Kenapa identitas Mazhab Teroris tidak diungkap?

Kasus penikaman Menkopolhukam Wiranto beberapa waktu yang lalu, serta diikuti dengan kasus pemberhentian Dandim Kendari oleh karena postingan nyinyir istrinya di medsos tentang peristiwa penikaman tersebut, membuat saya menyadari sesuatu yang sangat penting. Yaitu tentang identitas mazhab keagamaan yang tidak dapat digeneralisasikan.

Dua dekade belakangan – tepatnya pasca reformasi 1998 di Indonesia- aksi terorisme mengatasnamakan Agama berkali-kali mengguncang Indonesia. Baik aksi yang menggunakan bom bunuh diri dengan daya ledak yang besar sampai pada gaya ‘lone wolf’ beraksi sendiri dengan senjata tajam yang belakangan menjadi pilihan aksi mereka.

Sejauh pengamatan saya di pemberitaan media nasional, hanya Said Aqil Siradj (SAS) pada tahun 2012 yang pernah mengaitkan aksi terorisme dengan salah sat mazhab dalam Islam. Saat itu SAS mengatakan bahwa doktrin ajaran Wahabi bisa mendorong anak-anak muda menjadi teroris.[1]  Pernyataan SAS tersebut tentu tidak keluar tanpa dasar. Namun pernyataan yang demikian, yang dengan tegas mengidentifikasi aliran mazhab tertentu yang dekat dengan terorisme, sepertinya tidak banyak diikuti oleh tokoh lain ataupun media-media massa dalam pemberitaannya mengenai peristiwa terorisme di Indonesia. Salah satu dari sedikit ulama yang tegas menunjuk pada mazhab si teroris adalah A. Fathih Syuhud, saya baca dalam artikelnya ‘Pesantren dan Pendidikan anti teror’ yang diterbitkan tahun 2012 di website pribadi.[2]  

Hampir seluruh pemberitaan dan analisa tentang kejadian terorisme di Indonesia hanya menyebut bahwa pelakunya beragama Islam tanpa menyebut si teroris bermazhab Islam apa. Paling-paling media atau analis teroris menyebutkan afiliasi teroris tersebut ke organisasi teror seperti ISIS, JI, atau JAT. Namun, nama-nama organisasi teroris seperti itu bagi masyarakat awam hanyalah seperti mendengar dongeng yang terus diulang-ulang. Sering mendengar namanya disebut namun tidak pernah terlihat wujudnya. Karena para ekstrimis calon pelaku teror tentu tidak membuka identitas organisasi mereka ditengah-tengah masyarakat. Namun saya yakin mereka punya ciri-ciri identitas mazhab yang berbeda dengan umat muslim lainnya di Indonesia. Inilah yang tidak diungkap oleh pihak berwenang dan media massa ke publik.   

Akibatnya, para teroris yang memang membawa simbol-simbol agama Islam dan penampilan seperti orang yang sangat religius menjadi sulit dipisahkan dengan sikap emosional masyarakat muslim Indonesia. Terjadi sikap ambigu ditengah-tengah masyarakat muslim kita, disatu sisi mereka menolak kelompok teror dan mengutuk aksi-aksi terorisme adalah biadab dan tidak berprikemanusiaan, dan dengan kemudian mereka menolak bahwa pelaku teror adalah orang Islam, padahal pelaku teror jelas-jelas mengatasnamakan Islam.

Sikap ambigu tersebut terjadi karena kebingungan atas identitas Islam yang dibawa para teroris, karena justru di Indonesia Islam juga adalah mayoritas, mereka tidak mau Islam agama mereka disebut sebagai agama teroris. Ketidakpekaan umat Islam Indonesia soal aliran-aliran mazhab dalam Islam membuat beberapa orang secara pribadi bersikap membela teroris, karena banyak media dan komentar tokoh mendiskreditkan Islam dalam aksi-aksi terorisme.

Ada fakta yang bias jika para teroris hanya diungkap identitas agamanya saja tanpa disebut apa mazhabnya. Yang terutama adalah nama baik Islam dimata penganut agama lain.  Jika umat muslim saja tidak dapat membedakan yang mana Islam teroris dan Islam yang damai, apalagi penganut agama lain? maka nama Islam akan mendapatkan stereotype buruk di lingkungan mereka. Berikutnya, jika identitas mazhab teroris tidak diungkap, maka masyarakat awam tidak akan dapat memilah sumber-sumber ilmu agama yang akan mereka terima dan cerna. Karena bagi mereka yang tidak peka terhadap perbedaan mazhab, Islam itu dimana-mana sama. Pandangan seperti ini sangat menguntungkan bagi mazhab-mazhab penyebar teror karena mereka dapat dengan leluasa menyebarkan ajarannya ditengah-tengah masyarakat, menyalurkannya melalui media-media, bahkan infiltrasi kedalam institusi-institusi negara.

