POLITIK IDENTITAS DI PAKPAK BHARAT
Salah satu dampak yang tidak terduga dari demokratisasi politik ditingkat lokal adalah semakin kuatnya persaingan identitas dalam kegiatan politik terutama dalam pilkada dan pemekaran daerah. Mobilisasi jaringan kekerabatan, etnis dan keagamaan kemudian diciptakan untuk memenangkan persaingan politik tersebut. Setiap pemilihan baik itu gubernur, bupati maupun kepala desa mempertimbangkan keterwakilan etnis dan agama tertentu, sehingga power sharing antara kumpulan etnis dominan selalu mewarnai dalam setiap proses pemilihan kepemimpinan politik.[1]
Sebagai
koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan uniformisasi pemerintah
pusat dengan keluarnya kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah yang dalam
visi otonomi daerah yakni dibidang politik, ekonomi, sosial budaya. Untuk
bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi, maka harus dipahami
sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala daerah yang
dipilih secara demokratis, memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan yang
responsif terhadap kepentingan masyarakat dan memelihara suatu mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada azas pertanggungjawaban publik.[2]
Ketidakpuasan
daerah terhadap pusat menjadi wacana terbuka, kemarahan masyarakat kepada apa
yang terlihat sebagai dominasi pusat dan perlakuan tidak adil juga semakin
meluas dalam gelombang krisis ekonomi tersebut. Desentralisasi politik idealnya
untuk menciptakan pengelolaan fiskal, kelembagaan negara, instrumen hukum, dan
pengawasan wilayah yang lebih memperhatikan keseimbangan politik antara pusat
dan daerah. Namun konsep ini tidak serta-merta menjadi solusi bagi permasalahan
yang berakar pada keanekaragaman sosial, budaya, dan agama. Terjadinya konflik
etnis pada beberapa daerah seperti di Kalimantan, Maluku, Sulawesi
memperlihatkan desentralisasi belumlah seideal cita-citanya. Meskipun
desentralisasi adalah pilihan kebijakan bagi Indonesia pasca otoritarianisme
Orde Baru, tetapi pilihan itu bukanlah tanpa persoalan, terutama jika kita
lebih jauh menyoroti dinamika sosial dan budaya, tidak sekedar terbatas pada
aspek perubahan kelembagaan negara.[3]
Salah
satu kebijakan yang tidak dapat dilepaskan dari desentralisasi dan berkaitan dengan
lahirnya sentimen identitas adalah kebijakan pemekaran. Pemekaran adalah
istilah Indonesia untuk menyebut sub-divisi
distrik-distrik dan provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit
administratif baru.[4]
Pemekaran adalah aspek yang paling mencolok dan tidak terencana terkait proses
desentralisasi di Indonesia, karena para pembuat kebijakan desentralisasi di
Indonesia tidak bermaksud memicu terjadinya pemekaran yang tergesa-gesa. Dari
sekian banyak literatur tentang desentralisasi diseluruh dunia mengenai
transfer kekuasaan dari tingkat administratif ke yang lainnya, tidak ada yang
menyebutkan perlunya membuat kembali batas-batas baru wilayah administratif itu
sendiri.
Kebebasan
politik dan kesempatan yang terbuka oleh desentralisasi ini tidak disia-siakan
oleh beberapa daerah yang selama ini ingin membentuk daerah pemekaran baru dan
terlepas dari induknya. Pakpak Bharat adalah satu-satunya yang mekar dari kabupaten induknya
Dairi pada tahun 2003. Berbeda dengan pemekaran pada tingkat provinsi yang
merupakan gabungan dari beberapa kabupaten/kota, pemekaran pada tingkat
kabupaten sangat dekat kecenderungannya pada upaya memelihara eksistensi etnis
dan teritorial.
