasanya politisi sering berasal dari lingkaran elit. Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama telah membalikkan peta kekuasaan yang selama ini didominasi kalangan elit dengan kekuatan sumber dananya. Lalu dari sisi perekrutan politik, Jokowi-Ahok adalah Bupati atau Walikota berprestasi, mereka memperoleh berbagai penghargaan sebagai kepala daerah. Perekrutan seperti ini jauh lebih baik, sebab selama ini banyak calon kepala daerah datang dengan track record buram dan maju dengan ‘menyewa’ partai politik.

Satu lagi yang menggembirakan iklim demokrasi, bahwa pemilih pada Pilgub DKI lebih bersikap sangat rasional. Mereka menentukan pilihan berdasarkan program yang dijanjikan kandidat, hanya 12,6 % (Tempo) pemilih yang memilih dengan alasan kesamaan agama yang mereka anut. Kegagalan kampanye dengan isu SARA patut kita apresiasi, Jokowi-Ahok mampu meredam serangan isu suku, agama, ras, dan antargolongan yang membahayakan demokrasi.

Fakta yang paling fenomenal ialah bahwa calon incumbent Foke dan calon wakilnya Nachrowi Ramli (Nara) pada putaran kedua didukung oleh 10 Partai besar dan kecil (Demokrat, Golkar, PKS, Hanura, PAN, PKB, PBB, PMB, PKNU, dan PKS) yang memiliki mayoritas kursi di DPRD DKI Jakarta sedangkan lawannya Jokowi-Ahok hanya didukung 2 partai (PDI-P dan Gerindra) yang hanya memiliki 17 kursi. Terkait hal ini saya kutip penyataan Douglas Ramage (peneliti Bower Group Asia) tentang hasil Pilgub DKI “Para pemilih mencari pemerintahan yang bersih dan terpercaya. Sesuatu yang identik dengan partai sudah runtuh di Indonesia.”

Lalu apa yang membuat Jokowi unggul?

Hasil Pilgub DKI Jakarta merupakan bentuk kontras antara kandidat yang bergantung penuh pada dukungan mesin politik dan kandidat yang diyakini rakyat memiliki perhatian khusus pada kebutuhan rakyat. Foke secara konvensional mempercayai bahwa kesamaan partai politik akan berpengaruh besar pada pilihan politik warga, maka ia meyakini ilusi yang diciptakan koalisi besar partai pendukungnya akan meraup suara yang signifikan pula. Ternyata masyarakat (Jakarta) telah berubah. Dalam survey yang dilakukan Litbang harian Kompas (Sabtu, 22 Sept. 2012) , sebanyak 55% pemilih tidak melihat kesamaan parpol sebagai alasan memilih calon tertentu, dan 40,1 % pemilih tidak peduli dengan koalisi parpol mendukung salah seorang calon atau tidak. Pemilih lebih perhatian pada sosok calon yang dianggap bersih/tidak korupsi (36,3%), ideologi dan visi-misi yang jelas (20,8%) dan program yang ditawarkan (15%).

Walaupun tidak bisa dikatakan sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi, namun Figur atau ketokohan-lah yang memenangkan pasangan Jokowi-Ahok. Kapasitas individu dan buruknya citra lawan adalah dua hal yang banyak mempengaruhi hasil Pilgub DKI. Jokowi-Ahok dinilai memiliki integritas moral yang baik serta memiliki keberanian dan ketegasan dalam melaksanakan gagasannya. Mereka juga dikenal sangat aspiratif ketika memimpin didaerah asalnya dibandingkan dengan kepemimpinan Foke. Tidak cukup dengan kekuatan karakter Jokowi-Ahok, Foke-Nara malah semakin terpuruk dengan kampanye blunder berbau SARA. Kesalahan pasangan Foke-Nara dalam membaca karakter publik Jakarta menentukan jatuhnya citra kepemimpinan Foke.

Citra pasangan Foke-Nara diperparah sikap elit-elit partai politik yang ramai-ramai mendukung pasangan ini sehingga justru menimbulkan kritik dan kecaman dari publik. Pilihan publik akhirnya mengarah pada calon yang terlihat low profile dalam menghadapi berbagai tuduhan kampanye negatif lawannya.

