Golput menang lagi. Catatan dari Pilkada Medan 2020

                Partisipasi pemilih dalam pilkada adalah salah satu cerminan perilaku politik masyarakat di suatu daerah. Sebagai sebuah perilaku, partisipasi pemilih dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman dan kesadaran si pemilih tentang Pilkada tersebut.

                Di Medan, sejak pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung, partisipasi pemilih yang melebihi 50% hanya terjadi satu kali, yaitu di pilkada langsung pertama pada tahun 2005 yang menghasilkan walikota dan wakil walikota terpilih Abdillah-Ramli. Partisipasi pemilih pada pilkada waktu itu mencapai 54,70% dari jumlah pemilih terdaftar sebanyak 1.450.596 pemilih.

                Setelah itu berturut-turut pada pilkada Kota Medan berikutnya jumlah partisipasi pemilih turun dibawah 50%, bahkan mencapai titik terendah pada pilkada Medan tahun 2015 yang hanya diikuti oleh 25,38% pemilih. Pilkada Medan 2010 hanya diikuti oleh 38,28% pemilih, Pilkada Medan 2015 (25,38%), dan Pilkada Medan 2020 yang juga hanya diikuti oleh 45,97% pemilih terdaftar.

                Dengan demikian, kemenangan golput di pilkada Medan sebenarnya hal yang biasa saja, karena sudah terjadi pada dua pilkada Medan sebelumnya. Namun ada yang menarik dikaji secara politik adalah, Pilkada Medan 2020 ini diikuti oleh menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution. Dengan segala privilege-nya sebagai wakil istana, dan digadang-gadang menjadi tokoh politik muda, ternyata menantu Jokowi ini hanya mampu meraih suara sebanyak 393.533 suara, jumlah itu hanya 24,58% dari DPT yang 1.601.001 pemilih.

            Tingkat partisipasi pada Pilkada Medan 2020 ini memang meningkat dari dua pilkada sebelumnya, namun tetap dibawah 50%. Dengan meningkatnya jumlah partisipasi dari dua pilkada sebelumnya, kita coba abaikan faktor Covid-19 pada tahun ini. Maksud saya adalah dengan tidak adanya Covid19-pun partisipasi bisa sampai titik terendah 25%, namun pada pilkada 2020 ini malah meningkat ke 45% lebih, maka faktor Covid-19 dapat dikesampingkan sebagai penyebab golput yang tinggi pada tahun ini.

            Lalu faktor apa yang membuat pilkada Medan 2020 tetap dimenangkan oleh golput? Saya lebih percaya golput tersebut dipengaruhi faktor ketokohan kandidat dan faktor partai politik. Kedua faktor ini juga menjadi alasan yang sama kenapa pilkada Medan 2015 minim sekali partisipasi pemilih.

            Mesti dipahami bahwa masyarakat kota Medan telah mengalami kejenuhan dengan tertangkapnya berkali-kali walikota Medan yang sedang menjabat. Mulai dari walikota hasil pemilihan langsung pertama Abdillah dan wakilnya Ramli, kemudian diikuti Rahudman Harahap hasil pilkada tahun 2010, sampai pada walikota hasil pilkada terakhir (2015) Dzulmi Eldin. Pengalaman warga Medan ini tentu menghasilkan suatu ketidakpercayaan pada institusi pemerintah kota Medan, kepada Pilkada-nya dan juga pada partai politiknya.

            Namun dengan keadaan psikologi pemilih seperti itu, partai-partai politik bukannya berusaha meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada demokrasi dengan mendengarkan aspirasi masyarakat tentang kandidasi calon walikota dan wakil walikota Medan tahun 2020. Dengan segala kepentingannya partai-partai lebih mendengarkan perintah pengurus pusat partai daripada mengeksplor tokoh-tokoh dari aspirasi masyarakat.

            Pengabaian aspirasi arus bawah itu kemudian menghasilkan dua koalisi partai pengusung yang besarnya tidak seimbang. Koalisi pertama berjumlah 8 partai yang memiliki 39 kursi (Gerindra  10 kursi,  PDI-P  10 kursi,  Golkar 4 kursi, NasDem 4 kursi,  PPP 1 kursi, PSI 2 kursi,  PAN 6 kursi, Hanura 2 kursi), berhadapan dengan koalisi kecil yang hanya punya 11 kursi ( PKS 7 kursi,  Demokrat 4 kursi). Koalisi besar yang yang notabene adalah partai-partai yg masuk kedalam cabinet Jokowi adalah pengusung menantu Jokowi, Bobby Nasution yang dipasangkan dengan kader gerindra yg kurang popular Aulia Rahman. (mengenai Aulia Rahman ini juga menjadi pertanyaan, padahal ada kader gerindra lain yang lebih familiar namanya). Sedangkan  koalisi PKS-Demokrat (kedua partai ini diluar pemerintahan jokowi) mengusung petahana yang merupakan pelaksana tugas walikota yang ditahan karena kasus korupsi, Akhyar Nasution berpasangan dengan Salman Alfarisi yang seorang kader dan anggota DPRD Sumut dari PKS.

                Dua pasang calon kandidat ini dirasa bukanlah kandidat ideal untuk kontestasi pilkada kota Medan. Sangat kental terlihat bahwa partai-partai pendukung pemerintah diarahkan untuk mengusung menantu Jokowi. Dalam catatan saya beberapa partai membuka kembali pendaftaran yang sudah ditutup agar Bobby bisa mendaftarkan diri, bahkan ada partai yang turut mengusung tanpa perlu Bobby datang mendaftarkan dirinya ke partai tersebut.

                Di sisi lain, Akhyar adalah penerus kebijakan dari pasangan Walikotanya Dzulmi Eldin yang ditahan karena korupsi. Baik  pada masa Eldin maupun Akhyar selama menjabat pelaksana tugas, tidak ada perbaikan dan perubahan berarti di kota Medan. Dan jangan lupa mereka berdua adalah hasil dari pilkada Medan 2015 yang hanya diikuti 25% pemilih kota Medan, yang artinya, sejak awal Eldin dan Ahyar memang tidak bisa memenangkan hati warga Medan.

                Sampai disini kita sudah bisa melihat kenapa golput menjadi pilihan mayoritas warga Medan, yaitu karena kandidat yang dihadirkan bukanlah harapan rakyat, tapi harapan keluarga dan harapan elite.  Indikasinya terlihat jelas pada TPS dimana Bobby memilih, yang menang adalah golput. Tetapi masih lebih memalukan lagi Aulia Rahman wakilnya Bobby, di TPS-nya yang menang malah pasangan Akhyar-Salman.

                Begitupun Akhyar-Salman juga tidak menjadi pasangan yang ideal, karena Akhyar seperti dikatakan diatas tadi, tidak memberikan dampak yang dirasakan warga Medan selama ia dan walikotanya memimpin.  Maka kombinasi dua kontestan pilkada Medan ini tidak menggugah keinginan mayoritas warga Medan untuk datang ke TPS. Warga merasa tidak ada bedanya memilih atau tidak memilih.

                Dengan situasi dan kondisi yang terjadi diatas, maka catatan buruk berlanjutnya angka golput yang tinggi di pilkada Medan adalah kesalahan dari partai-partai politik yang gagal melakukan rekrutmen politik dan agregasi kepentingan masyarakat. Jika partai-partai merekomendasikan kader-kader terbaiknya, maka pilkada Medan tidak akan monoton seperti pertarungan Bobby Nasution vs Akhyar Nasution kemarin. Jika partai-partai politik di kota Medan terus bermain aman seperti ini maka kualitas demokrasi kita memang sengaja dirusak oleh salah satu yang dianggap pilar demokrasi sendiri, yaitu partai politik.

                KPUD kota Medan tidak dapat disalahkan dengan minimnya pemilih, mempersoalkan sosialisasi  yang kurang maksimal hanyalah kambing hitam saja untuk memberikan poin minus pada KPU Kota Medan. Dengan wilayah kota Medan yang gampang terjangkau dengan akses tranportasi apapun dan jaringan komunikasi yang baik dan merata, informasi dan pelayanan terkait pemilu saya yakin telah diterima secara luas oleh warga Medan. Yang menjadi masalah bukan soal informasi dan sosialisasi pilkadanya, tetapi kandidat yang bertarung tidak mengena di hati pemilih, sehingga berat hati untuk pergi datang mencoblos.

                Dengan kekuatan 39 kursi DPRD kota Medan dari 8 partai pengusung, menantu Jokowi Bobby Nasution hanya mendapatkan 393.533 suara, berbeda hanya 7% suara dengan Akhyar Nasution yang diusung dua partai dengan kekuatan 11 kursi dengan hasil 342.480 suara. Dengan jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 1.601.001, maka ada 864.988 orang yang tidak menggunakan hak pilihnya, dua kali pemilih Bobby Nasution . Artinya Bobby maupun Akhyar Nasution bukanlah sosok yang diinginkan menjadi walikota oleh warga Medan. Seandainya ada partai yang jeli mencalonkan sosok ideal  dan bukannya membebek pada kekuasaan pusat, mungkin warga Medan tidak akan malas-malasan datang ke TPS waktu itu. 

Iklan

EKSISTENSI ETNIS DAN PEMEKARAN DAERAH

POLITIK IDENTITAS DI PAKPAK BHARAT

Salah satu dampak yang tidak terduga dari demokratisasi politik ditingkat lokal adalah semakin kuatnya persaingan identitas dalam kegiatan politik terutama dalam pilkada dan pemekaran daerah. Mobilisasi jaringan kekerabatan, etnis dan keagamaan kemudian diciptakan untuk memenangkan persaingan politik tersebut. Setiap pemilihan baik itu gubernur, bupati maupun kepala desa mempertimbangkan keterwakilan etnis dan agama tertentu, sehingga power sharing antara kumpulan etnis dominan selalu mewarnai dalam setiap proses pemilihan kepemimpinan politik.[1]

Sebagai koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan uniformisasi pemerintah pusat dengan keluarnya kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah yang dalam visi otonomi daerah yakni dibidang politik, ekonomi, sosial budaya. Untuk bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi, maka harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada azas pertanggungjawaban publik.[2]

Ketidakpuasan daerah terhadap pusat menjadi wacana terbuka, kemarahan masyarakat kepada apa yang terlihat sebagai dominasi pusat dan perlakuan tidak adil juga semakin meluas dalam gelombang krisis ekonomi tersebut. Desentralisasi politik idealnya untuk menciptakan pengelolaan fiskal, kelembagaan negara, instrumen hukum, dan pengawasan wilayah yang lebih memperhatikan keseimbangan politik antara pusat dan daerah. Namun konsep ini tidak serta-merta menjadi solusi bagi permasalahan yang berakar pada keanekaragaman sosial, budaya, dan agama. Terjadinya konflik etnis pada beberapa daerah seperti di Kalimantan, Maluku, Sulawesi memperlihatkan desentralisasi belumlah seideal cita-citanya. Meskipun desentralisasi adalah pilihan kebijakan bagi Indonesia pasca otoritarianisme Orde Baru, tetapi pilihan itu bukanlah tanpa persoalan, terutama jika kita lebih jauh menyoroti dinamika sosial dan budaya, tidak sekedar terbatas pada aspek perubahan kelembagaan negara.[3]

Salah satu kebijakan yang tidak dapat dilepaskan dari desentralisasi dan berkaitan dengan lahirnya sentimen identitas adalah kebijakan pemekaran. Pemekaran adalah istilah Indonesia untuk menyebut sub-divisi distrik-distrik dan provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru.[4] Pemekaran adalah aspek yang paling mencolok dan tidak terencana terkait proses desentralisasi di Indonesia, karena para pembuat kebijakan desentralisasi di Indonesia tidak bermaksud memicu terjadinya pemekaran yang tergesa-gesa. Dari sekian banyak literatur tentang desentralisasi diseluruh dunia mengenai transfer kekuasaan dari tingkat administratif ke yang lainnya, tidak ada yang menyebutkan perlunya membuat kembali batas-batas baru wilayah administratif itu sendiri.

Kebebasan politik dan kesempatan yang terbuka oleh desentralisasi ini tidak disia-siakan oleh beberapa daerah yang selama ini ingin membentuk daerah pemekaran baru dan terlepas dari induknya. Pakpak Bharat adalah satu-satunya yang mekar dari kabupaten induknya Dairi pada tahun 2003. Berbeda dengan pemekaran pada tingkat provinsi yang merupakan gabungan dari beberapa kabupaten/kota, pemekaran pada tingkat kabupaten sangat dekat kecenderungannya pada upaya memelihara eksistensi etnis dan teritorial.

Pemekaran Kabupaten Pakpak Bharat berdasarkan Undang-Undang RI No.9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pakpak Bharat dengan wilayah yang ditetapkan terdiri atas 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Sitelu Tali Urang Jehe, Kecamatan Kerajaan, dan Kecamatan Salak. Peresmian Kabupaten Pakpak Bharat sendiri beserta pelantikan Pejabat Bupati Pakpak Bharat Tigor Solin dilaksanakan pada 28 Juli 2003 di Medan oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.

Keinginan Pakpak Bharat membuat DOB sendiri cenderung didorong oleh motif homogenitas etnis. Asumsi ini diperkuat dengan data demografi kependudukan Kabupaten Dairi sebelum pemekaran terjadi. Kabupaten Dairi yang penduduk aslinya merupakan etnis Pakpak mengalami peminggiran dalam bidang politik, sosial dan budaya di tanahnya sendiri akibat kalah dalam hal kuantitas dengan etnis Toba sebagai pendatang yang bermigrasi dari Tapanuli Utara.

Tabel 1.2 Persentase Penduduk Menurut etnis di Kabupaten Dairi Tahun 2005

No. Etnis Persentase (%)
1 Karo 15,11
2 Batak Toba 30,15
3 Pakpak 18,42
4 Simalungun 9,53
5 Mandailing 9,10
6 Jawa 8,22
7 Aceh 6,09

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi, Kabupaten Dairi dalam Angka. Tahun 2005

Meskipun demikian motivasi lain–seperti isu efisiensi dan efektivitas pemerintahan, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan elit lokal tetap relevan dalam tuntutan pemekaran Kabupaten Dairi ini.