Pemekaran
Kabupaten Pakpak Bharat berdasarkan Undang-Undang RI No.9 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Pakpak Bharat dengan wilayah yang ditetapkan terdiri atas 3
kecamatan, yaitu Kecamatan Sitelu Tali Urang Jehe, Kecamatan Kerajaan, dan
Kecamatan Salak. Peresmian Kabupaten Pakpak Bharat sendiri beserta pelantikan
Pejabat Bupati Pakpak Bharat Tigor Solin dilaksanakan pada 28 Juli 2003 di
Medan oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.
Keinginan Pakpak
Bharat membuat DOB sendiri cenderung didorong oleh motif homogenitas etnis. Asumsi
ini diperkuat dengan data demografi kependudukan Kabupaten Dairi sebelum pemekaran
terjadi. Kabupaten Dairi yang penduduk aslinya merupakan etnis Pakpak mengalami
peminggiran dalam bidang politik, sosial dan budaya di tanahnya sendiri akibat
kalah dalam hal kuantitas dengan etnis Toba sebagai pendatang yang bermigrasi dari
Tapanuli Utara.
Tabel 1.2 Persentase Penduduk Menurut etnis di Kabupaten Dairi Tahun 2005
No.
|
Etnis
|
Persentase (%)
|
1
|
Karo
|
15,11
|
2
|
Batak Toba
|
30,15
|
3
|
Pakpak
|
18,42
|
4
|
Simalungun
|
9,53
|
5
|
Mandailing
|
9,10
|
6
|
Jawa
|
8,22
|
7
|
Aceh
|
6,09
|
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi, Kabupaten Dairi dalam Angka. Tahun 2005
Meskipun demikian motivasi lain–seperti
isu efisiensi dan efektivitas pemerintahan, pemerataan pembangunan,
kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan elit lokal tetap relevan dalam
tuntutan pemekaran Kabupaten
Dairi ini.
Oleh karena itu
diakhir tulisan ini berusaha melontarkan alasan Pemekaran Pakpak Bharat juga
merupakan satu kasus dari sekian banyak pemekaran dalam arus bigbang decentralization yang terjadi di
Indonesia. Namun faktor-faktor dan kondisi yang berlaku pada daerah yang
menuntut pemekaran tidaklah seragam. Secara umum pemekaran Pakpak Bharat
terlihat bermotif homogenitas identitas, tuntutan etnis asli untuk dapat
memiliki pemerintahan dan wilayah yang murni dari etnis Pakpak sendiri.
Namun jika kita
berhenti pada asumsi itu maka kita akan jatuh pada kesimpulan ahistoris dan
mendistorsi politik identitas yang berlaku di daerah tersebut. Tulisan ini juga
meninjau lebih jauh proses politik, sosial dan kultural yang dibentuk oleh
dinamika desentralisasi dan cara masyarakat Pakpak Bharat terlibat dalam
dinamika itu melalui penafsiran
kembali lembaga, instrumen hukum dan teritorial sehingga menghasilkan DOB
Kabupaten Pakpak Bharat.
Kebangkitan Etnis Pakpak
Upaya
membangkitkan dan memperkuat simbol-simbol identitas etnis Pakpak ini ternyata
bukan persoalan mudah, karena kesadaran identitas etnis Pakpak pada tahun
1950-an itu sangat lemah bahkan memudar. Banyaknya orang Pakpak yang mengganti
marganya ke marga Batak Toba ketika mencari selamat saat adanya ancaman dan
teror ketika pergolakan politik terjadi, semakin mengaburkan batasan etnis
antara orang Pakpak dengan orang Batak Toba.[5] Ditambah lagi
karena mengalami diskriminasi politik dan budaya, orang Pakpak menjadi
malu-malu mempraktikkan budayanya sendiri, tetapi sebaliknya secara terbuka
memakai bahasa dan budaya Batak Toba.[6]
Seperti yang
sudah disampaikan sebelumnya, harapan orang Pakpak untuk memiliki kabupaten
sendiri dengan nama Kabupaten Pakpak kandas setelah Pemerintah Provinsi memberi
nama kabupaten baru itu Kabupaten Dairi. Begitu juga dengan harapan kabupaten itu
dipimpin oleh putra Pakpak, pupus setelah pemerintah provinsi menetapkan orang
Batak Toba menjadi Bupati Dairi. Meski singkat, pada masa pemerintahannya Jauli
Manik menggunakan kekuasaannya untuk merekonstruksi identitas dan
mengonsolidasikan kesadaran etnik orang Pakpak.