Saya mengusulkan kepada pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), agar kedepan dan seterusnya pengungkapan identitas teroris harus detail sampai kepada mazhab apa yang diikutinya. Jika memang terbukti mazhab tertentu menjadi ideologi bagi teroris di Indonesia, maka sudah saatnya pemberantasan terorisme dimulai dari menghapus dasar dan sumber pemahaman agama teroris tersebut, yaitu mazhab Islamnya.

Dengan begitu dua kemajuan positif dapat kita raih, pertama stigma buruk terorisme tidak akan melekat pada Islam-nya namun hanya pada mazhab si teroris saja. Sehingga nama baik masyarakat Islam lainnya tidak terdampak dari aksi buruk si teroris. kedua, penyebaran ideologi ekstrim melalui mazhab tersebut tidak akan leluasa seperti sekarang ini. Karena masyarakat bisa mengenali ciri-ciri mereka jika nama mazhab dan ajarannya terlarang di Indonesia. Seperti yang dilakukan kepada ideologi komunisme, seharusnya seperti itu jugalah perlakuan terhadap mazhab yang mensponsori terosrisme. Identifikasi, ungkap ke publik, kemudian cabut sampai ke akar-akarnya hingga tidak dapat tumbuh lagi di bumi Indonesia. Jika tidak, maka kita dengan pasti akan menuju kehancuran seperti negara Suriah, Libya dll.  


[1] https://www.merdeka.com/khas/ajaran-wahabi-mendorong-orang-menjadi-teroris-wawancara-said-aqil-siradj-2.html

[2] https://www.fatihsyuhud.net/pesantren-dan-pendidikan-anti-teror/

Iklan

Melihat kelompok LGBT dalam kerangka Gerakan Sosial Baru

Dalam kajian perkuliahannya, mahasiswa-mahasiswa Ilmu politik akan sampai pada satu topik tentang Gerakan Sosial Baru/GSB (New Social Movement), dan ketika mencapai topik ini, sebagian besar mahasiswa-mahasiswa tersebut lebih dahulu telah memahami apa itu gerakan sosial.

GSB pada awalnya adalah sebuah gejala utama dalam sejarah barat modern, namun sekaligus ia merupakan topik penting dalam studi sosial dan politik kontemporer. Maka akan bijaksana apabila GSB dikaji dan dipahami kebaruan gerakannya dalam konteks membuka perdebatan, bukan hanya sekedar refleksi tentang tahapan perkembangan masyarakat barat.

Istilah ‘gerakan sosial baru’ mengacu pada sekelompok gerakan sosial kontemporer (atau mutakhir) yang telah berperan signifikan dan umumnya progresif bagi sebagian besar pengkaji di masyarakat Barat sejak 1960-an. [1]

Identifikasi utama mengapa gelombang aktivisme mereka disebut ‘baru’ karena mengacu pada keprihatinan gelombang aktivisme tersebut pada isu, bukannya pada kelas seperti gerakan sosial terdahulu. Biasanya kategori aktivisme baru itu mencakup gerakan perdamaian dan antinuklir, gerakan lingkungan, gerakan ekologis atau gerakan hijau, gerakan pembebasan lesbian dan gay, gerakan feminis gelombang kedua, gerakan anti rasis, dan gerakan gaya hidup alternatif.

Akhir dari Ideologi

Dengan kata lain, GSB perlahan telah meninggalkan karakter analisa sosial marxisme yang determinan ekonomis, walaupun dalam beberapa kenyataan tidak meninggalkannya secara keseluruhan. Karakter baru ini muncul didukung oleh fenomena “ledakan ekonomi panjang’ dan ‘konsensus demokratis sosial’ pasca-perang Dunia II, serupa dengan periode stabilitas politik, bahkan apati, yang ditandai dengan diumumkannya ‘akhir dari ideologi’ oleh kalangan akademis. (Lipset, 1960:403-17)

Konflik antar modal dan kerja telah diredakan oleh struktur pengompromi kelas pada negara kesejahteraan, dengan kebijakan seperti pajak progresif, penyediaan jaminan sosial dan bantuan kesejahteraan, dan konsultasi ‘neokorporatis’ antara pemberi pekerjaan, serikat pekerja, dan pemerintah (Berger, 1981;Offe, 1984).

Sehingga kita sampai pada sebuah hipotesis bahwa gejala Gerakan Sosial Baru, dapat muncul pada tatanan masyarakat dimana kapitalisme telah unggul menjadi satu-satunya pemenang. Herbert Marcuse – pengkritik kapitalisme liberal dari sayap kiri – menggambarkan tatanan sosial yang berkuasa saat itu secara sinis sebagai ‘masyarakat berdimensi satu’ yang sudah tumbuh melampaui pertentangan antara kapitalis dan pekerja.