Oleh karena itu diakhir tulisan ini berusaha melontarkan alasan Pemekaran Pakpak Bharat juga merupakan satu kasus dari sekian banyak pemekaran dalam arus bigbang decentralization yang terjadi di Indonesia. Namun faktor-faktor dan kondisi yang berlaku pada daerah yang menuntut pemekaran tidaklah seragam. Secara umum pemekaran Pakpak Bharat terlihat bermotif homogenitas identitas, tuntutan etnis asli untuk dapat memiliki pemerintahan dan wilayah yang murni dari etnis Pakpak sendiri.

Namun jika kita berhenti pada asumsi itu maka kita akan jatuh pada kesimpulan ahistoris dan mendistorsi politik identitas yang berlaku di daerah tersebut. Tulisan ini juga meninjau lebih jauh proses politik, sosial dan kultural yang dibentuk oleh dinamika desentralisasi dan cara masyarakat Pakpak Bharat terlibat dalam dinamika itu melalui penafsiran kembali lembaga, instrumen hukum dan teritorial sehingga menghasilkan DOB Kabupaten Pakpak Bharat.

Kebangkitan Etnis Pakpak

Upaya membangkitkan dan memperkuat simbol-simbol identitas etnis Pakpak ini ternyata bukan persoalan mudah, karena kesadaran identitas etnis Pakpak pada tahun 1950-an itu sangat lemah bahkan memudar. Banyaknya orang Pakpak yang mengganti marganya ke marga Batak Toba ketika mencari selamat saat adanya ancaman dan teror ketika pergolakan politik terjadi, semakin mengaburkan batasan etnis antara orang Pakpak dengan orang Batak Toba.[5] Ditambah lagi karena mengalami diskriminasi politik dan budaya, orang Pakpak menjadi malu-malu mempraktikkan budayanya sendiri, tetapi sebaliknya secara terbuka memakai bahasa dan budaya Batak Toba.[6]

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, harapan orang Pakpak untuk memiliki kabupaten sendiri dengan nama Kabupaten Pakpak kandas setelah Pemerintah Provinsi memberi nama kabupaten baru itu Kabupaten Dairi. Begitu juga dengan harapan kabupaten itu dipimpin oleh putra Pakpak, pupus setelah pemerintah provinsi menetapkan orang Batak Toba menjadi Bupati Dairi. Meski singkat, pada masa pemerintahannya Jauli Manik menggunakan kekuasaannya untuk merekonstruksi identitas dan mengonsolidasikan kesadaran etnik orang Pakpak.

Secara politik dan ekonomi keberadaan etnik Pakpak kembali melemah dengan pembentukan Kabupaten Dairi pada tahun 1964 tersebut. Kabupaten Dairi yang dipimpin oleh orang Batak Toba membuat kesadaran etnis orang Pakpak yang sedang  terkonsolidasi kembali buyar karena mereka tidak memiliki patron politik yang dapat memproteksi kepentingan dan aspirasi penduduk asli. Sebaliknya etnis Batak Toba kembali mendominasi terutama dibidang politik dan ekonomi.

Pada tahun 1965 – dua tahun setelah berdirinya Kabupaten Dairi – meletus peristiwa Gerakan 30 September. Di Dairi sendiri meskipun terdapat persaingan antar partai politik terkait gerakan 30 September, namun tidak pernah terjadi konflik fisik antar pendukung partai. Justru ketika komunisme berhasil dihancurkan dan Orde Baru naik kepuncak kekuasaan terjadilah ekses negatif bagi orang Pakpak. Sikap politik Orde Baru yang memberangus semua hal yang terkait dengan komunisme dan PKI menjalar kesemua aspek dan wilayah termasuk ke Kabupaten Dairi dan membuat orang Pakpak ketakutan. Elit lokal Dairi yang dikuasai oleh orang Batak Toba memanfaatkan isu komunis ini sebagai instrumen politik untuk menghabisi siapapun yang bermaksud mendisruspi kekuasaan lokal, terutama orang Pakpak yang ingin menuntut pembagian kekuasaan.[7] Akibatnya orang Pakpak takut menyuarakan kepentingan etnisnya sebagai penduduk asli karena khawatir dituduh komunis. Dengan demikian masa Orde Baru tidak memberikan perbedaan terhadap posisi orang Pakpak, mereka tetap terpinggirkan dari akses ke sumber daya lokal.

Pada 1970-an identitas etnis Pakpak jatuh terpuruk bahkan ada kecemasan ditengah orang Pakpak akan punahnya budaya dan tradisi Pakpak. Kecemasan ini adalah perasaan putus asa karena tidak adanya representasi kelompok etnik yang memegang jabatan strategis di pemerintahan. Menyadari kondisi ditengah-tengah orang Pakpak seperti itu, para pemuka masyarakat menyelenggarakan seminar tentang adat-istiadat Pakpak. Maksud dan tujuan seminar ini adalah menggali dan mengembangkan adat-istiadat serta merumuskan persamaan pendapat antara pemuka adat pemikir lokal tentang adat-istiadat Pakpak.

Seiring waktu jumlah orang Pakpak yang melanjutkan studi ke sekolah menengah di Sidikalang, Kabanjahe dan  Medan semakin banyak, meskipun masih sedikit yang meneruskan ke perguruan tinggi. Setelah menyelesaikan studi mereka kembali ke Sidikalang, mereka inilah yang menjadi kelompok terdidik masyarakat Pakpak, berkecimpung ditengah masyarakat sebagai wiraswastawan, pedagang dan pegawai pemerintahan.

Dalam pandangan kelompok terdidik Pakpak, pembangunan yang dijalankan selama ini terlihat sangat timpang. Di kecamatan-kecamatan yang penduduknya mayoritas Pakpak pembangunan berjalan lamban, sedangkan di wilayah yang penduduknya mayoritas Batak Toba pembangunan fisik berlangsung cepat dan dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Ketimpangan ini dilihat oleh kelompok terdidik Pakpak sebagai pengingkaran elite lokal untuk memajukan orang Pakpak. Ketimpangan pembangunan inilah yang melanggengkan kemiskinan, ketertinggalan, dan keterbelakangan etnis Pakpak. Mereka mulai menggugat secara kritis akar keterbelakangan dan ketimpangan pembangunan antara wilayah Simsim dan daerah lainnya. Mereka menganggap ketimpangan pembangunan ini sengaja diciptakan agar etnis Pakpak tetap tertinggal dan terus menerus dapat dikuasai orang Batak Toba.

Ketika hubungan kekuasaan lokal di Kabupaten Dairi sedang mesra-mesranya dengan kelompok etnis Pakpak, pada saat yang sama pemerintah pusat memperkenalkan otonomi daerah pada tahun 2001. Dimata orang Pakpak otonomi daerah ini dianggap sebagai peluang memperkuat dan memperjuangkan kepentingan kelompok etniknya. Orang-orang Pakpak memanfaatkan otonomi daerah dengan memaksimalkan diskusi-diskusi tentang demokrasi dan keterbelakangan kelompok etnisnya di tanah kelahirannya sendiri.

Salah satu wacana yang berkembang dalam diskusi-diskusi tersebut adalah tentang pemekaran Kabupaten Dairi. Soal penguasaan sumber daya alam juga menjadi hangat ditengah-tengah masyarakat. Jika sebelum tahun 1999, orang Pakpak merasa takut membicarakan pengelolaan sumber daya alam dan penduduk asli sebagai pemilik tanah ulayat, dimasa otonomi daerah pembicaraan tentang tanah adat semakin meluas. Klaim orang Pakpak sebagai pemilik tanah ulayat terus meninggi dan dinyatakan secara terbuka di wilayah-wilayah yang terdapat orang Pakpaknya. Pengakuan sebagai pemilik tanah ulayat ini menambah tenaga baru dalam penguatan kesadaran etnis Pakpak. Tanah ulayat yang telah berpindah tangan tersebut dipertanyakan dan digugat kembali di masa otonomi daerah. Pernyataan-pernyataan yang mengangkat persoalan tanah ulayat telah memompa semangat kesukuan orang Pakpak sekaligus mulai menunjukkan sikap ketidaksenangan terhadap kelompok-kelompok etnik yang menguasai tanah ulayatnya.

Isu pemekaran daerah sangat berpengaruh pada identitas, apalagi pemekaran yang terjadi atas dasar perpecahan identitas seperti di Dairi. Ada potensi perubahan hubungan mayoritas-minoritas di kedua daerah, dimana daerah baru mereka yang minoritas akan menemukan diri mereka menjadi mayoritas baru. Pada saat yang sama, mereka yang selama ini bagian dari mayoritas tiba-tiba menemukan diri mereka menjadi minoritas.

Masyarakat beretnis Batak Toba merasakan ancaman dari bangkitnya kesadaran etnis Pakpak ini, muncul kabar dimana-mana kalau orang Batak Toba akan diusir dari tanah Pakpak. Akibatnya orang Batak Toba mengkonsolidasikan diri untuk memberikan perlawanan jika benar mereka akan diusir. Ketegangan antara dua etnis ini dirasakan sangat kuat di Sidikalang pada tahun 2001, suasana saling curiga dan saling berjaga-jaga antar mereka sebagai antisipasi kalau terjadi penyerangan.

Walaupun terjadi ketegangan etnis, tetapi kedua kelompok etnis ini masing-masing dapat menahan diri sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Ketegangan hubungan etnis ini perlahan-lahan mengendur karena tidak ada yang mendahului penyerangan ke kelompok lain, akhirnya ketegangan reda dengan sendirinya. Namun redanya ketegangan antar dua kelompok etnis ini, bukan berarti konflik terselubung antara etnis Pakpak dan Batak Toba selesai dengan sendirinya. Ketegangan etnik terselubung antara kedua kelompok etnis ini terus berlangsung dan bersifat laten.

4.2. Eksistensi Etnis

Pada masa awal otonomi daerah ini orang Pakpak juga memanfaatkan situasi untuk melakukan konsolidasi kelompok etnisnya. Pemuka masyarakat, IKPPI dan kaum terdidik lokal yang selama ini merumuskan dan memperkuat identitas etnis Pakpak kini telah muncul sebagai elit Pakpak.[8] Kesadaran elit etnis Pakpak ini tentunya sudah tinggi, merekalah yang kemudian memanfaatkan sentimen kesukuan untuk tujuan politik dan ekonomi. Pemanfaatan dan pemanipulasian sentimen etnis tersebut dapat terlihat dari keinginan kuat elit etnis Pakpak mendapatkan kekuasaan diwilayahnya sendiri.

Manipulasi terhadap sentimen etnis tercermin dari pernyataan-pernyataan yang dikampanyekan elit Pakpak di masa otonomi daerah, salah satunya adalah pentingnya menjadi orang Pakpak, menjadi penduduk asli sekaligus pemilik tanah ulayat di tanah kelahirannya sendiri. Elit Pakpak menyadari bahwa tanpa memanipulasi sentimen kelompok etniknya, orang Pakpak tidak akan pernah bangkit menjadi amunisi politik untuk bernegosiasi dengan kekuasaan dan birokrasi yang mayoritas dikuasai orang Batak Toba.

Dalam bayangan mereka bila ada satu kabupaten baru mekar dari Dairi yang penduduknya mayoritas orang Pakpak, maka harkat martabat orang Pakpak akan terangkat dalam semua aspek, baik ekonomi, politik dan aspek sosial budaya. Jika itu terjadi maka semua pejabat mulai dari bupati, ketua dan anggota DPRD  serta pejabat-pejabat di bawahnya adalah orang Pakpak. Hal yang sama juga akan terjadi pada penguasaan sumber daya alam dan budaya Pakpak akan lebih dikenal di masyarakat umum.[9]

Dukungan moral dan sosial dari lima suak Pakpak ini dijadikan modal politik oleh elit etnik Pakpak. Elit etnis Pakpak semakin kuat mendesak percepatan pembentukan kabupaten baru dengan cara mobilisasi massa dan memanipulasi sentimen etnik untuk memompa soliditas dan solidaritas orang Pakpak. Manipulasi sentimen etnisitas tersebut dijalankan melalui isu penduduk asli, pemilik tanah ulayat, menjadi tuan rumah di tanah kelahiran sendiri dan marginalisasi politik dan ekonomi. Isu-isu tersebut menjadi justifikasi pembentukan kabupaten baru. Dengan semakin meningkatnya kesadaran etnis Pakpak, elit semakin gencar memobilisasi massa dengan menggelar demonstrasi-demonstrasi untuk mendapat dukungan kekuasaan lokal.

Kesimpulan

Etnis Pakpak telah menjadi masyarakat minoritas yang termarjinalisasi secara sistematis; marjinal dari sistem sosial kultural, politik dan geografis. Hal itu menimbulkan banyak peristiwa menyedihkan, kemarahan yang terpendam, dan keinginan untuk suatu saat kelak harus bangkit dari keterpurukan.

Pelemahan identitas etnis Pakpak dimulai dari marjinalisasi geografisnya. Wilayah tradisional Orang Pakpak telah tersegmentasi dan terpencar di beberapa wilayah keresidenan dan onder Afdeling sejak zaman penajajahan Belanda. Dari si Lima Suak Pakpak, suak Boang berada diwilayah keresidenan Aceh, dan suak Kelasen masuk ke wilayah onder Afdeling Batak Landen. Pembentukan Kabupaten Dairi tahun 1960 pun masih mengacu pada segmentasi wilayah yang diciptakan Belanda.

Khususnya soal nama Kabupaten dan wilayah cakupannya. Pada saat itu Orang Pakpak sudah mengusulkan nama Kabupaten Pakpak sebagai kabupaten baru yang lepas dari Kabupaten Tapanuli Utara, dan wilayahnya adalah wilayah cakupan  si Lima Suak Pakpak. Namun karena perwakilan di dewan yang sangat kecil, sehigga eksekutif maupun legislatif di kabupaten Tapanuli Utara dan Sumatera Utara tidak sepakat, sehingga diajukan nama Dairi dengan wilayah sama seperti onder Afdeling Dairi yang dibuat oleh Belanda.. Orang Pakpak hanya bisa menerima keputusan pahit itu dengan diam, setidaknya sudah berpisah dari kabupaten Tapanuli Utara.