Secara politik
dan ekonomi keberadaan etnik Pakpak kembali melemah dengan pembentukan
Kabupaten Dairi pada tahun 1964 tersebut. Kabupaten Dairi yang dipimpin oleh
orang Batak Toba membuat kesadaran etnis orang Pakpak yang sedang terkonsolidasi kembali buyar karena mereka
tidak memiliki patron politik yang dapat memproteksi kepentingan dan aspirasi
penduduk asli. Sebaliknya etnis Batak Toba kembali mendominasi terutama
dibidang politik dan ekonomi.
Pada tahun 1965
– dua tahun setelah berdirinya Kabupaten Dairi – meletus peristiwa Gerakan 30
September. Di Dairi sendiri meskipun terdapat persaingan antar partai politik terkait
gerakan 30 September, namun tidak pernah terjadi konflik fisik antar pendukung
partai. Justru ketika komunisme berhasil dihancurkan dan Orde Baru naik
kepuncak kekuasaan terjadilah ekses negatif bagi orang Pakpak. Sikap politik
Orde Baru yang memberangus semua hal yang terkait dengan komunisme dan PKI
menjalar kesemua aspek dan wilayah termasuk ke Kabupaten Dairi dan membuat
orang Pakpak ketakutan. Elit lokal Dairi yang dikuasai oleh orang Batak Toba
memanfaatkan isu komunis ini sebagai instrumen politik untuk menghabisi
siapapun yang bermaksud mendisruspi kekuasaan lokal, terutama orang Pakpak yang
ingin menuntut pembagian kekuasaan.[7] Akibatnya orang
Pakpak takut menyuarakan kepentingan etnisnya sebagai penduduk asli karena
khawatir dituduh komunis. Dengan demikian masa Orde Baru tidak memberikan
perbedaan terhadap posisi orang Pakpak, mereka tetap terpinggirkan dari akses
ke sumber daya lokal.
Pada 1970-an
identitas etnis Pakpak jatuh terpuruk bahkan ada kecemasan ditengah orang
Pakpak akan punahnya budaya dan tradisi Pakpak. Kecemasan ini adalah perasaan
putus asa karena tidak adanya representasi kelompok etnik yang memegang jabatan
strategis di pemerintahan. Menyadari kondisi ditengah-tengah orang Pakpak
seperti itu, para pemuka masyarakat menyelenggarakan seminar tentang
adat-istiadat Pakpak. Maksud dan tujuan seminar ini adalah menggali dan
mengembangkan adat-istiadat serta merumuskan persamaan pendapat antara pemuka
adat pemikir lokal tentang adat-istiadat Pakpak.
Seiring waktu
jumlah orang Pakpak yang melanjutkan studi ke sekolah menengah di Sidikalang,
Kabanjahe dan Medan semakin banyak,
meskipun masih sedikit yang meneruskan ke perguruan tinggi. Setelah
menyelesaikan studi mereka kembali ke Sidikalang, mereka inilah yang menjadi
kelompok terdidik masyarakat Pakpak, berkecimpung ditengah masyarakat sebagai
wiraswastawan, pedagang dan pegawai pemerintahan.
Dalam pandangan
kelompok terdidik Pakpak, pembangunan yang dijalankan selama ini terlihat
sangat timpang. Di kecamatan-kecamatan yang penduduknya mayoritas Pakpak
pembangunan berjalan lamban, sedangkan di wilayah yang penduduknya mayoritas
Batak Toba pembangunan fisik berlangsung cepat dan dirasakan langsung oleh
masyarakat setempat. Ketimpangan ini dilihat oleh kelompok terdidik Pakpak sebagai
pengingkaran elite lokal untuk memajukan orang Pakpak. Ketimpangan pembangunan
inilah yang melanggengkan kemiskinan, ketertinggalan, dan keterbelakangan etnis
Pakpak. Mereka mulai menggugat secara kritis akar keterbelakangan dan
ketimpangan pembangunan antara wilayah Simsim dan daerah lainnya. Mereka
menganggap ketimpangan pembangunan ini sengaja diciptakan agar etnis Pakpak
tetap tertinggal dan terus menerus dapat dikuasai orang Batak Toba.