Pelajaran dari Pilkada DKI untuk Sumut

Jelas sekali karakter masyarakat Sumut dengan Jakarta masih jauh berbeda, baik dari komposisi kesukuan, tingkat pendidikan, kesejahteraan dan kemampuan mengakses informasi dgn cepat. Namun tetap ada pelajaran yang bisa kita ambil dari fenomena kemajuan demokrasi di Ibukota tersebut.

Pertama sekali ialah memudarnya pengaruh isu sara ditengah-tengah masyarakat yang semakin rasional. Ini perlu diperhatikan para calon gubernur yang ingin maju di Sumut agar tidak mengulangi kesalahan Tim Foke yang malah berakibat buruk pada citra kepemimpinannya.

Berikutnya ialah kecenderungan masyarakat yang tidak lagi melihat pilihan partai politik sebagai preferensi memilih pilihan kepala daerah. Masyarakat kita sudah mulai ‘mencair’, sekat-sekat etnik dan agama dalam pemilu mulai pudar apalagi sekedar ideologi partai yang sudah tidak relevan dengan konteks kekinian yang dihadapi masyarakat. Fenomena ini perlu diperhatikan calon kontestan Pilgubsu, agar tidak sepenuhnya memasrahkan nasib ke mesin politik partai-partai pendukung tanpa membangun hubungan yang dekat dengan masyarakat pemilih.

Figur menjadi faktor penting dalam kemenangan Jokowi-Ahok, namun arti Figur disini bukan hanya soal pencitraan kosong dengan iklan-iklan wajah si calon di berbagai media. Integritas moral dari rekam jejak perjalanan karir si calon kepala daerah menjadi modal yang sangat berharga. Jokowi ‘terlanjur’ di cap sebagai pemimpin yang santun, bersih, sederhana dan mengayomi warganya. Sehingga karakternya itu dengan mudah di ’pasarkan’ ke tengah-tengah masyarakat Jakarta yang memang sedang muak dan kehilangan harapan pada gubernurnya dan menginginkan kepemimpinan gaya baru.

Jadilah Figur calon pemimpin yang dekat dengan masyarakat dan mengusung program-program yang memperjuangkan rakyat kecil, 32% pemilih jokowi memilihnya karena ini. Metode kampanye juga tidak harus mengumbar janji-janji yang manis, pemilih yang semakin rasional lebih yakin kepada program-program yang terukur dan realistis dijalankan oleh si calon ketika ia menang nanti.

Tidak hanya kepada calon Gubernur Sumut, juga kepada partai-partai politik yang ada sudah selayaknya membenahi internal masing dan menjalankan fungsi partai secara ideal, bukan hanya sebagai perahu bagi bakal calon. Arogansi elit partai akan semakin membuat muak masyarakat umum, Jakarta merupakan pelajaran mahal bagi partai-partai yang berkoalisi mendukung Foke-Ahok, mereka mengabaikan keinginan konstituennya. Ingat yang memilih adalah masyarakat, seharusnya partai mengartikulasikan apa yang menjadi keinginan masyarakat bukannya ‘menyodorkan’ calon hasil kongkalikong untuk kemudian dipilih oleh masyarakat.

Tentu kita tidak dapat dengan mudah mengaplikasikan apa yang berhasil di DKI Jakarta dengan kondisi dan situasi yang berbeda di Sumatera Utara. Namun kreativitas dan kejelian memanfaatkan kelemahan kawan secara cerdas dan beretika menunjukkan hasil yang lebih positif dari usaha-usaha negatif seperti kampanye hitam pembusukan karakter, teror dan intimidasi serta isu SARA. Dan satu lagi kemenangan Jokowi-Ahok, mereka menguasai apa yang disebut Social media (jejaring sosial) dunia maya, ini adalah kebutuhan baru bagi tim sukses di era kekinian. Selamat datang era demokrasi baru di Indonesia.

Medan, 17 Mei 2013