 Namun usaha untuk membangkitkan kembali identitas Pakpak selalu kembali muncul ketika situasi politik mendukung. Kelompok terdidik yang lahir dari tengah masyarakat sendiri menjadi modal untuk melakukan perbaikan nasib orang Pakpak di tanah leluhurnya. Sampai ketika reformasi politik terjadi dan gelombang desentralisasi yang melanda seluruh Indonesia, etnis Pakpak pun siap mewujudkan Kabupaten-nya sendiri. Kabupaten yang merepresentasikan eksistensi etnis mereka, lepas dari bayang-bayang etnis lain. Besarnya keinginan orang Pakpak untuk pemekaran wilayah Kabupaten Dairi, lebih disebabkan oleh masalah ketidakadilan yang dirasakan sejak zaman Kolonial Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan. Akibatnya pada masa otonomi daerah ini, ketertinggalan dan keterkungkungan tersebut diaktualisasikan dengan besarnya keinginan untuk mendirikan suatu kabupaten yang identik dengan etnis Pakpak.

Perspektif konstruktivis dalam melihat etnisitas, penulis anggap lebih tepat untuk menjelaskan fenomena etnis Pakpak dalam usaha-usaha untuk membangkitkan identitasnya, sampai pada usaha pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat. Bagi penganut perspektif ini identitas etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat bergeser atau berubah jika situasi atau konteks sosialnya berubah. Identitas etnis menurut perspektif konstruktivis bersifat cair, oleh karena itu merupakan sesuatu yang selalu bisa dikonstruksi dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Elit etnis Pakpak dengan sangat baik melakukan penyadaran akan identitas orang Pakpak umumnya, dapat kita lihat isu-isu yang dikembangkan ditengah-tengah masyarakat menjelang pemekaran adalah pengelolaan sumber daya alam tanah Pakpak, mengenai tanah ulayat orang Pakpak dan mempertanyakan kembali bagaimana cara etnis pendatang mendapatkan tanah mereka dahulu. Dalam pertemuan-pertemuan mengenai rencana pemekaran jelas sekali motivasi eksklusifitas identitas tersebut, bagaimana kabupaten baru nanti, mulai dari bupati-nya, anggota legislatif dan semua birokrasinya adalah orang Pakpak. Sumber daya alamnya dikelola oleh orang Pakpak, dan untuk kemajuan orang Pakpak. Tentu pemikiran tersebut muncul dari pengalaman panjang marjinalisasi etnis Pakpak tersebut.

Hingga pada akhirnya terbentuklah Kabupaten Pakpak Bharat sebagai hasil kolaborasi dari momentum kebangkitan identitas etnis Pakpak, reformasi politik, dan hasrat politik elit etnis Pakpak. Meski sebenarnya dengan berdirinya kabupaten baru ini, etnis Pakpak semakin memperkecil luasan tanah leluhurnya (Tanoh Pakpak). Namun pilihan ini harus diambil agar Pakpak sebagai identitas etnis bisa eksis dalam bentuk kabupatennya sendiri seperti etnis Karo dan Simalungun yang memiliki Kabupaten dengan nama etnisnya masing-masing. Karena jika tidak, seperti yang dikatakan J.H. Manik, etnis Pakpak bisa saja punah karena tidak memiliki benteng budaya dan tradisi dari serbuan etnis pendatang yang telah mencaplok tanah mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Chandra, Kanchan , Making Causal Claims about the effect of ‘ethnicity’, dalam Marc Irving

Lichbach & Alan S. Zuckerman, Comparative Politics: Rationality, Culture, and Structure, Cambridge University Press, New York, 2009.

Edwin, Donni dkk. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good

Governance, Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Ibnu, Fadjar Thufail dan Martin Ramstedt, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan

kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru. Gramedia, Jakarta 2011.

Kimura, Ehito,  Provincial Proliferation: Vertical Coalitions And The Politics of

Territoriality In Post-Authoritarian Indonesia, (Disertasi, Political Science University of Wisconsin-Madison, 2006) .

Laode Ida, 2014, Election And Political Evil Ambition In Indonesia’s Reformasi Era,

International Journal of Politics and Good Governance Volume 5, No. 5.4 Quarter IV 2014, hal.4.

Manan, Bagir, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,FH UII Press, Yogyakarta.

Rasyid, Ryaas, 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press.

Sari, Fitriani, Handayani Razak, Pergulatan Etnis dalam Pemekaran Daerah (Studi Kasus;

wacana pemekaran Pinrang Utara), Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2015.

Schulte, Henk, Nordholt & Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, YOI &

            KITLV, Jakarta.

Zuska, Fikarwin, 2012, Jurnal Antropologi Indonesia, volume 33, Nomor 3.

Vel, Jacqueline , Kampanye Pemekaran di Sumba Barat, dalam Politik Lokal di Indonesia,

            Henk Schulte Nordholt & Gerry Van Klinken (ed), KITLV, Jakarta, 2014.


[1] Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, FH UII Press, Yogyakarta. Hal. 25

[2] Ryaas Rasyid. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press. Hal. 8-9

[3] Fadjar Ibnu Thufail dan Martin Ramstedt, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru, Gramedia, Jakarta 2011. hal. 2

[4] Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, YOI & KITLV, Jakarta 2014. hal. 25

[5] Seperti dikatakan pendekatan instrumentalis bahwa identitas etnis tidaklah tetap, berubah-ubah, dan adaptif bergantung dengan siapa berinteraksi. Untuk tujuan politik dan ekonomi orang dapat menukar identitasnya dan suatu saat dapat pula kembali ke identitasnya semula. (Milton J. Eastman, Ethnic Politics. (Ithaca: Cornel University Press) hal: 10-11.

[6]DR Budi Agustono, op.cit hal. 183

[7] DR. Budi Agustono, wawancara dengan Benyamin Banurea ibid hal. 190

[8] Lahirnya elit etnis seperti ini baru mulai terjadi setelah runtuhnya Orde Baru, khususnya di daerah yang mengalami konflik etnis dan atau elit lokalnya yang berkompetisi merebut kekuasaan. Salah satu contohnya adalah munculnya elit baru Dayak pasca  1998. Gerry van Klinken, “Indonesia’s New Ethnic Elites” dalam Henk Schulte Nordholt and Irwan Abdullah (eds) In Search of Transition. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Hal. 66-105

[9] Lihat Kanchan Chandra tentang politik identitas dan patronase politik, Making Causal Claims about the effect of ‘ethnicity’, dalam Marc Irving Lichbach & Alan S. Zuckerman, Comparative Politics: Rationality, Culture, and Structure, Cambridge University Press, New York, 2009 hal. 382

Memori buruk Pilkada Medan

Kilas balik gagal kepemimpinan Walikota Medan 2005-2015

Pilpres dan pileg baru saja usai, banyak catatan yang perlu dievaluasi bersama untuk kemajuan berdemokrasi. Namun tahapan pemilu kepala daerah serantak telah terjadwal, pesta demokrasi lokal sudah menunggu didepan mata. Pilkada serentak tahun 2020 -sebagai bagian tahapan menuju pemilu serentak nasional- akan diikuti oleh 23 Kabupaten/kota di Sumatera Utara, dan Kota Medan adalah salah satunya.

Namun semacam ada kegagapan ketika berbicara tentang siapa yang akan menjadi walikota Medan selanjutnya. Sulit sekali menyebut satu nama yang ideal menjadi pemimpin kota ini. Dalam kesempata mengikuti beberapa diskusi dan obrolan santai dengan para tokoh dan warga, yang muncul adalah nama-nama dengan (dugaan) kecenderungan menang, bukan atau belum mengarah pada nama yang memiliki visi dan integritas. Nama-nama yang disebutkan punya kans menang itupun didasarkan pada modal materi, petahana, dan populisme identitas.

Jika berhenti pada parameter seperti itu, kota Medan lagi-lagi akan mendapatkan walikota dengan kualitas medioker. Kita masih akan sulit untuk mengejar ketertinggalan dari kota-kota besar lain seperti Surabaya dan Bandung misalnya. Di Medan kita mungkin punya banyak ketua, tetapi kita defisit kepemimpinan yang berintegritas.  

Indikasinya sudah tampak dari pilkada terakhir kota medan tahun 2015. Warga Medan yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 74.44 %. Dengan angka golput setinggi itu, artinya masyarakat sudah mengambil sikap bahwa nama yang diusung oleh koalisi partai-partai politik untuk menjadi calon walikota dan wakil walikota Medan sama-sekali tidak menarik. Dan ini adalah kegagalan partai-partai politik. 

Ada dua fungsi parpol yang tidak berjalan dalam kasus ini; agregasi kepentingan dan rekrutmen politik. Terbukti keinginan mayoritas pemilih (74.44%) berbeda dengan keinginan koalisi parpol pengusung Eldin-Akhyar (PDIP, Golkar, PAN, NasDem, PBB, PKPI, PKS, PPP) dan pengusung Ramadhan Pohan-Edi (Demokrat, Gerindra, Hanura). Gemuknya koalisi yang mengusung Eldin-Akhyar menjadi preseden buruk mandegnya rekrutmen politik parpol. Alih-alih mempersiapkan kader sebagai tokoh dan mengusungnya, parpol-parpol ini memposisikan diri hanya sebagai perahu sewaan bagi siapa yang mau membayar untuk mengikuti pilkada.

Namun apatisme pemilih pada pilkada 2015 terjadi bukan tanpa sebab-sebab yang mendahuluinya. Justru  pilkada 2015 adalah puncak kekecewaan warga Medan terhadap kondisi politik dan teladan kepemimpinan di kota ini. Kegagalan kepemimpinan walikota-walikota sebelumnya memberikan kontribusi besar pada apatisme politik warga Medan.

Pilkada langsung pertama kota Medan dilaksanakan pada tahun 2005, Abdillah-Ramli (diusung oleh Golkar, PDIP, PAN, PPP, PBR, PDS, Demokrat, Patriot Pancasila) terpilih dari lawannya pasangan Maulana Pohan –Sigit (diusung oleh PKS). Baru sekitar dua tahun pemerintahan berjalan, Abdillah kemudian ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Ia kemudian ditahan pada Januari 2008, tidak sendirian, tapi bersama-sama wakilnya Ramli, karena kasus korupsi yang sama.

Sejak ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahannya walikota Medan dan wakilnya secara bersamaan, Medan kemudian dipimpin oleh beberapa pelaksana tugas dari kalangan birokrat yakni Afifudin Lubis dan Rahudman Harahap sejak Mei 2007 sampai akhir periode tahun 2010.

Pada pilkada 2010 Rahudman Harahap yang sebelumnya menjadi pelaksana tugas walikota, ikut mencalonkan diri menjadi walikota berpasangan dengan T. Dzulmi Eldin, bersama 9 pasangan calon lainnya. Pilkada Medan 2010 memang fenomenal secara jumlah dan latar belakang kontestan yang beragam. Ada 10 pasangan calon, baik yang diusung oleh partai atau dari jalur independen.

Kontestasi berjalan seru hingga dua putaran, karena pada putaran pertama tidak ada yang mencapai kemenangan 30%, sesuai peraturan pada waktu itu digelar putaran kedua yang diikuti oleh dua pasangan calon teratas yaitu; Rahudman Hrp-T. Dzulmi Eldin (22.20%) dan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti (20.72%).

Namun pertarungan yang menarik ini menemui anti-klimaksnya ketika pada putaran kedua isu SARA mulai dimainkan (Sofyan Tan merupakan Non Muslim dan keturunan Tionghoa). Disinilah pertama kali surat Al-Maidah ayat 51 secara massif digunakan dan disebarkan dikalangan pemilih muslim (lalu booming lagi pada pilgub DKI Jakarta 2017). Pada saat itu intens terjadi kampanye dengan tema jangan pilih pemimpin non muslim di pengajian ibu-ibu dan ceramah di masjid-masjid. Rahudman-Eldin kemudian menang telak pada pilkada Medan 2010 (65.88%)

Tapi lagi-lagi hasil dari pilihan suci itu mengecewakan, Rahudman kemudian tersangkut kasus korupsi, Medan kembali mengalami kekosongan Walikota. Kejadian yang berulang-ulang tertangkapnya walikota Medan dan kekosongan kedudukan walikota inilah yang menjadikan kota medan sering disebut sebagai kota autopilot. Warga Medan hampir terbiasa dengan ‘ketidakhadiran’ walikotanya. Ada atau tidak ada walikota, Medan tetap berjalan, kehidupan ekonomi dan pemerintahan sekalipun tidak lumpuh. Namun dampak jangka panjangnya, telah terjadi ketidakpercayaan pada birokrasi dan proses politik lokal di kota Medan. Kondisi inilah yang kemudian membawa Medan sekarang pada krisis kepemimpinan.

Pilkada 2020 adalah harapan, kita ingin kota ini tetap menjadi mercusuar metropolitan di barat Indonesia. Kota yang paling strategis secara ekonomi dan politik di pulau Sumatera ini sudah saatnya dipimpin oleh tokoh yang memiliki integritas tinggi dan visi yang tajam.

Pada Pilkada 2020 nanti sudah seharusnya seluruh pemangku kepentingan dengan bijak dapat menahan diri untuk tidak mengejar keuntungan elektoral semata. Partai politik diharapkan mampu memunculkan kader-kadernya yang berkualitas dan membentuk koalisi yang strategis mengusung tokoh pembaharu. Warga pemilih juga diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan tujuan mendapatkan pemimpin terbaik tanpa terpolarisasi lagi dukungan pilpres kemarin. Dengan bagitu paling tidak kita sudah berusaha menghadirkan iklim berdemokrasi yang baik sebagai contoh kedepan bagi generasi selanjutnya.

photo credit: RMOL

PSI dan Perda Syariah. BENARKAH MENOLAK PERDA AGAMA BERARTI MENOLAK AGAMA?