Ketika hubungan
kekuasaan lokal di Kabupaten Dairi sedang mesra-mesranya dengan kelompok etnis
Pakpak, pada saat yang sama pemerintah pusat memperkenalkan otonomi daerah pada
tahun 2001. Dimata orang Pakpak otonomi daerah ini dianggap sebagai peluang
memperkuat dan memperjuangkan kepentingan kelompok etniknya. Orang-orang Pakpak
memanfaatkan otonomi daerah dengan memaksimalkan diskusi-diskusi tentang
demokrasi dan keterbelakangan kelompok etnisnya di tanah kelahirannya sendiri.
Salah satu
wacana yang berkembang dalam diskusi-diskusi tersebut adalah tentang pemekaran Kabupaten
Dairi. Soal penguasaan sumber daya alam
juga
menjadi hangat ditengah-tengah masyarakat. Jika sebelum tahun 1999, orang Pakpak merasa
takut membicarakan pengelolaan sumber daya alam dan penduduk asli sebagai
pemilik tanah ulayat, dimasa otonomi daerah pembicaraan tentang tanah adat
semakin meluas. Klaim orang Pakpak sebagai pemilik tanah ulayat terus meninggi
dan dinyatakan secara terbuka di
wilayah-wilayah
yang terdapat orang Pakpaknya. Pengakuan sebagai pemilik tanah ulayat ini
menambah tenaga baru dalam penguatan kesadaran etnis Pakpak. Tanah ulayat yang
telah berpindah tangan tersebut dipertanyakan dan digugat kembali di masa
otonomi daerah. Pernyataan-pernyataan yang mengangkat persoalan tanah ulayat
telah memompa semangat kesukuan orang Pakpak sekaligus mulai menunjukkan sikap
ketidaksenangan terhadap kelompok-kelompok etnik yang menguasai tanah
ulayatnya.
Isu pemekaran
daerah sangat berpengaruh pada identitas, apalagi pemekaran yang terjadi atas
dasar perpecahan identitas seperti di Dairi. Ada potensi perubahan hubungan mayoritas-minoritas
di kedua daerah, dimana
daerah baru mereka yang minoritas akan menemukan diri mereka menjadi mayoritas
baru. Pada saat yang sama,
mereka yang selama ini bagian dari mayoritas tiba-tiba menemukan diri mereka menjadi
minoritas.
Masyarakat
beretnis Batak Toba merasakan ancaman dari bangkitnya kesadaran etnis Pakpak
ini, muncul kabar dimana-mana kalau orang Batak Toba akan diusir dari tanah Pakpak. Akibatnya
orang Batak Toba mengkonsolidasikan diri untuk memberikan perlawanan jika benar
mereka akan diusir. Ketegangan antara dua etnis ini dirasakan sangat kuat di
Sidikalang pada tahun 2001, suasana saling curiga dan saling berjaga-jaga antar
mereka sebagai antisipasi kalau terjadi penyerangan.
Walaupun terjadi
ketegangan etnis, tetapi kedua kelompok etnis ini masing-masing dapat menahan
diri sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Ketegangan hubungan etnis ini
perlahan-lahan mengendur karena tidak ada yang mendahului penyerangan ke
kelompok lain, akhirnya ketegangan reda dengan sendirinya. Namun redanya
ketegangan antar dua kelompok etnis ini,
bukan berarti konflik terselubung antara etnis Pakpak dan Batak Toba selesai
dengan sendirinya. Ketegangan etnik terselubung antara kedua kelompok etnis ini
terus berlangsung dan bersifat laten.