Berdasarkan teori dan ulasan yang didasarkan pada perkembangan masyarakat barat diatas, perkembangan gerakan sosial baru di Indonesia akan cukup menarik untuk diulas. Tanpa menafikan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang berlaku di Indonesia, jika kita melakukan pembalikan logika dengan apa yang terjadi di masyarakat barat, kemunculan gerakan sosial baru adalah ciri-ciri tatanan masyarakat Indonesia yang perlahan mulai meninggalkan antagonisme antar kelas.

Meskipun saya pesimis pudarnya pertentangan antar kelas ini memiliki alasan yang sama ketika terjadi pada masyarakat barat. Boleh jadi pendapatan masyarakat kita memang meningkat dan gerakan buruh semakin moderat, namun kesenjangan antara yang miskin dan kaya masih terpaut jauh. Dan sebagai negara pos kolonial yang sedang berkembang, pola masyarakat Indonesia sering kali mengadaptasi perkembangan nilai dan tatanan sosial dari masyarakat barat tanpa mengikuti tahapan yang dilalui masyarakat barat tersebut. Dan pola itu saya curigai berlaku juga pada gerakan sosial baru di Indonesia. Dengan hebatnya digitalisasi informasi seperti sekarang ini, tak ada batasan untuk transfer ide antar masyarakat dunia. Sehingga suatu komunitas yang berkembang di sebuah negara post industrial dapat saja memiliki ‘cabang’ di negara-negara yang kapitalismenya masih menghisap dengan vulgar.

LGBT Indonesia

Saya beruntung memiliki satu pengalaman yang menarik bisa berinteraksi dengan salah satu jenis gerakan sosial baru ini, yaitu ketika sedang mengikuti kegiatan seorang anggota DPR RI sebagai mahasiswa program internship dari kampus. KH. Maman Imanulhaq anggota DPR RI dari fraksi PKB (tempat saya internship) pada waktu itu kedatangan rombongan tamu sekitar 50 –an orang yang mengusung isu LGBTIQ[2] (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, and Queer), mereka ingin berdialog dan menyampaikan aspirasi mereka kepada anggota dewan yang mereka anggap dapat dipercaya dan mengerti permasalahan yang mereka hadapi.

Kedatangan mereka rupanya dalam rangka Peringatan Hari Mengenang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Transgender se-Dunia/ International Transgender Day of Remembrance yang jatuh pada tanggal 20 November setiap tahunnya. Pertemuan kelompok LGBT yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini dengan KH. Maman ternyata bukan kebetulan, beberapa personal mereka telah mengenal dan sering berdialog dengan KH. Maman sebelum menjadi anggota DPR RI. KH. Maman atau akrab disapa Kang Maman ini memang sejak lama telah aktif membela kaum-kaum marjinal dan mendukung pluralisme dan keberagaman di Indonesia.

Saya akui, mengikuti dialog dengan kaum LGBT ini adalah pengalaman baru dan ini yang pertama bagi saya. Saya mendapati perspektif saya – sebelum dan sesudah mengikuti audiensi – jauh berubah dalam memandang isu tersebut. Seperti yang dikatakan teoritisi yang mengulas GSB, mereka berbeda dengan ‘politik lama’ yang didominasi isu kelas dan isu distribusional. Meski masih menyuarakan tuntutan material (kesempatan kerja dan persamaan gaji, keadilan sosial, perdagangan yang jujur, dll)

Dalam audiensi yang dilakukan dalam ruangan rapat Fraksi PKB di Gedung Nusantara I DPR RI tersebut, aktivis-aktivis LGBT fasih menyuarakan keadilan konstitusional mereka sebagai warga negara, seperti mempertanyakan bagaimana negara menjamin keamanan warga negara dan Hak Asasi manusia tanpa membedakan orientasi sexual.

Mereka mempertanyakan hak konstitusional tersebut karena dalam kehidupan mereka sering medapati kesulitan ketika berhadapan dengan administrasi birokrasi karena alasan transgender. Bila saya diperkenankan untuk menyederhanakan inti dari tuntutan kawan-kawan LGBT ini adalah keinginan mereka untuk diakui oleh negara, pengakuan oleh negara ini dalam artian adanya peraturan hukum yang tetap untuk menjamin dan melindungi keberadaan dan perbedaan mereka. Mengutip salah satu pernyataan personal mereka;Jpeg

“kami adalah minoritas yang tidak diakui dalam pembuatan kebijakan negara (not recognizing)”.