Beberapa hari belakangan pidato Ketua Umum PSI saat memperingati ulang tahun keempat PSI  menuai kontroversi. Pasalnya sist Grace menyatakan dengan tegas bahwa jika PSI duduk di parlemen maka PSI tidak akan mendukung terbitnya perda-perda Injil ataupun Syariah. (pidato lengkap Grace Natalie)

Ditengah sentimen politik netizen yang sedang genit-genitnya, dimana soal selip lidah-salah ucap saja bisa digoreng berminggu-minggu, apalagi sebuah pernyataan sikap politik yang tegas dari seorang Ketua umum partai baru, unyu-unyu, belum berpengalaman, dan -mungkin paling fatal adalah- sejak lama sudah mendeklarasikan diri sebagai cebongers. sudah pasti diburu untuk dibully dan digoreng sampai kering oleh pihak oposisi.

Setelah tanggal 11 November 2018 itu, di media sosial kemudian ramai gunjingan miring tentang PSI yang disebut anti Agama, simpatisan PKI dsb. Bahkan fitnah keji diarahkan kepada Grace Natalie yang foto wajahnya diedit sedemikian rupa kemudian disatukan dengan tubuh dari foto model majalah dewasa dengan pose sensual. (Sangat kelihatan kualitas pikiran oposisi ga kredibel itu, yang menyerang kepribadian perempuan, sudah ahli hoax otaknya mesum pula)

Namun anehnya postingan terkait sampai dibagikan ribuan kali disalah satu platform medsos, yang mengindikasikan ribuan orang itu percaya bahwa foto itu memang betul Ketua Umum PSI dan berpose memalukan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat kita memang sedang sakit. Saya percaya mereka tahu bahwa yang mereka share/bagikan itu adalah  foto editan dan berita bohong. (karena terlalu gampang melacak jejak rekam seorang Grace Natalie asli jika mereka punya kuota internet, dan tentunya mereka punya karena bisa share postingan hoax itu) Tetapi mereka tetap membagikannya dengan harapan membanjiri media sosial dengan informasi sesat ini.

Beginilah propaganda politik diera revolusi 4.0 dilakukan, bukan dari satu kanal kantor propaganda tapi dari ribuan akun mediasosial milik masing-masing individu yang tak pernah bertemu dan tak merasa dikomandoi. Mereka hanya  merasa berita bohong itu cocok dengan sikap politiknya, dan ingin orang lain mendapatkan berita yang sama. Tujuannya dari dulu tetap sama, menggiring opini masyarakat luas, mereka berharap “kebohongan yang diucapkan terus-menerus lama-lama akan terlihat seperti kebenaran” -Joeseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi.

Kembali ke soal perda-perda-an yang sebenarnya pun kita sebagai masyarakat kadang tidak tahu semua perda yang berlaku ditempat tinggal masing-masing. Penolakan PSI mendukung Perda yang berdasarkan agama tertentu bukanlah berarti PSI anti Agama atau mau menjauhkan masyarakat  dari Agama – seperti yang dituduhkan beberapa pihak yang pandai memperkosa makna kata dan melecehkan kecerdasannya sendiri hanya agar kebohongannya diterima masyarakat awam – tetapi kami melihat Perda berbasis agama akan menimbulkan sikap diskriminasi baru ditengah masyarakat indonesia yang memang plural ini. intinya soal keadilan dan anti diskriminasi. *(pembahasan mengenai perda berbasis Agama ini mengecualikan daerah-daerah di Provinsi Aceh yang memang memiliki status otonomi khusus dan memiliki kesepakatan pasca perdamaian(MoU) antara GAM dan Pemerintah. Pengakuan keistimewaan dan kekhususan Aceh dapat dilihat pada UU No. 11 2006 Tentang Pemerintahan Aceh)

Mari kita bayangkan seandainya masing-masing kelompok Agama tertentu yang merasa dirinya mayoritas mendesak diberlakukan peraturan daerah berdasarkan agama mayoritas tersebut didaerahnya, mau jadi apa negara ini? yg terjadi kemudian adalah persaingan memunculkan perda-perda agama tertentu didaerah-daerah  dimana agama tersebut menjadi mayoritas. Sungguh keadaan yang sangat jauh dari cita-cita pendiri bangsa. Pendahulu kita itu, walaupun hidup dijaman komputer belum diciptakan tetapi dapat melihat lebih luas, berjalan lebih jauh, sehingga cakrawala tidak sesempit layar handphone. Para pendiri bangsa kita telah memahami keberagaman agama yang ada di nusantara, bukan hanya agama, aliran kepercayaan dari suku-suku asli pun banyak yang eksis bahkan sampai hari ini. (di Sumut ada Parmalim dan Pemena misalnya) Untuk itulah slogan Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai pemersatu suku-suku bangsa ini.

Sungguh kebebasan beragama sudah dijamin oleh UUD 45 pada pasal 29, saya sudah tahu itu sejak Sekolah Dasar. Sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa yang menjamin semua Agama dan kepercayaan dijamin dapat hidup bersama dibawah lindungan NKRI. Semua pemeluk Agama bebas menjalankan ajaran Agamanya di Indonesia dan bebas beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. Kitab-kitab suci setiap Agama yang diimani pengikutnya cukuplah jadi landasan dan pedoman hukum tertinggi bagi setiap pengikutnya. Jadi kenapa mesti isi kitab suci direndahkan derajatnya hanya menjadi perda? apakah perlu ditambahkan satu lagi keimanan kepada perda? Pada poin inilah saya pribadi melihat tidak ada subtansi  dan kebutuhan perda-perda berbasis agama dikeluarkan. Perda-perda seperti itu hanya akan membuat kita terpecah belah. Wilayah-wilayah daerah kita memang seharusnya tidak dibeda-bedakan berdasarkan Agama, karena Agama harusnya ada didalam hati masing-masing pemeluknya dan menjadi dasar kehidupan sehari-hari tanpa perlu dijadikan perda ini-itu.

Bayangkan saja misalnya kita di Sumut ini yang sudah hidup aman dan tenteram antar umat beragama selama ini. Tiba-tiba disuatu Kabupaten ada yang mayoritas Katolik ingin bikin Perda di kabupatennya berlandaskan nilai-nilai Katolik. Begitu juga daerah yang mayoritas penduduknya muslim, ingin perda syariah dijalankan disana dengan tujuan agar penduduknya semakin agamis dan Islami sehari-hari. apa yang akan terjadi? Akan terjadi kekacauan, muncul perasaan saling iri dan sinis antar umat beragama di daerah-daerah yg komposisi mayoritas-minoritasnya terpaut jauh. Tiba-tiba hubungan harmonis kekeluargaan berubah jadi saling benci dan curiga.

Perda berlandaskan agama tertentu adalah kegagalan memahami bahwa kita sebagai umat beragama tertentu tidak sendirian berada dinegara ini, disebuah provinsi, kabupaten, tidak ada yang benar-benar homogen agamanya. Usulan-usulan Perda berlandaskan agama hanya buah dari ambisi politik identitas yang digalang untuk meraup suara konstituen kelompok mayoritas. Murni politisasi agama yang mana legislatif dan eksekutifnya juga belum tentu menjalankan perda tersebut. Atau sebagian masyarakatnya malah menjadi tidak nyaman dengan peraturan daerahnya sendiri karena tidak memenuhi kebutuhan riil masyarakat. Karena terbukti Perda Agama hanya sibuk pada formalisasi dan simbolisasi Agama, padahal kebutuhan riil masyarakat adalah lapangan pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. Bukan marka-marka dijalan dan baliho yang bertuliskan hadis, atau salib dan gambar Yesus di jalan-jalan.

Demikian PSI hanya ingin mengembalikan semangat awal cita-cita pendirian bangsa ini. Sebuah Negara besar yang dapat menjadi rumah bagi semua agama, ras, suku dan golongan. Satu kesatuan dan tak terkotak-kotak. Kami adalah generasi optimis yang tidak percaya Indonesia bubar tahun 2030. Dan kami siap berdiri didepan sesuai fungsi kami sebagai partai, mendidik masyarakat agar paham hak dan kewajiban politiknya, mencegah  paham ekstrimis, dan melawan politisi-politisi korup yang menebar pesimisme ditengah-tengah masyarakat agar masyarakat berpaling pada mereka meminta tolong. Untuk itu kami mengumandangkan mari #SamaSamaBangunBangsa, berpolitik dengan akal sehat dan menebarkan optimisme ke generasi muda. Salam Solidaritas.  (Sikap PSI tentang Perda berbasis Agama)

Sebagai Warga Negara Republik, Meiliana Harus Dibela.

Demokrasi seharusnya menjadi sebuah ruang terbuka untuk menyampaikan gagasan, ide, dan pengetahuan. Termasuk menerima pendapat yang berbeda didalam masyarakat. Demokrasi diandaikan sebagai ruang, dimana harapan setiap individu dikontestasikan sebagai upaya konstruktif menuju kebaikan bersama. Maka sebenarnya, perbedaan pendapatlah yang melatarbelakangi demokrasi (disensus), bukan semata-mata kesepahaman (konsensus).

Kita memilih demokrasi karena para pendiri bangsa menyadari kemajemukan dan perbedaan yang hadir dalam tubuh bangsa Indonesia. Bukan hanya perkara perbedaan identitas, tetapi juga ide gagasan yang hadir disetiap individu. Untuk itulah kebebasan menyuarakan pendapat diatur di dalam konstitusi kita UUD 1945, pasal 28E ayat 3.

Satu kejadian memilukan datang dari Tanjung Balai, Sumatera Utara. Di mana seorang ibu rumah tangga bernama Meiliana terkena vonis 18 bulan penjara akibat menyampaikan pendapatnya terkait “suara Azan yang terlalu keras”. Meiliana didakwa atas dasar pasal Penodaan Agama pasal 156 subsidair 156a pada 21 agustus 2018 oleh Pengadilan Negeri Sumatera Utara dengan bunyi pasal: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang terjadi di Indonesia”.

Tentu vonis yang dijatuhi kepada Meiliana merupakan bagian dari ketidakadilan dan harus ditentang sebagai suatu pemihakan terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Terlebih lagi, apa yang disampaikan oleh yang bersangkutan adalah perkara “Suara azan yang terlalu keras” bukan Azannya itu sendiri. Tentu ini bisa diselesaikan dengan asas kekeluargaan, dan suami dari Meiliana telah meminta maaf terkait protes istrinya  tersebut. Tetapi sentimen identitas dan hoaks sudah tersebar di kalangan masyarakat sekitar, hingga pada 29 Juli 2016 terjadi intimidasi dan perusakan rumah Meiliana, lalu kemudian pembakaran belasan rumah ibadah umat Budha di Kota Tanjung Balai.

MUI yang pada saat itu enggan mengeluarkan fatwa, mendapatkan tekanan dari berbagai ormas yang ada didalamnya. Hingga pada Januari 2017 MUI mengeluarkan fatwa bahwa apa yang disampaikan oleh Meiliana sebagai bentuk penodaan agama. Maret 2017 Meiliana ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Utara. Meiliana yang merupakan seorang penganut Budha dan memiliki empat orang anak ini tidak sepantasnya dijatuhi vonis 18 bulan penjara karena ia hanya memperbandingkan antara suara Azan yang dulunya tidak sekeras suara azan waktu itu.

Perlakuan yang didapatkan oleh Meiliana merupakan bagian dari diskriminasi, persekusi dan sentimen identitas. Pasalnya, sebelum ia dibawa ke muka pengadilan, sebagai warga negara ia diperlakukan dengan cara-cara yang diluar jalur hukum, mengandaikan bahwa Meiliana adalah seorang Budha dan ber-etnis Tionghoa, yang menurut sebagian oknum warga tidak pantas untuk mengungkapkan hal tersebut. Padahal apa yang dilakukan oleh Meiliana dijamin oleh Konstitusi sebagai hak bagi seluruh warga negara, terlepas apa identitas yang melekat pada dirinya.

Selain itu, vonis yang dijatuhkan kepadanya tidak relevan. Dengan menggunakan pasal penodaan agama 156, vonis tampak dipaksakan akibat tekanan dari massa yang menginginkan Meiliana dipenjara sebagai bentuk sentimen yang berkembang akibat tersebarnya hoaks yang begitu cepat. Ini menandai bahwa proses hukum tidak berada pada koridor rule of law dan fair trail. Vonis dijatuhkan atas dasar demi menyenangkan mayoritas yang terlanjur benci dan terpapar kabar bohong. Di satu sisi Meiliana di vonis 18 bulan, sedangkan sejumlah oknum yang melakukan kerusuhan dan pengrusakan rumah ibadah Vihara hanya dijatuhi hukuman 1,5 sampai 2 bulan saja. Padahal terang, oknum-oknum inilah yang menimbulkan keresahan sebagai ekspresi berlebihan atas dasar kebencian terhadap identitas tertentu.

PSI tentu secara etik berpandangan bahwa apa yang dialami oleh Meiliana sebagai bentuk ketidakadilan hukum dan meminta agar yang bersangkutan diterima bandingnya untuk mendapatkan keadilan.meilianaMeiliana sama sekali tidak melakukan penodaan atas agama apalagi mengujarkan kebencian terhadap agama, dalam hal ini Islam. Ini adalah bentuk kemarahan sebagian oknum yang memandang Meiliana dari sisi identitas yang melekat pada dirinya: Thionghoa dan Budha. Sama sekali tidak ada nada sinis dan meresahkan, karena porsi Meiliana sebagai orang yang bertanya mengenai kodisi: “Suara azan yang keras”. Harusnya pertanyaan ini hanya perlu untuk dijawab, bukan malah menyeretnya ke muka hukum dengan sangka dan dakwaan penodaan agama.