4.2. Eksistensi Etnis
Pada masa awal
otonomi daerah ini orang Pakpak juga memanfaatkan situasi untuk melakukan
konsolidasi kelompok etnisnya. Pemuka masyarakat, IKPPI dan kaum terdidik lokal
yang selama ini merumuskan dan memperkuat identitas etnis Pakpak kini telah
muncul sebagai elit Pakpak.[8] Kesadaran elit etnis Pakpak ini tentunya sudah tinggi,
merekalah yang kemudian memanfaatkan sentimen kesukuan untuk tujuan politik dan
ekonomi. Pemanfaatan dan pemanipulasian sentimen etnis tersebut dapat terlihat
dari keinginan kuat elit etnis Pakpak mendapatkan kekuasaan diwilayahnya
sendiri.
Manipulasi
terhadap sentimen etnis tercermin dari pernyataan-pernyataan yang dikampanyekan
elit Pakpak di masa otonomi daerah, salah satunya adalah pentingnya menjadi
orang Pakpak, menjadi penduduk asli sekaligus pemilik tanah ulayat di tanah kelahirannya
sendiri. Elit Pakpak menyadari bahwa tanpa memanipulasi sentimen kelompok
etniknya, orang Pakpak tidak akan pernah bangkit menjadi amunisi politik untuk
bernegosiasi dengan kekuasaan dan birokrasi yang mayoritas dikuasai orang Batak
Toba.
Dalam bayangan
mereka bila ada satu kabupaten baru mekar dari Dairi yang penduduknya mayoritas
orang Pakpak, maka harkat martabat orang Pakpak akan terangkat dalam semua aspek,
baik ekonomi, politik dan aspek sosial budaya. Jika itu terjadi maka semua
pejabat mulai dari bupati, ketua dan anggota DPRD serta pejabat-pejabat di bawahnya adalah
orang Pakpak. Hal yang sama juga akan terjadi pada penguasaan sumber daya alam dan budaya
Pakpak akan lebih dikenal di
masyarakat
umum.[9]
Dukungan moral
dan sosial dari lima suak
Pakpak ini dijadikan modal politik oleh elit etnik
Pakpak. Elit etnis
Pakpak semakin kuat mendesak percepatan pembentukan kabupaten baru dengan cara
mobilisasi massa dan memanipulasi sentimen etnik untuk memompa soliditas dan
solidaritas orang Pakpak. Manipulasi sentimen etnisitas tersebut dijalankan
melalui isu penduduk asli, pemilik tanah ulayat, menjadi tuan rumah di tanah
kelahiran sendiri dan marginalisasi politik dan ekonomi. Isu-isu tersebut
menjadi justifikasi pembentukan kabupaten baru. Dengan semakin meningkatnya
kesadaran etnis Pakpak, elit semakin gencar memobilisasi massa dengan menggelar
demonstrasi-demonstrasi untuk mendapat dukungan kekuasaan lokal.
Kesimpulan
Etnis Pakpak
telah menjadi masyarakat minoritas yang termarjinalisasi secara sistematis;
marjinal dari sistem sosial
kultural, politik dan geografis. Hal itu menimbulkan banyak peristiwa
menyedihkan, kemarahan yang terpendam, dan keinginan untuk suatu saat kelak
harus bangkit dari keterpurukan.
Pelemahan
identitas etnis Pakpak dimulai dari marjinalisasi geografisnya. Wilayah
tradisional Orang Pakpak telah tersegmentasi dan terpencar di beberapa wilayah
keresidenan dan onder Afdeling
sejak zaman penajajahan Belanda. Dari si
Lima Suak Pakpak, suak Boang
berada diwilayah keresidenan Aceh, dan suak
Kelasen masuk ke wilayah onder
Afdeling Batak Landen. Pembentukan Kabupaten Dairi tahun 1960 pun masih
mengacu pada segmentasi wilayah yang diciptakan Belanda.
Khususnya soal
nama Kabupaten dan wilayah cakupannya. Pada saat itu Orang Pakpak sudah
mengusulkan nama Kabupaten Pakpak sebagai kabupaten baru yang lepas dari Kabupaten
Tapanuli Utara, dan wilayahnya
adalah wilayah cakupan si Lima
Suak Pakpak.