Meskipun kedatangan kelompok LGBT ini untuk beraudiensi dengan anggota DPR RI merupakan penyimpangan dari karakter GSB sebenarnya, namun apa yang mereka lakukan telah tepat bila melihat kondisi faktual sosial, politik dan budaya di Indonesia. Seperti yang saya katakan sebelumnya tahapan kemunculan GSB di Indonesia tentunya tidak mengikuti tahapan serupa yang dialami masyarakat barat. Dengan itu cara mereka berjuang untuk eksistensi dan mengaktualisasikan diri dan komunitas juga berbeda.

Aktivis GSB umumnya berusia muda, berpendidikan universitas atau akademi, dari latar belakang kelas menengah atau kelas ‘menengah baru’ dan tidak patriarkhi. Maka dari itu kebaruan GSB umumnya berasal dari tantangannya terhadap keadaan teori dan ideologi yang mapan di masa kemunculannya. Gerakan ini menantang stabilitas sekaligus menantang legitimasi masyarakat-masyarakat demokrasi liberal. Organisasi mereka tidak bersifat elektoral birokratis tetapi lebih cair, partisipatif bahkan anarkistis. Mereka tidak menggunakan saluran konvensional seperti pemungutan suara (pemilu), kegiatan lobi (Lobbying), mencalonkan diri tetapi menggunakan protes tanpa kekerasan (civil disobedience), aksi mogok atau boikot (direct action) yang dilakukan berulang-ulang.

Perbedaan cara perjuangan ini dapat kita lihat sebagai taktik kelompok LGBT, yang masih terlalu ringkih untuk bertahan dengan kekuatan mereka sendiri dalam kondisi sosial, politik dan budaya di Indonesia sekarang ini. Menggunakan kesolidan kelompok dan kuantitas mereka untuk mendukung partai tertentu – yang mau mengusung isu mereka – dalam sebuah kontestasi elektoral adalah strategi politik yang paling masuk akal saat ini.

[1] David West, Gerakan-gerakan Sosial Baru, dalam Gerald F. Gaus & Chandran Kukathas Hand Book Teori Politik,

[2] Masyarakat Indonesia mungkin lebih kenal dengan singkatan LGBT saja tanpa tambahan IQ

Depok, 10 Desember 2014

Semangat Konservatif di Partai-Partai Politik Kita

Baru saja kita mendapat kabar bahwa Megawati akan diusung kembali secara aklamasi oleh DPD-DPD PDIP menjadi ketua umum untuk periode 2015-2020 dalam rakernas PDIP beberapa waktu lalu. Hal yang serupa terjadi pada Partai Gerindra dimana Prabowo di daulat menjadi ketua umum partai dalam KLB partai Gerindra, merangkap ketua dewan pembina yang lebih dahulu dijabatnya. Megawati yang sekarang berumur 67 tahun telah menjabat ketua umum sejak PDI Perjuangan dideklarasikan tahun 1996. Sedangkan saat ini Prabowo menginjak umur 63 tahun. Kedua hasil keputusan partai tersebut tidaklah bisa kita lihat sebagai kemajuan dalam perpolitikan kita.

Apa yang tidak kita sadari dari kebanyakan partai politik di Indonesia adalah berlakunya oligarki dalam tubuh partai kita. Sebagai salah satu pilar demokrasi ternyata partai politik kita masih mengidap penyakit oligarki dalam tubuhnya. Partai politik dikuasai dan dikendalikan hanya oleh beberapa orang saja tanpa melibatkan stakeholder yang lebih luas.

Indikasi apa yang menandai penyakit oligarki di tubuh partai politik ini? Sebelumnya perlu dipahami bersama bahwa partai politik adalah alat demokrasi, dan demokrasi modern adalah anti-thesis dari model kekuasaan absolut di tangan satu orang atau ditangan beberapa dan sekelompok orang. Semangat demokrasi dilandasi oleh keinginan menghancurkan tembok sekat yang memisahkan bangsawan dengan rakyat biasa, saudagar dengan pekerja kasar dan pemisahan strata sosial lainnya. Itulah kenapa slogan revolusi perancis sebagai titik bangkitnya demokrasi modern berbunyi Liberte, Egalite, Fraternite (Persamaan, Kebebasan, dan Persaudaraan).

Ironisnya dalam perjalanan perkembangan demokrasi khususnya di Indonesia — yang baru mengalami gelombang demokrasi ketiga setelah Perang Dunia II – praktik demokrasi masih jauh dari semangat awalnya ketika ia lahir, dalam kasus ini kita akan melihat kedalam tubuh partai-partai politik di Indonesia dewasa ini.