PSI selalu menganjurkan toleransi harus dikedepankan demi menjaga keharmonisan ditengah pluralitas suku maupun agama, juga perbedaan pendapat. Sehingga kecenderungan kearah disintegrasi akibat aksi intoleransi harus dilawan sebagai pemihakan terhadap hak asasi manusia. Demokrasi harus menjadi instrumen penjamin setiap warga negara untuk mengekspresikan pendapatnya. Meiliana harus dihitung sebagai warga negara tanpa diskriminasi dan marjinalisasi akibat ke minoritasannya. Maka hukum harus sanggup mengatakan yang benar sebagai benar dan salah sebagai salah tanpa harus takut oleh tekanan mayoritas. Hukum mesti dapat menyuarakan kebenaran diatas apapun tanpa intervensi demi rasa keadilan dan hati nurani.

ditulis oleh: Irfan Prayogi, Agustus 2018.

diedit seperlunya oleh admin.

PILGUBSU, Mencari Sosok dengan Kualitas Baru

Beberapa waktu yang lalu saya terlibat obrolan dengan dua orang berbeda namun dengan topik serupa; suksesi Gubernur Sumatera Utara 2018.  Kebetulan dua teman saya itu adalah praktisi politik dari Jakarta, walaupun kami ngobrolnya diwaktu dan kesempatan berbeda mereka berdua sama-sama bertanya dan mengeluhkan gersangnya lahan politik Sumut dari tokoh-tokoh pemimpin baru yang berintegeritas dan kapabel. Tentunya pertanyaan dan keluhan ini membuat kegelisahan tersendiri bagi saya sebagai warga Sumatera Utara.

Saat ini, lebih kurang setahun lebih menjelang Pilgubsu 2018, nama-nama yang muncul kepermukaan belum lagi mampu mengugah pesimisme masyarakat terhadap perubahan politik yang berarti bagi sumut. Ya, pesimisme sudah tumbuh di benak masyarakat Sumut sejak trend kepala daerah terpilih pasti tidak ada yang selesai menjalankan amanah satu periode kepemimpinannya. Biasanya dalam dua atau paling lama tiga tahun setelah dilantik kepala daerah tersebut akan tersangkut masalah korupsi dan kemudian digantikan oleh wakilnya.

Kita lihat saja mulai dari gubernur terpilih pada Pilkada 2008 silam, Syamsul Arifin. Pada tahun ketiganya Syamsul ditangkap KPK, diproses lalu ditahan sehingga tugasnya sebagai Gubernur dilaksanakan oleh wakilnya Gatot Pujonugroho (GPN).  GPN menghabiskan sisa masa pemerintahan dan kemudian mencalonkan diri lagi sebagai Gubernur Sumut berpasangan dengan Tengku Erry Nuradi pada tahun 2013.

Seperti mengulangi sejarah, GPN kemudian masuk tahanan karena kasus penyalahgunaan anggaran bantuan sosial, wakilnya T. Erry mengambil alih kepemimpinan Sumut. Hingga saat ini sampai periode pemerintahan berakhir 2018 nanti T. Erry masih mantab memimpin sumut, dan sudah digadang-gadang untuk maju bertarung lagi sebagai Sumut 1 pada Pilgubsu nanti. Namun kabut pesimisme terhadap kepemimpinan T. Erry kedepan tetap menggelayut, karena rekam-jejak kepemimpinannya tidaklah mulus dan potensi mengulangi sejarah dua gubernur sebelumnya terulang kembali begitu besar.

Trend kepala daerah yang tesangkut korupsi dan terjegal dari kursinya bukan hanya monopoli Pemerintahan Provinsi, Walikota Medan dua periode sebelum sekarang juga mengalami hal serupa. Pasangan Abdillah-Ramli yang terpilih terakhir dengan mekanisme dipilih oleh anggota DPRD pada tahun 2005 bahkan tersangkut masalah korupsi secara bersamaan, sehingga kota medan harus dipimpin oleh Sekretaris Daerah dan Pelaksana Tugas sampai pilkada berikutnya. Pilkada tahun 2010 yang diharapkan memecahkan kebuntuan politik di Medan setelah vakum ditinggal Walikotanya, antusiasme masyarakat juga tampak meningkat dengan munculnya 10 pasangan calon dengan latar belakang beragam.

Namun Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin pemenang Pilkada Kota Medan yang sampai dua putaran itu mengalami antiklimaks. Rahudman yang terpilih dalam pilkada langsung pertama dikota Medan itu tidak dapat menghabiskan satu periode jabatannya karena  terjerat kasus korupsi yang dilakukannya pada jabatan sebelumnya. Kembali kota Medan ditinggalkan pemimpinnya karena kasus korupsi dan Dzulmi Eldin wakil Walikota menjabat sebagai pelaksana tugas yang kemudian maju lagi dalam pilkada selanjutnya tahun 2015 menjadi Walikota Medan.

Dengan rekam-jejak hasil Pilkada seperti itu – baik di Sumut, Medan dan kab/kota disekitarnya –  akhirnya menghasilkan apatisme politik ditengah-tengah masyarakat. Setiap kepala daerah yang maju dan menang dalam kontestasi telah diukur berapa lama akan bertahan sebelum diciduk oleh kejaksaan atau KPK yang kemudian akan digantikan oleh wakilnya dan apabila beruntung akan maju lagi sebagai nomor satu diperiode selanjutnya untuk kemudian tertangkap lagi dan digantikan lagi oleh wakilnya, begitu seterusnya.

Indikasi paling nyata dari apatisme itu adalah Pilkada kota Medan akhir tahun 2015 lalu, Plt Walikota Dzulmi Eldin maju lagi sebagai calon Walikota melawan Ramadhan Pohan (tokoh yang didatangkan dari Jakarta). Eldin maju dengan dukungan mayoritas Partai dan menang. Namun pemilih yang menggunakan hak suaranya ke TPS hanya berkisar 30%  saja. Artinya apa? Bahwa ada 70% pemilik suara bersarkan DPT tidak peduli lagi siapa yang akan menjadi walikota Medan, dengan kata lain Pilkada tersebut tidak menarik bagi mayoritas warga Medan karena kualitas tokoh yang ditawarkan untuk menjadi pemimpin sudah kadaluwarsa.

Pemimpin dengan kualitas-kualitas baru

Kembali lagi kepada upaya pencarian sosok pemimpin untuk Sumut, kita masih kesulitan mencari kualitas-kualitas pemimpin generasi baru. Kalau saja kita jeli, bahwa sudah tampak di beberapa wilayah lain di Indonesia, bahkan pada Presiden kita sendiri. Pemimpin generasi baru itu adalah orang-orang biasa, bukan dari keluarga elit politik, bukan dari konglomerat, dan bukan juga petinggi Partai Politik. Mereka adalah orang-orang yang berdedikasi pada bidangnya dan membuktikan dirinya mampu memimpin dengan baik di daerahnya masing-masing.

Era orang-orang besar sudah berakhir, kini saatnya orang-orang biasa yang tampil memimpin. Bukan karena pencitraan atau rekayasa media namun karena zaman sudah berubah dan rakyat memang menginginkan kualitas seperti itu. Pemimpin bukanlah lagi orang yang berjarak dengan yang dipimpinnya, karakter pemimpin yang diidamkan adalah seorang pelayan bagi rakyatnya bukan lagi yang dilayani oleh bawahannya. Pemimpin adalah orang yang ikut bekerja bukan lagi orang yang berkarakter seperti komandan atau raja yang memberi perintah dari singgasana. Mampu memberikan terobosan kebijakan baru, bukan hanya melanjutkan agenda usang sampai jabatannya berakhir.

Jika ada sosok yang karakternya mendekati kualitas-kualitas diatas, maka layaklah dia menjadi pemimpin generasi baru kedepan. Namun dari obrolan dengan kedua teman tadi, kami memeriksa sekilas kualitas pemimpin dari 33 kab/kota di Sumatera Utara, kira-kira siapa yang berpotensi menjadi pemimpin Sumut kedepan dengan kualitas baru tadi? Jawabnya tidak ada. Bahkan dari 33 Kab/kota tersebut tidak ada prestasi yang menonjol dan gebrakan baru dalam pembangunan di daerah masing-masing yang mereka pimpin.

Tradisi politik dan lingkungan keorganisasian yang melestarikan budaya-budaya lama seperti premanisme dan pemalakan terorganisir membuat miskinnya regenerasi  sosok pemuda yang memiliki kualitas karakter pemimpin baru. Orang-orang muda yang tersedia kebanyakan hanya muda secara umur dan fisik, namun mereka hanya kelanjutan dari tradisi kepemimpinan model lama yang dilestarikan sejak Orde Baru berkuasa. Jangan harapkan kreativitas muncul dari jenis pemuda seperti ini, mereka hanya tahu menakut-nakuti, meminta sumbangan dan ‘menjual jasa’ pengamanan, cara-cara primitif untuk mendapatkan uang yang katanya untuk pengembangan organisasi.

Kebuntuan ini harus dipecahkan oleh kita warga Sumut sendiri, pemimpin sumut kedepan harus sosok yang lahir dan tumbuh berkembang di Sumatera Utara. Bukan karena alasan pemuda daerah yang harus memimpin daerahnya, tapi lebih karena mereka yang merasakan sendiri kegelisahan rakyatnya, mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyat Sumut maka kebijakan yang dibuatnya kelak akan lebih berdampak langsung. Alasan ini sekaligus juga untuk menampik kecenderungan beberapa partai yang selalu membawa tokoh dari Jakarta untuk ikut meramaikan bursa Pilgubsu hanya karena tokoh tersebut memiliki identitas kesukuan dari Sumut atau pernah bertugas di Sumut, namun belum tentu pernah mengunjungi 33 kabupaten/kota di Sumut yang masing-masing merepresentasikan kearifan budaya dan tradisi lokal yang berbeda-beda pula.

Tulisan ini dibuat untuk menggugah siapa saja yang perduli pada peningkatan pembangunan Sumatera Utara, provinsi ini mulai tertinggal dari provinsi lain karena masalah politik dan kepemimpinannya yang tidak kunjung beres. Di saat provinsi lain sibuk membangun infrastruktur dan dasar perekonomian daerahnya, kita masih disibukkan dengan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dipanggil ke kantor KPK. Secara bersama-sama masyarakat dan partai politik yang ada harus komitmen mendukung dan mengusung sosok yang bersih dan berintegritas serta memiliki visi membawa kemajuan bagi Sumut. Namun sebelum itu kita masih memiliki tugas menggali dan menemukan potensi-potensi bibit lokal yang bisa menjadi pemimpin masa depan dari Sumatera Utara.

Yang mulia, kalau golput sampai 80% itu salah siapa?

Kalau saya tidak salah Pilkada Kota Medan  tahun  2015 ini mencatatkan rekor tertinggi pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya diseluruh Pilkada yang dilaksanakan di Indonesia. Kekecewaan tentu saja merebak ditengah masyarakat mengingat untuk kegiatan demokrasi kota medan ini dianggarkan dana yang tidak sedikit, berkisar 56,6 Miliar Rupiah.

Tentu tidak ada satu pihak pun yang mau disalahkan atas rendahnya partisipasi pemilih di kota Medan ini. Namun komisioner KPU Kota Medan Pandapotan Tamba terlihat terburu-buru melempar bola atas tidak semaraknya gawean yang mereka selenggarakan ini, dapat kita lihat dari pernyataannya didepan wartawan di Kantor KPU Medan Rabu (9/12/2015); “Kami sosialisasi udah maksimal kok. Dasar masyarakatnya saja yang apatis. Mereka tidak mau tahu,”. KPU memang tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi, namun pernyataan Komisioner KPU yang menyerah terhadap apatisme masyarakat dengan dalih sudah melakukan sosialisasi maksimal juga terdengar konyol dan lepas tanggungjawab.

Pernyataan saudara Komisioner tersebut kemudian soal keabsahan Pilkada yang tetap legal dan sah walaupun golput tinggi memang telah dijamin Undang-Undang; “Tetap sah. Tetap legal. Pemilu kali ini paling aman, paling jujur, paling adil. Hanya golputnya aja yang tinggi,” namun penyataan ini menggambarkan mindset penyelenggara pemilu yang prosedural, tidak peduli hakikat demokrasi asalkan pemilu berlangsung aman dan lancar maka selesailah ajang pemilu tersebut, meskipun pada kenyataannya 80% masyarakat tidak ikut berpatisipasi.

Seharusnya sebagai penyelenggara, komisioner KPU tidak perlu menyalahkan bahkan memberi cap masyarakat yang tidak memilih sebagai apatis dan tidak mau tahu. Masyarakat juga memahami kejadian ini bukan karena tidak becusnya KPU, seluruh elemen masyarakat seperti pejabat negara, para kandidat dan partai politik bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Kota Medan ini. Komisioner KPU Kota Medan cukup mengakui bahwa Pilkada Kota Medan kali ini memang tidak menarik.

Pemilihan Walikota Medan Sejak Pilkada Langsung

Pemilihan langsung walikota Medan pertama kali digelar tahun 2005 yang dimenangkan oleh pasangan Abdillah-Ramli. Di tahun ketiga kepemimpinan mereka, kedua pemimpin kota Medan ini tersangkut kasus korupsi dana APBD. Warga kota Medan menyaksikan kejadian yang memalukan ini, kedua pemimpin mereka masuk penjara akibat korupsi. Kota Medan kemudian dipimpin oleh Sekda Afifudin Lubis,  lalu karena beliau mencapai masa pensiun PNS maka Rahudman Harahap menggantikannya sebagai PLT. Walikota Medan.

Pada Pilkada Kota Medan tahun 2010, Rahudman Harahap maju sebagai calon Walikota Medan bersama T. Dzulmi Eldin sebagai calon Wakil Walikota-nya. Pilkada tahun 2010 ini menghadirkan 10 pasangan calon walikota dan wakil walikota dan merupakan pilkada paling banyak kandidatnya. Pilkada tersebut berlangsung seru sampai harus dilaksanakan putaran kedua dan akhirnya dimenangkan oleh pasangan Rahudman Harahap dan T. Dzulmi Eldin. Namun seperti mengulangi kesalahan yang sama, walikota Medan Rahudman Harahap kembali terjegal kasus korupsi yang menyebabkan dia harus lengser dan digantikan oleh wakilnya T. Dzulmi Eldin.