Namun karena perwakilan di dewan yang sangat kecil, sehigga eksekutif maupun
legislatif di kabupaten Tapanuli
Utara dan Sumatera Utara tidak sepakat, sehingga diajukan nama Dairi dengan
wilayah sama seperti onder Afdeling
Dairi yang dibuat oleh Belanda.. Orang Pakpak hanya bisa menerima keputusan
pahit itu dengan diam, setidaknya sudah berpisah dari kabupaten Tapanuli Utara.
Namun usaha untuk membangkitkan kembali
identitas Pakpak selalu kembali muncul ketika situasi politik mendukung.
Kelompok terdidik yang lahir dari tengah masyarakat sendiri menjadi modal untuk
melakukan perbaikan nasib orang Pakpak di tanah leluhurnya. Sampai ketika
reformasi politik terjadi dan gelombang desentralisasi yang melanda seluruh
Indonesia, etnis Pakpak pun siap mewujudkan Kabupaten-nya sendiri. Kabupaten
yang merepresentasikan eksistensi etnis mereka, lepas dari bayang-bayang etnis lain. Besarnya keinginan
orang Pakpak untuk pemekaran wilayah Kabupaten Dairi, lebih disebabkan oleh
masalah ketidakadilan yang dirasakan sejak zaman Kolonial Belanda, Jepang dan setelah
kemerdekaan. Akibatnya pada masa otonomi daerah ini, ketertinggalan dan
keterkungkungan tersebut diaktualisasikan dengan besarnya keinginan untuk
mendirikan suatu kabupaten yang identik dengan etnis Pakpak.
Perspektif
konstruktivis dalam melihat etnisitas, penulis anggap lebih tepat untuk
menjelaskan fenomena etnis Pakpak dalam usaha-usaha untuk membangkitkan
identitasnya, sampai pada usaha pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat. Bagi
penganut perspektif ini identitas etnik bersifat situasional dan bisa setiap
saat bergeser atau berubah jika situasi atau konteks sosialnya berubah.
Identitas etnis menurut perspektif konstruktivis bersifat cair, oleh karena itu
merupakan sesuatu yang selalu bisa dikonstruksi dan disesuaikan dengan
kebutuhan.
Elit etnis
Pakpak dengan sangat baik melakukan penyadaran akan identitas orang Pakpak
umumnya, dapat kita lihat isu-isu yang dikembangkan ditengah-tengah masyarakat
menjelang pemekaran adalah pengelolaan sumber daya alam tanah Pakpak, mengenai
tanah ulayat orang Pakpak dan mempertanyakan kembali bagaimana cara etnis
pendatang mendapatkan tanah mereka dahulu. Dalam pertemuan-pertemuan mengenai
rencana pemekaran jelas sekali motivasi eksklusifitas identitas tersebut,
bagaimana kabupaten baru nanti, mulai dari bupati-nya, anggota legislatif dan
semua birokrasinya adalah orang Pakpak. Sumber daya alamnya dikelola oleh orang
Pakpak, dan untuk kemajuan orang Pakpak. Tentu pemikiran tersebut muncul dari
pengalaman panjang marjinalisasi etnis Pakpak tersebut.
Hingga pada
akhirnya terbentuklah Kabupaten Pakpak Bharat sebagai hasil kolaborasi dari
momentum kebangkitan identitas etnis Pakpak, reformasi politik, dan hasrat
politik elit etnis Pakpak. Meski sebenarnya dengan berdirinya kabupaten baru ini,
etnis Pakpak semakin memperkecil luasan tanah leluhurnya (Tanoh Pakpak). Namun pilihan ini harus diambil agar Pakpak sebagai
identitas etnis bisa eksis dalam bentuk kabupatennya sendiri seperti etnis Karo
dan Simalungun yang memiliki Kabupaten dengan nama etnisnya masing-masing.