Praktik pelestarian kekuasaan melalui hubungan pertalian darah terjadi secara terbuka pada partai politik di Indonesia. Puan Maharani anak Megawati merupakan salah satu Ketua DPP PDI Perjuangan. Di partai lain, Eddy Baskoro (Ibas) menjabat sekretaris jendral partai Demokrat, dimana ayahnya SBY mengambil alih jabatan Ketua Umum setelah Anas Urbaningrum tersangkut tindak pidana korupsi. Di partai baru Nasdem ketua umum Surya Paloh mendaulat anaknya Prananda Paloh yang menjabat wakil ketua di organisasi sayap mahasiswa nasdem Liga Mahasiswa Nasdem menjadi caleg nomor 1 dari daerah pemilihan 1 Sumatera Utara, dan berhasil duduk di kursi dewan untuk periode 2014-2019 ini.

Perilaku seperti itu tidak hanya dilakukan oleh ketua-ketua umum partai saja, tetapi juga oleh mereka yang merupakan pejabat-pejabat partai yang memiliki uang dan pengaruh di partai mereka. Sebagai contoh di Golkar, anak dari Agung Laksono mendapatkan keistimewaan dalam karir di partai walaupun pengalaman dan kontribusinya mungkin masih kalah dengan kader lain yang tidak memiliki ‘darah biru’ atau sokongan dana yang kuat dari orang tua mereka yang hanya orang biasa, dan banyak contoh lainnya.

Fenomena ini dapat dibaca sebagai pembusukan regenerasi elit di tubuh partai-partai politik, karena sirkulasi elit berjalan hanya pada lingkungan keluarga atau kelompok yang itu-itu saja. Mereka yang tidak termasuk keluarga atau kelompok elit dari awal akan sangat bersusah-payah untuk merangkak naik bergabung di level elit partai. Ternyata para penguasa partai politik telah menjadikan partai menjadi milik keluarga dan kroni-kroninya, sebuah sikap yang dahulu dihinakan kepada rezim Orde Baru Soeharto, ironisnya sekarang dipraktikkan oleh mereka yang dahulu menghinanya. Kini partai politik mereka terjemahkan menjadi alat keluarga untuk meraih kekuasaan di negara ini.

Ilusi Partai Politik

Sungguh paradoks yang tampak pada dunia politik kita, ketika kita mengagung-agungkan demokrasi dengan semangat persamaan dan kesetaraan, namun partai-partai politik yang ada sama sekali tidak menerapkan demokrasi dalam tubuhnya. Mungkin akan muncul pertanyaan, emang ada masalah? Toh rakyat tidak protes dan menerima saja selama ini? Disinilah terbukti bahwa partai politik saat ini hanya menjadikan rakyat sebagai objek yang dihitung dalam pemilu, bukan sebagai subjek yang diajak untuk ikut membangun negara melalui program-programnya.

Masyarakat kita yang masih mudah terpesona dengan ketokohan, emosional dengan slogan, kesamaan agama, suku dan kedekatan kekerabatan, serta silau dengan lembaran uang 50 ribuan ini, dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh partai politik untuk meraup dukungan suara. Dan bukan dibangun kesadarannya untuk berpolitik secara rasional, ingat salah satu fungsi partai politik yang sering dilupakan adalah pendidikan politik bagi masyarakat.

Memang benar bahwa alat untuk mencapai kekuasaan secara konstitusional dalam sebuah negara demokratis adalah melalui partai politik. Berdasarkan premis tersebut, banyak aktivis muda pasca reformasi dengan bermodalkan idealisme dan modal sosial mereka bergabung dengan partai politik yang sudah ada, berharap mampu mewarnai dan mengaktualisasikan ide mereka di parpol-parpol yang mereka masuki.

Namun setelah beberapa periode pemilu ternyata aktivis yang dulu muda ini tidak dapat berbuat banyak, mereka berada dipinggir arus, tidak ikut masuk dalam perputaran sirkulasi elit di partai-partai mereka. Sebagian dari mereka yang gelisah ini dapat kita lihat saat beberapa kader muda Golkar yang ‘menyeberang’ waktu pilpres kemarin.

Kebanyakan partai-partai politik kita menampilkan ilusi sebagai partai politik terbuka dan demokratis, namun pada kenyataannya tidak ada rekruitmen yang terbuka dan penilaian yang objektif terhadap kader yang potensial dan berprestasi. Perpindahan strata keatas dalam kepengurusan didasarkan pada kemampuan uang dan kedekatan hubungan darah dengan penguasa partai. Ini menjadikan partai-partai politik kita tidak hanya oligarkis tetapi juga feudalis.

Bagaimanapun keadaan diatas bukanlah tidak mungkin untuk diubah dan diperbaiki, dengan syarat generasi muda kita tidak mudah puas dan mengikuti pola yang dimainkan oleh orang-orang tua yang sudah mapan di partai-partai mereka. Kecenderungan mereka yang telah mapan adalah berusaha sekuat tenaga melestarikan kekuasaan mereka selama mungkin yang mereka bisa.