Dua tahun melanjutkan sisa periode jabatan walikota 2010-2015 yang ditinggalkan Rahudman, T. Dzulmi Eldin kembali mencalonkan diri sebagai Walikota Medan pada Pilkada serentak tahun 2015 ini. Sejak publikasi kesiapannya maju menjadi calon walikota Medan, Dzulmi Eldin diyakini sebagai calon terkuat yang akan memenangi Pilkada. Hal ini kemudian membuat banyak partai politik bermain aman dengan bergabung dalam koalisi  mengusung T. Dzulmi Eldin menjadi calon Walikota Medan. Pendapat bahwa T. Dzulmi Eldin adalah calon kuat pemenang Pilkada bukanlah apriori, sebagai petahana yang memiliki keuntungan tersendiri dan merupakan warga Medan asli, T. Dzulmi Eldin lebih dulu familiar dan populer dibandingkan pesaingnya yang muncul belakangan dari tokoh nasional Ramadhan Pohan.

Gagalnya fungsi representasi Parpol

Walaupun  memiliki potensi yang kuat untuk memenangkan Pilkada, namun ditengah-tengah warga kota Medan telah lahir pesimisme tersendiri dengan pengalaman dua pilkada terakhir. Banyak terdengar selentingan bahwa ketika T. Dzulmi Eldin menang menjadi walikota, maka beliau akan menyusul pendahulunya Rahudman Harahap ke penjara juga.

Partai Politik yang seharusnya dapat meng-agregasi kepentingan konstituennya dan menghadirkan tokoh alternatif untuk menjadi pemimpin, malah berbondong-bondong mencalonkan petahana yang diyakini akan menang dengan mudah. Bermain aman seperti ini memang menguntungkan partai-partai pendukung, selain hemat biaya juga hemat tenaga. Namun ini adalah awal kegagalan partai politik menterjemahkan keinginan rakyat yang butuh pemimpin baru, bukan hanya sekedar ingin memenangkan pertarungan pilkada.

Persentase golput yang mencapai 70-80% adalah bukti bahwa partai-partai yang mendukung calon tersebut tidak memiliki ikatan apa-apa dengan sebagian besar calon pemilih. Jumlah golput yang besar juga mengindikasikan partai-partai tersebut hanya menumpang nama tanpa menjalankan mesin partai untuk menggerakkan konstituennya menggunakan hak pilih. Bayangkan apa gunanya 8 partai politik mendukung T. Dzulmi Eldin (PDIP, Golkar, PAN, NasDem, PBB, PKPI, PKS, PPP) kalau pada kenyataannya saat pemilu partisipasi hanya 20% saja dari daftar pemilih tetap? Inilah kegagalan Partai Politik merepresentasikan keinginan rakyatnya.

Kita tidak perlu menunjuk satu pihak untuk disalahkan jika pemilu kota Medan yang telah berlangsung 9 Desember kemarin sepi dari pemilih. Setiap pemangku kepentingan yang terlibat harus melakukan evalusi di internal masing-masing. Penyelenggara tidak usah mencari alasan, pasangan calon yang kalah juga tidak perlu menyalahkan penyelenggara karena anggapan kurangnya sosialisasi – karena sosialisasi juga dapat dilakukan oleh Tim dan Partai pasangan calon.

Begitupun dengan pasangan Eldin-Akhyar, tidak usah terlalu bangga dengan kemenangan sekitar 72% dari suara pemilih yang 20%, karena artinya mayoritas warga Medan tidak perduli anda menang atau tidak. Begitupun ucapan selamat tetap layak disampaikan kepada Walikota dan Wakil Walikota terpilih. Kedepan adalah tugas anda membuktikan pada warga Medan anda memang layak memimpin kota ini 5 tahun lagi dan menepis pesimisme warga Medan terhadap perbaikan melalui Pilkada.

*diterbitkan di Koran Sindo Sumut, Headline Desember 2015

Apalah arti seorang Katniss?

Tulisan iseng ini muncul semata-mata karena cemas melihat euforia ide-ide revolusi dan subversif menjadi populer dan dikonsumsi oleh massa melalui cara dan saluran yang diserang oleh ide-ide subversif itu sendiri. Kecemasan itu bukan karena takut massa akan menjadi semakin liar dan tak terkendali, tetapi cemas bahwa mereka hanya menjadi (mengutip istilah Hikmat Budiman dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan;Kanisius 2002) gerombolan massa, mayoritas bungkam yang menyerap overproduksi energi dan informasi dari media massa. Gerombolan massa itu secara antusias melahap permainan tanda-tanda yang tanpa akhir dari media yang berakibat meleburnya keunikan budaya-budaya lokal menjadi satu budaya massa yang diciptakan oleh media.

Media massa adalah sebuah alat untuk menyampaikan pesan atau untuk berkomunikasi. Dalam konteks masyarakat modern, ia adalah intrumen dengan apa berbagai bentuk komunikasi dilangsungkan. Paling tidak ada empat kategori media massa yang dominan dalam komunikasi massa masyarakat modern; media cetak (buku, majalah, koran); rekaman (kaset audio, CD, DVD); gambar bergerak (film) serta broadcasting atau penyiaran radio dan televisi. Namun yang ingin saya bahas saat ini adalah film. Sebuah film adalah sarana yang paling efektif untuk menyampaikan pesan kepada khalayak ramai.

Fungsi film sebagai alat komunikasi massa ini telah disadari sejak awal oleh propagandis negara-negara yang terlibat perang dunia I dan II dan semakin luas penggunaannya ketika masa perang dingin (persaingan pengaruh ide, keilmuan dan teknologi) antara negara-negara blok Timur (komunisme) dan Barat (kapitalisme). Pada masa itu film tidak pernah diproduksi hanya sebagai hiburan semata, didalamnya disisipkan pesan melalui kalimat dan kata-kata, gambar dan tanda-tanda, yang memiliki nilai spesifik untuk mempengaruhi kesan yang akan diterima oleh penontonnya akan suatu hal.

Pentingnya sebuah film dalam misi dominasi suatu (budaya) negara terhadap negara lain dapat kita lihat ketika dulu film impor dari Hollywood dibatasi dan diberi kuota. Sementara Amerika melihat Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar mestinya menjadi sasaran cultural brainwash melalui film-filmnya. Waktu itu periode 1980-an sebagian besar ekspor tekstil kita pasarnya adalah ke Amerika, akhirnya Amerika mengancam akan menutup ekspor tekstil dari Indonesia kalau keran film-film Hollywood tidak dibuka bebas, dan tentu saja akhirnya Indonesia menurut.

Anehnya beberapa tahun kebelakang justru film-film bertemakan pemberontakan kepada pemerintah atau pembangkangan terhadap suatu sistem yang sangat mapan semakin populer. Dalam pengalaman saya setidaknya itu saya sadari ketika menonton film ‘Fight Club’ (1999) yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Chuck Palahniuk, kemudian diawal milenium baru semakin banyak bermunculan film yang bertema sama –penghancuran sistem – sebut saja V for Vendetta’ (2005) yang dampaknya begitu luas begitu kita melihat banyak pemuda-pemuda dari aliran anarki memakai topeng Guy Fawkes dalam demonstrasi mereka sebagai simbol anti pemerintah.

Apabila ‘Fight Club’ kental unsur anarki sindikalisnya dan ‘V for Vendetta’ malah terang-terangan menganjurkan terorisme dan pembangkangan sipil terhadap pemerintah yang totalitarian, berbeda dengan film yang belakangan ini muncul seperti trilogy The Hunger Games dan Divergent. Film-film yang disebut belakangan ini menyajikan alur cerita yang tidak terlalu frontal berhadapan dengan sistem yang ditentangnya.

Dengan tokoh utamanya seorang perempuan dan dibalut dengan kisah asmara maka film ini jika tidak dihayati dengan seksama hanya akan berakhir menjadi film remaja-dewasa tentang kisah perjuangan mencari jati diri dan cinta. Padahal pengamatan saya pribadi film trilogy The Hunger Games khususnya memiliki pesan-pesan pemberontakan dan perlawanan terhadap pemerintahan yang totalitarian serta korup. Pesan-pesan ini ada yang tampak jelas dalam adegan-adegan filmnya, melalui dialog dalam film tersebut ataupun tanda dan simbol yang muncul di film tersebut.

Banyaknya peminat film ini dari kalangan anak-anak muda, (terlihat ketika Mockingjay part 1 dirilis banyak penontonnya juga adalah anak SMA) membuat saya bertanya-tanya cemas apakah mereka juga menangkap pesan-pesan revolusi dan makna-makna yang disampaikan oleh film tersebut.

Ide-ide mengenai revolusi yang dahulu sakral dan hanya bisa dikonsumsi terbatas – karena memang dibatasi oleh otoritas berkuasa atau karena memang peminatnya memang hanya segelintir orang – kini menjadi sebuah tontonan di teater-teater yang filmnya diproduksi sendiri oleh negara yang berniat menghegemoni dunia. Begitu paradoksnya, namun kenyataan ini memang sesuai dengan sifat liberalisme pasar yang mengutamakan selera dan permintaan pasar. Saya teringat dulu ada lelucon dalam pergaulan anak-anak kiri seperti ini; “seandainya laku untuk dijual, nenek mereka sendiri pun akan dijual oleh kapitalisme”

Sebenarnya tidak ada yang salah jika ide-ide revolusioner itu masuk dalam film dan disebarluaskan ke masyarakat, kelompok-kelompok progressif pasti menyambut baik film-film sejenis ini. Namun industri film pasti memiliki logikanya sendiri, dari awal mereka hanya berniat untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari film yang mereka produksi.

Dan bukan kebetulan kenapa film bertema revolusi ini yang mereka produksi, bukan karena basis novelnya yang laku keras –karena novelnya tidak terlalu populer misalnya jika dibandingkan dengan Harry Potter – saya menduga pertimbangannya adalah karena pemberontakan sipil terhadap pemerintahnya memang sedang bersemi dimana-mana, sebut saja gelombang arab spring yang dimulai di Tunisia tahun 2011 sampai runtuhnya pemerintahan otoriter di Mesir dan Libya yang efeknya masih berlanjut hingga kini.

Kota-kota di Eropa juga sempat diguncang demonstrasi-demonstrasi dengan level yang berbeda, kota Madrid dan negara Yunani sempat dilumpuhkan oleh demonstran yang menuntut hal-hal normatif hingga di Ukraina yang demonstrasi masyarakat sipilnya berhasil melengserkan presiden mereka, peristiwa yang berdampak pada berubahnya wajah Ukraina dan pergeseran peta kekuatan politik di wilayah itu hingga saat ini.

Tidak hanya itu di Asia, Thailand dan Hongkong masih larut dalam gerakan massif rakyat menentang pemerintah dengan masing-masing tuntutan yang spesifik. Dengan landasan pasar demikian, yang euforia pada perubahan dan sikap anti pemerintah seperti ini, film seperti trilogy The Hunger Games yang menjual cerita tentang pemberontakan rakyat terhadap pemerintah pusatnya menemukan target pasar yang emosi dan psikologisnya sesuai dengan film dagangan mereka.

Dengan apik cerita revolusioner ini dikemas dengan tokoh utamanya perempuan muda yang cantik dan polos, berbeda dengan tokoh-tokoh revolusioner abad 20 yang berasal dari organisasi perjuangan, ideologis dan kharismatik dan kebanyakan laki-laki. Sehingga film ini menarik penonton dari banyak kalangan tanpa tendensi pada satu jenis kelas, ideologi dan preferensi politik bahkan umur dan jenis kelamin.

Namun Jika penonton melihat dari perspektif yang lebih jeli, maka pertautan kisah cinta segi tiga dalam film ini antara Katniss, Peeta dan Gale hanyalah bumbu pemanis belaka bagi ide besar tentang revolusi menumbangkan kekuasaaan Capitol yang represif, dekaden dan menghisap itu.

Memakai metode semantik – saya pelajari secara otodidak – banyak pesan-pesan ‘khusus’ yang dapat ditemukan dalam dialog maupun adegan dalam film ini (dalam tulisan ini saya khususkan objeknya adalah dua sequel pertama The Hunger Games dan Catching Fire).

Di sequel pertama saya mencatat secara khusus dialog yang disampaikan presiden Snow, kalimat-kalimat yang diucapkannya dalam dialog bisa jadi adalah rahasia yang selama ini dijalankan oleh penguasa di negara-negara diseluruh dunia termasuk Indonesia ;).

Presiden Snow pernah berbicara tentang hope/harapan;

“harapan lebih kuat dibandingkan ketakutan.”

“Sedikit harapan bisa efektif tetapi terlalu banyak harapan bisa berbahaya (lot of hope is dangerous).”

“Secuil harapan tak masalah selama itu bisa dikendalikan”

Pernyataannya itu disampaikannnya dalam konteks bagaimana ia selama ini mengendalikan ke 12 distrik dibawah Capitol. Dia percaya dengan memberikan harapan kepada rakyat disetiap distrik untuk dapat sekedar hidup, mereka tidak akan memberontak, tidak perlu terlalu represif. Namun harapan yang berlebihan – seperti percaya bahwa Capitol dapat dilawan – akan sangat berbahaya bagi sistem kekuasaan.