Karena jika tidak, seperti yang dikatakan J.H. Manik, etnis Pakpak bisa saja
punah karena tidak memiliki benteng budaya dan tradisi dari serbuan etnis
pendatang yang telah mencaplok tanah mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Chandra, Kanchan
, Making Causal Claims about the effect
of ‘ethnicity’, dalam Marc Irving
Lichbach
& Alan S. Zuckerman, Comparative
Politics: Rationality, Culture, and Structure, Cambridge University Press,
New York, 2009.
Edwin, Donni dkk.
Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan
Mitos Good
Governance, Pusat Kajian Politik,
Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Ibnu, Fadjar
Thufail dan Martin Ramstedt, Kegalauan
Identitas: Agama, Etnisitas, dan
kewarganegaraan pada masa Pasca Orde
Baru.
Gramedia, Jakarta 2011.
Kimura, Ehito, Provincial Proliferation: Vertical Coalitions
And The Politics of
Territoriality
In Post-Authoritarian Indonesia, (Disertasi,
Political Science University of Wisconsin-Madison, 2006) .
Laode Ida, 2014,
Election And Political Evil Ambition In
Indonesia’s Reformasi Era,
International
Journal of Politics and Good Governance Volume 5, No. 5.4 Quarter IV 2014,
hal.4.
Manan, Bagir,
2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,FH
UII Press, Yogyakarta.
Rasyid, Ryaas,
2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah,
Jakarta: LIPI Press.
Sari, Fitriani, Handayani
Razak, Pergulatan Etnis dalam Pemekaran Daerah (Studi Kasus;
wacana
pemekaran Pinrang Utara), Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2015.
Schulte, Henk, Nordholt
& Gerry van Klinken (ed), Politik
Lokal di Indonesia, YOI &
KITLV, Jakarta.
Zuska, Fikarwin,
2012, Jurnal Antropologi Indonesia, volume 33, Nomor 3.
Vel, Jacqueline , Kampanye Pemekaran di Sumba Barat,
dalam Politik Lokal di Indonesia,
Henk Schulte Nordholt & Gerry
Van Klinken (ed), KITLV, Jakarta, 2014.
[1] Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, FH
UII Press, Yogyakarta. Hal. 25
[2] Ryaas Rasyid. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah,
Jakarta: LIPI Press. Hal. 8-9
[3] Fadjar Ibnu Thufail
dan Martin Ramstedt, Kegalauan Identitas:
Agama, Etnisitas, dan kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru, Gramedia, Jakarta
2011.
hal.
2
[4] Henk Schulte
Nordholt & Gerry van Klinken (ed), Politik
Lokal di Indonesia, YOI & KITLV, Jakarta 2014. hal. 25
[5] Seperti dikatakan
pendekatan instrumentalis bahwa identitas etnis tidaklah tetap, berubah-ubah,
dan adaptif bergantung dengan siapa berinteraksi. Untuk tujuan politik dan
ekonomi orang dapat menukar identitasnya dan suatu saat dapat pula kembali ke
identitasnya semula. (Milton J. Eastman, Ethnic
Politics. (Ithaca: Cornel University Press) hal: 10-11.
[6]DR Budi Agustono, op.cit hal. 183
[7] DR. Budi Agustono,
wawancara dengan Benyamin Banurea ibid
hal. 190
[8] Lahirnya elit etnis
seperti ini
baru mulai terjadi setelah runtuhnya Orde Baru, khususnya di daerah yang
mengalami konflik etnis dan atau elit lokalnya yang berkompetisi merebut
kekuasaan. Salah satu contohnya adalah munculnya elit baru Dayak pasca 1998. Gerry van Klinken, “Indonesia’s New Ethnic Elites” dalam Henk Schulte Nordholt and
Irwan Abdullah (eds) In Search of
Transition. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Hal. 66-105
[9] Lihat Kanchan
Chandra tentang politik identitas dan patronase politik, Making Causal Claims about the effect of ‘ethnicity’, dalam Marc
Irving Lichbach & Alan S. Zuckerman, Comparative
Politics: Rationality, Culture, and Structure, Cambridge University Press,
New York, 2009 hal. 382