Maka generasi muda tinggalkanlah partai-partai politik dengan ciri seperti diatas, partai politik tanpa kader muda adalah ibarat seorang tua dengan tulang punggung yang keropos, hanya tinggal menunggu waktu untuk roboh. Janganlah silau dengan kekuasaan, mungkin partai tersebut masih berkuasa saat ini namun pasti akan segera menemui akhir kekuasaannya. Kader muda yang masih menopang partai-partai tua sejenis ini hanya akan memperlambat tumbuhnya tunas-tunas partai baru yang akan tumbuh lebih kuat dan lebih siap mengikuti jaman demokrasi baru.

Partai politik adalah pionir dalam demokrasi, sebagai pionir maka sudah seharusnya ia menjadi contoh penerapan demokrasi di setiap inchi tubuhnya, pada perilakunya, serta dalam kebijakan-kebijakannya. Partai politik selayaknya dapat merangkul dan menampung siapa saja yang sepaham secara ideologis, satu dalam visi dan misi untuk bergabung dan menjadikan partai alat perjuangan politik, tanpa melihat latar belakang ekonomi atau keluarga.

Begitupun mengenai rekruitmen calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, kader terbaik dan berprestasi haruslah diutamakan, didukung secara moril dan finansial oleh partai. Dengan demikian kader merasa dihargai dan termotivasi untuk berprestasi, kemudian terjadi persaingan sehat didalam tubuh partai. Cara-cara yang dilakukan partai-partai sekarang yang ‘menjual perahu’ dalam setiap pilkada hanya akan memberikan keuntungan finansial sesaat dan hanya untuk segelintir elit partai.

Sebagai solusi kita dapat mencontoh struktur partai-partai politik modern dimana telah dilakukan pemisahan antara politisi partai dengan pengurus partai. Artinya pengurus partai adalah mereka yang bekerja mengurusi administrasi dan menjalan roda kepengurusan partai secara profesional, sedangkan politisi partai adalah kader partai yang menjalankan fungsinya sebagai politisi, merepresentasikan kepentingan konstituen, meraih suara pendukung dan menjalankan tugas-tugas politik atas nama partai.

Pemisahan ini akan menghilangkan tumpang tindih kekuasaan dan kebijakan yang terjadi selama ini pada partai-partai di Indonesia, dimana pengurus partai adalah sekaligus politisi partai. Keadaan yang seperti itu mengakibatkan tidak efektifnya kinerja partai dan rentan terjadi korupsi di partai karena desakan kepentingan pribadi si kader.

Kemunculan partai baru yang profesional dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi didalam tubuhnya akan sangat kita butuhkan untuk menggantikan partai-partai politik yang mengidap penyakit oligarki dan kronisme akut saat ini. Dan bagi partai kader yang telah menerapkan mekanisme merit sistem pada sistem pengkaderannya, semoga mampu bertahan dan konsisten menjalankan sistem meritokrasi di partainya ditengah iklim politik dimana demokrasi berarti perang kekuatan modal secara brutal.

Depok, 21 September 2014

Awal Pemberontakan Petani dimasa Kolonial

Bagi petani, tanah tidak hanya sebagai komoditas ekonomi, tapi juga bermakna sosial dan keamanan. Dari sisi makna ekonomis, tanah merupakan tempat sumber makanan, tempat mencari penghidupan, sebagai tempat melakukan aktivitas produktif, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Makna sosial tanah berarti eksistensi diri, sebagai tempat untuk menemukan dirinya secara utuh, bahkan tanah merupakan simbol status sosial di dalam masyarakat. Dalam makna keamanan, tanah akan membawa rasa aman tertentu bagi petani jika sesuatu terjadi pada diri mereka, yang berarti tanah membawa efek psikologis bagi petani.

Dari berbagai sudut pandang tersebut jelas terlihat tanah menempati kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena tanah merupakan modal utama, disanalah tempat atau pangkal dari budaya petani itu sendiri. Ketika kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani, tanah memiliki nilai yang begitu besar. Didalam beberapa kebudayaan, tanah bahkan dipandang sebagai istri kedua.

Singkatnya tanah memiliki makna yang multidimensional bagi kaum petani. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara sosial tanah dapat menetukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan warisan dan masalah-masalah transendental.

Analisa tentang latar belakang pergerakan

Studi yang dilakukan oleh Scott (1974 dan 1989) dan Popkin (1976) di pedesaan Asia mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa kolonial, memperlihatkan terdapatnya empat faktor utama penyebab kemarahan kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif.

Perubahan struktur agraria di pedesaan Asia, khususnya Jawa, dipengaruhi adanya sistem kolonialisme. Melalui kolonialisme, desa-desa di Asia terintegrasi dengan sistem kapitalis dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalis merupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten. Eksploitasi kolonial ditambah dengan tekanan demografi yang semakin meningkat, mengakibatkan rusaknya pola-pola yang sudah ada, serta mengkhianati sendi-sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etika subsistensi (Scott, 1976).