Katniss sejak awal penampilannya dalam permainan Hunger Games memang telah menarik perhatian distrik-distrik lain. Kecantikan, simpati dan keberaniannya yang polos dalam menentang sistem Capitol menginspirasi rakyat-rakyat di distriknya atau distrik lain untuk juga berontak kepada Capitol. Pembangkangan Katniss pertama kali saya catat pada sequel pertama ketika temannya Rue dari distrik 11 terbunuh, setelah ia menghias jenajah Rue, Katniss kemudian mengangkat tangan dengan mengacungkan 3 jari tengah (telunjuk, jari tengah dan jari manis) ke kamera – entah bagaimana asal muasalnya, salam seperti ini ditangkap sebagai simbol perlawanan kepada Capitol yang dikenal oleh seluruh distrik – dan langsung direspon oleh distrik 11 (distrik pertanian) dengan kerusuhan dan penghancuran lumbung-lumbung makanan hasil pertanian mereka.katniss

Ketika kerusuhan terjadi, Capitol tentu saja panik dan ingin membunuh Katniss yang dianggap memprovokasi dengan acungan 3 jarinya itu. Namun Haymitch (mentornya Katniss dan Peeta dalam games ini) mencoba merayu game director agar tidak menyingkirkan Katniss. Dialognya saya catat mengandung unsur manipulasi massa yang mirip dengan kata-kata Presiden Snow sebelumnya, walaupun Haymitch dalam hal ini menyampaikannya dalam konteks yang berbeda;

“jika kau tidak bisa menakuti mereka (distrik yang berontak), berikan mereka hal yang bisa mereka percayai”

Haymitch bermaksud bahwa menyingkirkan (membunuh) Katniss dari permainan bukanlah solusi untuk meredakan pemberontakan di distrik. Sebaliknya Capitol harus memberikan sebuah kepercayaan (cerita) baru yang menjadi harapan bagi mereka hingga mereka tidak perlu memberontak dan hanya menunggu harapan itu terwujud. Walaupun nasehat Haymitch ini jitu, tentu saja ia hanya bermaksud untuk menyelamatkan nyawa Katniss, dan nasehat ini akhirnya membawa malapetaka bagi si game director ketika Katniss dan Peeta memenangkan permainan (harapan rakyat distrik terwujud).

Beberapa orang dapat membaca pesan-pesan pembangkangan, beberapa yang lain terlena hanya dengan apa yang tampak. Kita bisa melihat fenomena seperti itu dengan mengambil salah satu adegan ketika Katniss dan Peeta berada pada akhir permainan, peraturan diubah tiba-tiba dengan sepihak oleh game director bahwa hanya satu orang yang boleh hidup.

Katniss menolak mengikuti peraturan dan mengabaikan bahwa ia harus membunuh Peeta (kekasihnya dalam permainan ini), ia malah menawarkan pada Peeta untuk bunuh diri bersama-sama dengan memakan buah berry beracun daripada harus hidup tanpa Peeta kekasihnya. Akhirnya game director menyerah dan membiarkan mereka berdua tampil sebagai pemenang.

Peristiwa tersebut terlihat sangat menyentuh, dan ini disukai oleh penonton di Capitol. Bahwa tindakan yang dilakukan Katniss benar-benar merupakan tindakan tulus tanpa pretensi apa-apa selain cinta. Namun presiden Snow menyadari hal ini sebagai potensi perlawanan yang bisa menginspirasi distrik-distrik untuk melawan dan melakukan pemberontakan yang mengarah pada revolusi, dan sistem bisa runtuh. Apa maksud Presiden Snow?

Snow sebagai pusat kendali dari sebuah sistem memiliki perspektif yang berbeda dengan orang-orang awam. Dia melihat bahwa tindakan Katniss yang ingin mati bersama dengan Peeta itu bukanlah sebuah sikap yang romantis, ia melihat tindakan itu sebagai sikap pembangkangan terhadap perintah Capitol. Dan setiap pembangkangan terhadap perintah Capitol akan mengurangi wibawa kekuasaan ditengah-tengah rakyat yang selama ini menjaga sistem tetap stabil. Jika seorang Katniss berani menentang perintah Capitol untuk menyelesaikan permainan dengan membunuh Peeta, maka semua orang juga bisa menentang dan membangkang terhadap perintah Capitol.district 11

Pada sequel kedua, praktik-praktik manipulasi kesadaran rakyat semakin gencar dilakukan oleh Capitol, bahkan kali ini menggunakan Katniss dan Peeta sebagai aktornya karena mereka adalah pemenang permainan dan disukai oleh penduduk Capitol dan rakyat di distrik-distrik. Harapan Capitol adalah Katniss dan Peeta dapat menjadi hiburan bagi rakyat sehingga melupakan masalah kehidupan mereka. (merasa seperti di Indonesia? :D)

Haymitch pernah menceramahi Katniss dan Peeta soal ini;

“kini kalian menjadi sorotan, membawa kalian keluar dan menyiarkan rincian kisah cinta kalian. Tiap tahun kehidupan pribadi kalian jadi milik mereka. Mulai sekarang, tugas kalian adalah jadi pengalih perhatian, sehingga orang lupa dengan masalah yang sesungguhnya”

Presiden Snow yang selalu khawatir terhadap potensi Katniss sebagai simbol perlawanan terhadap Capitol ingin sekali menghabisi Katniss. kita bisa mempelajari bagaimana jalan pikiran seorang tirani ketika kemghadapi orang seperti Katniss dari dialog presiden Snow ini;

“dia bukan pemimpin, dia hanya ingin menyelamatkan dirinya saja. Tapi dia sudah jadi cahaya harapan bagi pemberontakan, dan dia harus disingkirkan.”

Plutarch, game director pada sequel kedua ini menggantikan game director sebelumnya yang dieksekusi presiden Snow rupanya memiliki pemikiran yang lebih licik untuk menyingkirkan Katniss. (pada akhir sequel kedua ini ternyata Plutarch merupakan salah satu dari beberapa orang yang bersekongkol mengadakan revolusi termasuk juga Haymitch)

Plutarch kepada Presiden Snow: “aku setuju dia harus mati, tapi dengan cara yang tepat, pada waktu yang tepat. Ini soal rencana dan siasat, hanya itu yang perlu kita perhatikan. Katniss Everdeen adalah simbol, Mockingjay mereka. Mereka (rakyat di distrik) pikir dia bagian dari mereka. Kita harus tunjukkan bahwa dia bagian dari kita (Capitol). Kita tak perlu menghancurkannya, cukup citranya saja, lalu biarkan rakyat bertindak”

Snow: “tak kan berhasil selama mereka punya harapan, dan Katniss Everdeen memberi mereka harapan.

Plutarch: Semaikan rasa takut, ia akan tumbuh

Dalam sequel kedua ini juga dapat kita lihat perbedaan pendekatan yang digunakan oleh Plutarch dan game director pertama dalam menghadapi Katniss dan rakyat di distrik. Meskipun pada akhir sequel kedua ini saya baru menyadari bahwa taktik ini sengaja dibuat Plutarch untuk menaikkan eskalasi perlawanan rakyat kepada Capitol.

Plutarch memanipulasi kebencian sekaligus ketakutan presiden Snow terhadap Katniss dengan mengusulkan kebijakan menggandakan hukuman kepada distrik yang memberontak dan mengadakan razia terhadap pasar-pasar selundupan yang membuat rakyat distrik putus asa, dan menampilkan Katniss sebagai seorang yang menikmati kemewahan di Capitol. Taktik Plutarch ini merupakan sebuah penciptaan pra-kondisi untuk pecahnya sebuah revolusi meruntuhkan sistem Capitol.

Memahami pesan-pesan yang tampil dalam dialog dan adegan dua sequel film ini membuat saya menyadari ironi yang terkandung dalam film ini. Dari dialog-dialog yang saya kutip diatas, film ini menyindir tentang kebudayaan massa yang dangkal, hanya mengapresiasi apa yang tampak bukan apa yang menjadi substansi. Mengkritik media massa yang menampilkan kehidupan selebritas mulai dari kisah percintaan mereka, perkawinan mereka dan kehidupan pribadi mereka (seperti televisi kita saat ini).

Dan kurang jelas apalagi ironinya kalau kita mengandaikan bahwa distrik-distrik itu adalah provinsi-provinsi di negara kita, yang kekayaan dan rakyatnya dikuras dan dihisap untuk kepentingan dan kekayaan pemerintah pusat. Provinsi-provinsi dibuai dan terlena dengan ide-ide nasionalisme dan persatuan. Untuk memberikan harapan dan penghargaan dibuatlah kompetisi olahraga untuk memilih provinsi mana yang terbaik dalam kompetisi seperti Pekan Olah Raga Nasional atau Liga Sepak Bola dimana rakyat merasa memiliki dan bangga timnya menjadi juara nasional.

Inilah ironi yang saya tangkap, ternyata saya dan penonton-penonton film ini adalah orang yang sama dengan mereka yang bersorak-sorai di Capitol itu, adalah orang yang sama dengan mereka yang bekerja di tambang, ladang pertanian di distrik-distrik miskin yang dihisap sari kehidupannya, hanya bedanya kami berada dunia nyata sedang mereka hanya fiksi, mereka memiliki Katniss Everdeen dan Peeta Mellark kami punya Anang dan Ashanti.

Melihat kelompok LGBT dalam kerangka Gerakan Sosial Baru

Dalam kajian perkuliahannya, mahasiswa-mahasiswa Ilmu politik akan sampai pada satu topik tentang Gerakan Sosial Baru/GSB (New Social Movement), dan ketika mencapai topik ini, sebagian besar mahasiswa-mahasiswa tersebut lebih dahulu telah memahami apa itu gerakan sosial.

GSB pada awalnya adalah sebuah gejala utama dalam sejarah barat modern, namun sekaligus ia merupakan topik penting dalam studi sosial dan politik kontemporer. Maka akan bijaksana apabila GSB dikaji dan dipahami kebaruan gerakannya dalam konteks membuka perdebatan, bukan hanya sekedar refleksi tentang tahapan perkembangan masyarakat barat.

Istilah ‘gerakan sosial baru’ mengacu pada sekelompok gerakan sosial kontemporer (atau mutakhir) yang telah berperan signifikan dan umumnya progresif bagi sebagian besar pengkaji di masyarakat Barat sejak 1960-an. [1]

Identifikasi utama mengapa gelombang aktivisme mereka disebut ‘baru’ karena mengacu pada keprihatinan gelombang aktivisme tersebut pada isu, bukannya pada kelas seperti gerakan sosial terdahulu. Biasanya kategori aktivisme baru itu mencakup gerakan perdamaian dan antinuklir, gerakan lingkungan, gerakan ekologis atau gerakan hijau, gerakan pembebasan lesbian dan gay, gerakan feminis gelombang kedua, gerakan anti rasis, dan gerakan gaya hidup alternatif.

Akhir dari Ideologi

Dengan kata lain, GSB perlahan telah meninggalkan karakter analisa sosial marxisme yang determinan ekonomis, walaupun dalam beberapa kenyataan tidak meninggalkannya secara keseluruhan. Karakter baru ini muncul didukung oleh fenomena “ledakan ekonomi panjang’ dan ‘konsensus demokratis sosial’ pasca-perang Dunia II, serupa dengan periode stabilitas politik, bahkan apati, yang ditandai dengan diumumkannya ‘akhir dari ideologi’ oleh kalangan akademis. (Lipset, 1960:403-17)

Konflik antar modal dan kerja telah diredakan oleh struktur pengompromi kelas pada negara kesejahteraan, dengan kebijakan seperti pajak progresif, penyediaan jaminan sosial dan bantuan kesejahteraan, dan konsultasi ‘neokorporatis’ antara pemberi pekerjaan, serikat pekerja, dan pemerintah (Berger, 1981;Offe, 1984).

Sehingga kita sampai pada sebuah hipotesis bahwa gejala Gerakan Sosial Baru, dapat muncul pada tatanan masyarakat dimana kapitalisme telah unggul menjadi satu-satunya pemenang. Herbert Marcuse – pengkritik kapitalisme liberal dari sayap kiri – menggambarkan tatanan sosial yang berkuasa saat itu secara sinis sebagai ‘masyarakat berdimensi satu’ yang sudah tumbuh melampaui pertentangan antara kapitalis dan pekerja.

Berdasarkan teori dan ulasan yang didasarkan pada perkembangan masyarakat barat diatas, perkembangan gerakan sosial baru di Indonesia akan cukup menarik untuk diulas. Tanpa menafikan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang berlaku di Indonesia, jika kita melakukan pembalikan logika dengan apa yang terjadi di masyarakat barat, kemunculan gerakan sosial baru adalah ciri-ciri tatanan masyarakat Indonesia yang perlahan mulai meninggalkan antagonisme antar kelas.

Meskipun saya pesimis pudarnya pertentangan antar kelas ini memiliki alasan yang sama ketika terjadi pada masyarakat barat. Boleh jadi pendapatan masyarakat kita memang meningkat dan gerakan buruh semakin moderat, namun kesenjangan antara yang miskin dan kaya masih terpaut jauh. Dan sebagai negara pos kolonial yang sedang berkembang, pola masyarakat Indonesia sering kali mengadaptasi perkembangan nilai dan tatanan sosial dari masyarakat barat tanpa mengikuti tahapan yang dilalui masyarakat barat tersebut. Dan pola itu saya curigai berlaku juga pada gerakan sosial baru di Indonesia. Dengan hebatnya digitalisasi informasi seperti sekarang ini, tak ada batasan untuk transfer ide antar masyarakat dunia. Sehingga suatu komunitas yang berkembang di sebuah negara post industrial dapat saja memiliki ‘cabang’ di negara-negara yang kapitalismenya masih menghisap dengan vulgar.

LGBT Indonesia

Saya beruntung memiliki satu pengalaman yang menarik bisa berinteraksi dengan salah satu jenis gerakan sosial baru ini, yaitu ketika sedang mengikuti kegiatan seorang anggota DPR RI sebagai mahasiswa program internship dari kampus. KH. Maman Imanulhaq anggota DPR RI dari fraksi PKB (tempat saya internship) pada waktu itu kedatangan rombongan tamu sekitar 50 –an orang yang mengusung isu LGBTIQ[2] (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, and Queer), mereka ingin berdialog dan menyampaikan aspirasi mereka kepada anggota dewan yang mereka anggap dapat dipercaya dan mengerti permasalahan yang mereka hadapi.

Kedatangan mereka rupanya dalam rangka Peringatan Hari Mengenang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Transgender se-Dunia/ International Transgender Day of Remembrance yang jatuh pada tanggal 20 November setiap tahunnya. Pertemuan kelompok LGBT yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini dengan KH. Maman ternyata bukan kebetulan, beberapa personal mereka telah mengenal dan sering berdialog dengan KH. Maman sebelum menjadi anggota DPR RI. KH. Maman atau akrab disapa Kang Maman ini memang sejak lama telah aktif membela kaum-kaum marjinal dan mendukung pluralisme dan keberagaman di Indonesia.