Kartodirjo (1991) berpendapat bahwa terdapat dua transformasi penting di era kolonial. Pertama, pengalihan secara besar-besaran disektor pertanian, dari yang semula merupakan pertanian subsisten menjadi pertanian yang berorientasi ekspor. Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi dan militer untuk mengontrol wilayah jajahan.

Salah satu bentuk transformasi tersebut mengejawantah dalam bentuk perkebunan – perkebunan besar. Pengenalan sistem pertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas dari tangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarap buruh tani upahan dan buruh perkebunan.

Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur – angsur telah menghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agraria yang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga – keluarga petani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula ada pada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial sama sekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadap fluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984)

Situasi pra kolonial

VOC datang di nusantara pada mulanya adalah sebagai pedagang, dengan demikian tujuannya hanya untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Kebijaksanaan Kompeni di pulau Jawa semakin tampak, yaitu ketika melalui raja jawa atau kaki tangannya meminta agar rakyat menyerahkan hasil tanaman yang dapat diperdagangkan di eropa, baik dilakukan secara sukarela maupun dengan cara paksa. (Suyono,2005)

Masa kejatuhan VOC dan diambil alihnya utang-utang oleh pemerintah Belanda, boleh dikatakan merupakan awal mula diterapkannya politik pemerintahan di pulau jawa. Marsekal H.W. Daendels, ketika menjadi gubernur Jenderal dan memerintah dari tahun 1808 hingga 1811, mendapat instruksi dari raja untuk lebih memperhatikan pertahanan militer, perbaikan administrasi, dan ekonomi.

Kebijaksanaan Daendels dalam penyerahan hasil bumi secara paksa, pada dasarnya mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh VOC. Beberapa produk hasil bumi, antara lain kopi, tetap dipaksakan penanamannya maupun penyerahan hasilnya. Diwaktu kemudian, Daendels dapat menyombongkan diri dengan mengatakan, bahwa pada masa kekuasaanya hasil kopi meningkat dari 27 juta menjadi 72 juta.(Suyono,2005)

Sesudah Perang Jawa yang menghabiskan banyak biaya dipihak belanda, diusahakan agar di nusantara dilaksanakan politik atau kebijaksanaan yang baru. Zaman VOC sudah berlalu dan penduduk nusantara harus mulai insyaf bahwa mereka adalah milik dari pemerintah belanda, dimana pemerintah belanda memerlukan uang.

Untuk itu pada pertengahan abad 18, untuk yang pertama di pulau jawa, dibuat peraturan yang mengatur bahwa nusantara, dalam hal ini pulau Jawa, dibebani sebagai penghasil uang. Dengan demikian tindakannya akan melebihi dari zaman kompeni (VOC). Untuk mewujudkan maksudnya itu, segenap pasukannya diperintahkan masuk ke pedalaman, guna mengalahkan raja dan penduduk disana yg membangkang. Dengan cara itu Belanda akan lebih dapat mengambil keuntungan yang dihasilkan oleh daerah itu.

Kekuasaan yang dimiliki raja juga dibuat semakin menciut, oleh karena itu setiap Sultan, Sunan, dan Bupati, disertai dengan seorang residen Belanda dalam menjalankan kekuasaannya. Meskipun pendamping Belanda tersebut katanya hanya akan bertindak sebagai penasehat, namun pada kenyataannya dialah yang memegang pemerintahan.

Residen Belanda, pada dasarnya mempunyai kewajiban untuk menjadikan daerah yang dikuasainya sebagai daerah produktif untuk hasil bumi yang mempunyai nilai jual yang tinggi di pasar eropa. Sehingga dengan demikian, kekayaan nusantara bisa menjadi sumber awal bagi terciptanya kekayaan negeri belanda. Meskipun seakan-akan ada upaya pula untuk memperbaiki nasib anak negeri, tetapi biasanya itu hanya merupakan upaya selingan, bukan merupakan maksud utama.

Tujuan utama adalah, Nusantara terutama pulau jawa harus diperas sampai kering. Antara tahun 1831 hingga 1877, uang yang dihasilkan pulau Jawa mencapai 823.000.000 gulden. Uang sebanyak itu mengalir ke negeri Belanda, untuk keperluan kas kerajaan belanda. Dengan uang ini pula, hutang-hutang negeri belanda dapat terlunasi, karena hutang hindia belanda pada tahun 1829 berjumlah 37.700.000 gulden. Segala upaya telah dicoba, dan akhir dari jawaban itu adalah pelaksanaan kultur-stelsel yang mampu menghasilkan keuntungan finansial bagi negeri belanda.