Saya akui, mengikuti dialog dengan kaum LGBT ini adalah pengalaman baru dan ini yang pertama bagi saya. Saya mendapati perspektif saya – sebelum dan sesudah mengikuti audiensi – jauh berubah dalam memandang isu tersebut. Seperti yang dikatakan teoritisi yang mengulas GSB, mereka berbeda dengan ‘politik lama’ yang didominasi isu kelas dan isu distribusional. Meski masih menyuarakan tuntutan material (kesempatan kerja dan persamaan gaji, keadilan sosial, perdagangan yang jujur, dll)

Dalam audiensi yang dilakukan dalam ruangan rapat Fraksi PKB di Gedung Nusantara I DPR RI tersebut, aktivis-aktivis LGBT fasih menyuarakan keadilan konstitusional mereka sebagai warga negara, seperti mempertanyakan bagaimana negara menjamin keamanan warga negara dan Hak Asasi manusia tanpa membedakan orientasi sexual.

Mereka mempertanyakan hak konstitusional tersebut karena dalam kehidupan mereka sering medapati kesulitan ketika berhadapan dengan administrasi birokrasi karena alasan transgender. Bila saya diperkenankan untuk menyederhanakan inti dari tuntutan kawan-kawan LGBT ini adalah keinginan mereka untuk diakui oleh negara, pengakuan oleh negara ini dalam artian adanya peraturan hukum yang tetap untuk menjamin dan melindungi keberadaan dan perbedaan mereka. Mengutip salah satu pernyataan personal mereka;Jpeg

“kami adalah minoritas yang tidak diakui dalam pembuatan kebijakan negara (not recognizing)”.

Meskipun kedatangan kelompok LGBT ini untuk beraudiensi dengan anggota DPR RI merupakan penyimpangan dari karakter GSB sebenarnya, namun apa yang mereka lakukan telah tepat bila melihat kondisi faktual sosial, politik dan budaya di Indonesia. Seperti yang saya katakan sebelumnya tahapan kemunculan GSB di Indonesia tentunya tidak mengikuti tahapan serupa yang dialami masyarakat barat. Dengan itu cara mereka berjuang untuk eksistensi dan mengaktualisasikan diri dan komunitas juga berbeda.

Aktivis GSB umumnya berusia muda, berpendidikan universitas atau akademi, dari latar belakang kelas menengah atau kelas ‘menengah baru’ dan tidak patriarkhi. Maka dari itu kebaruan GSB umumnya berasal dari tantangannya terhadap keadaan teori dan ideologi yang mapan di masa kemunculannya. Gerakan ini menantang stabilitas sekaligus menantang legitimasi masyarakat-masyarakat demokrasi liberal. Organisasi mereka tidak bersifat elektoral birokratis tetapi lebih cair, partisipatif bahkan anarkistis. Mereka tidak menggunakan saluran konvensional seperti pemungutan suara (pemilu), kegiatan lobi (Lobbying), mencalonkan diri tetapi menggunakan protes tanpa kekerasan (civil disobedience), aksi mogok atau boikot (direct action) yang dilakukan berulang-ulang.

Perbedaan cara perjuangan ini dapat kita lihat sebagai taktik kelompok LGBT, yang masih terlalu ringkih untuk bertahan dengan kekuatan mereka sendiri dalam kondisi sosial, politik dan budaya di Indonesia sekarang ini. Menggunakan kesolidan kelompok dan kuantitas mereka untuk mendukung partai tertentu – yang mau mengusung isu mereka – dalam sebuah kontestasi elektoral adalah strategi politik yang paling masuk akal saat ini.

[1] David West, Gerakan-gerakan Sosial Baru, dalam Gerald F. Gaus & Chandran Kukathas Hand Book Teori Politik,

[2] Masyarakat Indonesia mungkin lebih kenal dengan singkatan LGBT saja tanpa tambahan IQ

Depok, 10 Desember 2014

Semangat Konservatif di Partai-Partai Politik Kita

Baru saja kita mendapat kabar bahwa Megawati akan diusung kembali secara aklamasi oleh DPD-DPD PDIP menjadi ketua umum untuk periode 2015-2020 dalam rakernas PDIP beberapa waktu lalu. Hal yang serupa terjadi pada Partai Gerindra dimana Prabowo di daulat menjadi ketua umum partai dalam KLB partai Gerindra, merangkap ketua dewan pembina yang lebih dahulu dijabatnya. Megawati yang sekarang berumur 67 tahun telah menjabat ketua umum sejak PDI Perjuangan dideklarasikan tahun 1996. Sedangkan saat ini Prabowo menginjak umur 63 tahun. Kedua hasil keputusan partai tersebut tidaklah bisa kita lihat sebagai kemajuan dalam perpolitikan kita.

Apa yang tidak kita sadari dari kebanyakan partai politik di Indonesia adalah berlakunya oligarki dalam tubuh partai kita. Sebagai salah satu pilar demokrasi ternyata partai politik kita masih mengidap penyakit oligarki dalam tubuhnya. Partai politik dikuasai dan dikendalikan hanya oleh beberapa orang saja tanpa melibatkan stakeholder yang lebih luas.

Indikasi apa yang menandai penyakit oligarki di tubuh partai politik ini? Sebelumnya perlu dipahami bersama bahwa partai politik adalah alat demokrasi, dan demokrasi modern adalah anti-thesis dari model kekuasaan absolut di tangan satu orang atau ditangan beberapa dan sekelompok orang. Semangat demokrasi dilandasi oleh keinginan menghancurkan tembok sekat yang memisahkan bangsawan dengan rakyat biasa, saudagar dengan pekerja kasar dan pemisahan strata sosial lainnya. Itulah kenapa slogan revolusi perancis sebagai titik bangkitnya demokrasi modern berbunyi Liberte, Egalite, Fraternite (Persamaan, Kebebasan, dan Persaudaraan).

Ironisnya dalam perjalanan perkembangan demokrasi khususnya di Indonesia — yang baru mengalami gelombang demokrasi ketiga setelah Perang Dunia II – praktik demokrasi masih jauh dari semangat awalnya ketika ia lahir, dalam kasus ini kita akan melihat kedalam tubuh partai-partai politik di Indonesia dewasa ini.

Praktik pelestarian kekuasaan melalui hubungan pertalian darah terjadi secara terbuka pada partai politik di Indonesia. Puan Maharani anak Megawati merupakan salah satu Ketua DPP PDI Perjuangan. Di partai lain, Eddy Baskoro (Ibas) menjabat sekretaris jendral partai Demokrat, dimana ayahnya SBY mengambil alih jabatan Ketua Umum setelah Anas Urbaningrum tersangkut tindak pidana korupsi. Di partai baru Nasdem ketua umum Surya Paloh mendaulat anaknya Prananda Paloh yang menjabat wakil ketua di organisasi sayap mahasiswa nasdem Liga Mahasiswa Nasdem menjadi caleg nomor 1 dari daerah pemilihan 1 Sumatera Utara, dan berhasil duduk di kursi dewan untuk periode 2014-2019 ini.

Perilaku seperti itu tidak hanya dilakukan oleh ketua-ketua umum partai saja, tetapi juga oleh mereka yang merupakan pejabat-pejabat partai yang memiliki uang dan pengaruh di partai mereka. Sebagai contoh di Golkar, anak dari Agung Laksono mendapatkan keistimewaan dalam karir di partai walaupun pengalaman dan kontribusinya mungkin masih kalah dengan kader lain yang tidak memiliki ‘darah biru’ atau sokongan dana yang kuat dari orang tua mereka yang hanya orang biasa, dan banyak contoh lainnya.

Fenomena ini dapat dibaca sebagai pembusukan regenerasi elit di tubuh partai-partai politik, karena sirkulasi elit berjalan hanya pada lingkungan keluarga atau kelompok yang itu-itu saja. Mereka yang tidak termasuk keluarga atau kelompok elit dari awal akan sangat bersusah-payah untuk merangkak naik bergabung di level elit partai. Ternyata para penguasa partai politik telah menjadikan partai menjadi milik keluarga dan kroni-kroninya, sebuah sikap yang dahulu dihinakan kepada rezim Orde Baru Soeharto, ironisnya sekarang dipraktikkan oleh mereka yang dahulu menghinanya. Kini partai politik mereka terjemahkan menjadi alat keluarga untuk meraih kekuasaan di negara ini.

Ilusi Partai Politik

Sungguh paradoks yang tampak pada dunia politik kita, ketika kita mengagung-agungkan demokrasi dengan semangat persamaan dan kesetaraan, namun partai-partai politik yang ada sama sekali tidak menerapkan demokrasi dalam tubuhnya. Mungkin akan muncul pertanyaan, emang ada masalah? Toh rakyat tidak protes dan menerima saja selama ini? Disinilah terbukti bahwa partai politik saat ini hanya menjadikan rakyat sebagai objek yang dihitung dalam pemilu, bukan sebagai subjek yang diajak untuk ikut membangun negara melalui program-programnya.

Masyarakat kita yang masih mudah terpesona dengan ketokohan, emosional dengan slogan, kesamaan agama, suku dan kedekatan kekerabatan, serta silau dengan lembaran uang 50 ribuan ini, dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh partai politik untuk meraup dukungan suara. Dan bukan dibangun kesadarannya untuk berpolitik secara rasional, ingat salah satu fungsi partai politik yang sering dilupakan adalah pendidikan politik bagi masyarakat.

Memang benar bahwa alat untuk mencapai kekuasaan secara konstitusional dalam sebuah negara demokratis adalah melalui partai politik. Berdasarkan premis tersebut, banyak aktivis muda pasca reformasi dengan bermodalkan idealisme dan modal sosial mereka bergabung dengan partai politik yang sudah ada, berharap mampu mewarnai dan mengaktualisasikan ide mereka di parpol-parpol yang mereka masuki.

Namun setelah beberapa periode pemilu ternyata aktivis yang dulu muda ini tidak dapat berbuat banyak, mereka berada dipinggir arus, tidak ikut masuk dalam perputaran sirkulasi elit di partai-partai mereka. Sebagian dari mereka yang gelisah ini dapat kita lihat saat beberapa kader muda Golkar yang ‘menyeberang’ waktu pilpres kemarin.

Kebanyakan partai-partai politik kita menampilkan ilusi sebagai partai politik terbuka dan demokratis, namun pada kenyataannya tidak ada rekruitmen yang terbuka dan penilaian yang objektif terhadap kader yang potensial dan berprestasi. Perpindahan strata keatas dalam kepengurusan didasarkan pada kemampuan uang dan kedekatan hubungan darah dengan penguasa partai. Ini menjadikan partai-partai politik kita tidak hanya oligarkis tetapi juga feudalis.

Bagaimanapun keadaan diatas bukanlah tidak mungkin untuk diubah dan diperbaiki, dengan syarat generasi muda kita tidak mudah puas dan mengikuti pola yang dimainkan oleh orang-orang tua yang sudah mapan di partai-partai mereka. Kecenderungan mereka yang telah mapan adalah berusaha sekuat tenaga melestarikan kekuasaan mereka selama mungkin yang mereka bisa.

Maka generasi muda tinggalkanlah partai-partai politik dengan ciri seperti diatas, partai politik tanpa kader muda adalah ibarat seorang tua dengan tulang punggung yang keropos, hanya tinggal menunggu waktu untuk roboh. Janganlah silau dengan kekuasaan, mungkin partai tersebut masih berkuasa saat ini namun pasti akan segera menemui akhir kekuasaannya. Kader muda yang masih menopang partai-partai tua sejenis ini hanya akan memperlambat tumbuhnya tunas-tunas partai baru yang akan tumbuh lebih kuat dan lebih siap mengikuti jaman demokrasi baru.

Partai politik adalah pionir dalam demokrasi, sebagai pionir maka sudah seharusnya ia menjadi contoh penerapan demokrasi di setiap inchi tubuhnya, pada perilakunya, serta dalam kebijakan-kebijakannya. Partai politik selayaknya dapat merangkul dan menampung siapa saja yang sepaham secara ideologis, satu dalam visi dan misi untuk bergabung dan menjadikan partai alat perjuangan politik, tanpa melihat latar belakang ekonomi atau keluarga.

Begitupun mengenai rekruitmen calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, kader terbaik dan berprestasi haruslah diutamakan, didukung secara moril dan finansial oleh partai. Dengan demikian kader merasa dihargai dan termotivasi untuk berprestasi, kemudian terjadi persaingan sehat didalam tubuh partai. Cara-cara yang dilakukan partai-partai sekarang yang ‘menjual perahu’ dalam setiap pilkada hanya akan memberikan keuntungan finansial sesaat dan hanya untuk segelintir elit partai.

Sebagai solusi kita dapat mencontoh struktur partai-partai politik modern dimana telah dilakukan pemisahan antara politisi partai dengan pengurus partai. Artinya pengurus partai adalah mereka yang bekerja mengurusi administrasi dan menjalan roda kepengurusan partai secara profesional, sedangkan politisi partai adalah kader partai yang menjalankan fungsinya sebagai politisi, merepresentasikan kepentingan konstituen, meraih suara pendukung dan menjalankan tugas-tugas politik atas nama partai.

Pemisahan ini akan menghilangkan tumpang tindih kekuasaan dan kebijakan yang terjadi selama ini pada partai-partai di Indonesia, dimana pengurus partai adalah sekaligus politisi partai. Keadaan yang seperti itu mengakibatkan tidak efektifnya kinerja partai dan rentan terjadi korupsi di partai karena desakan kepentingan pribadi si kader.

Kemunculan partai baru yang profesional dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi didalam tubuhnya akan sangat kita butuhkan untuk menggantikan partai-partai politik yang mengidap penyakit oligarki dan kronisme akut saat ini. Dan bagi partai kader yang telah menerapkan mekanisme merit sistem pada sistem pengkaderannya, semoga mampu bertahan dan konsisten menjalankan sistem meritokrasi di partainya ditengah iklim politik dimana demokrasi berarti perang kekuatan modal secara brutal.

Depok, 21 September 2014