Cultuurstelsel dapat diartikan sebagai tatanan atau aturan penanaman. Pada tahun 1928, johannes van den bosch diangkat sebagai gubernur jenderal. sebelum diangkat menjadi gubernur jenderal, van den bosch telah memberi saran atas laporan kolonial yang dibuat oleh pendahulunya, yaitu L.P.J. burggraaf du Bus du Gisignies.

Laporan itu dibuat atas perintah raja Wilhelm I, dimana raja ingin memperoleh saran mengenai cara terbaik untuk memerintah Hindia belanda. Dapat dikatakan, laporan itu merupakan dasar bagi rencana liberal klasik pemerintahan modern. Menurut rencana itu, masuknya modal eropa di hindia Belanda harus mendapat kebebasan penuh, agar pertanian dapat berkembang dan hasilnya harus laku dipasaran dunia.

Orang-orang eropa akan diberi ijin menguasai tanah dengan hak sewa atau erfpacht. Hak itu akan diberikan ditempat-tempat yang padat penduduknya, sehingga penduduk pribumi akan mnyesuaikan diri seiring dengan desakan hokum ekonomi. Penduduk pribumi akan bekerja sebagai penggarap tanah dibeberapa onderneming yang dibangun oleh orang-orang eropa.

Sebetulnya kuultur stelsel adalah eksploitasi industri agraris terhadap pertanian di pulau Jawa. Sebagai dasar operasional sistem itu adalah tiap petani di pulau jawa diharuskan menyerahkan seperlima dari tanah yang dimiliki untuk ditanami produk tanaman yang diwajibkan oleh gubermen. Sistem itu dijalankan, dimana pemerintah kolonial akan memanfaatkan wibawa dan pengaruhnya untuk memaksa penduduk pribumi, yaitu menanam produk tanaman tropis yang laku di pasaran eropa. Dengan harga sepihak yang ditentukan oleh pemerintah. Pada akhirnya produk-produk itu dijual demi kepentingan keuangan pemerintahan hindia belanda.

Pelaksanaan cultuurstelsel ternyata dibatasi hanya di pulau jawa saja dan didaerah lain langsung berada dibawah Pemerintahan Belanda. Dalam Cultuurstelsel, pemerintahan belanda menentukan jenis tanaman yang harus ditanam. Jenis tanaman yang diutamakan adalah, kopi, tebu, dan indigo. Lalu kemudian tembakau, teh, merica, dan kayu manis.

Untuk itu tidak hanya tenaga kerja dari petani saja yang dipakai, melainkan juga tanahnya termasuk yang biasanya untuk penanaman padi disawah. Bagi penduduk, selain mengerjakan perkebunan berdasarkan cultuurstelsel, juga mempunyai tugas mengerjakan hasil perkebunannya sebelum dikapalkan, termasuk pengangkutannya.

Menurut teori, sistem itu tidak akan menyengsarakan para petani. Tetapi dalam praktek, terutama bagi petani yang sudah miskin, sistem tersebut merupakan beban yang berat.

Reaksi dan Perlawanan Politik Petani

Hal yang menarik justru terlihat dalam karakteristik petani itu sendiri. Keadaan yang sudah sedemikian buruk ternyata belum cukup untuk membuat petani berontak untuk melawan. Sifat evolusi petani yang amat sangat terbiasa hidup dalam kesusahan membuat mereka sudah tertempa untuk dapat mempergunakan berbagai cara untuk mempertahankan tingkat subsistensi mereka.

Aksi perlawanan petani baru dapat terjadi apabila terjadi kemerosotan ekonomi secara mengejutkan, dimana hal tersebut dibarengi dengan peningkatan eksploitasi yang dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Ekploitasi yang dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak petani, dan hampir terjadi diseluruh wilayah, serta dapat mengancam jaring pengaman sosial mereka atas sumber – sumber subsistensial, maka besar sekali kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.

Pelaksanaan cultuurstelsel di satu sisi memberikan keuntungan yang luar biasa bagi pemerintah Belanda. Tercatat sampai akhir tahun 1870, keuntungan yang diperoleh pemerintah Belanda mencapai 725 juta gulden, yang kemudian dapat untuk membayar hutang-hutang mereka dan menjadi bagian terbesar yang menopang anggaran belanja negeri Belanda.

Tetapi di sisi lain, menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang amat sangat di kalangan kaum tani. Bencana kelaparan dan penyakit menyerang massa rakyat khususnya kaum tani di Jawa. Krisis ekonomi melanda pulau Jawa secara luas pada akhir tahun 1880. Dan data sejarah mencatat, terjadi tragedi memilukan karena tingginya tingkat kematian akibat bencana kelaparan dan penyakit sehingga setengah dari jumlah penduduk Jawa berkurang.

Scott (1976) mencoba menjelaskan bahwa lingkup dan sifat dari kejutan-kejutan eksploitasi memiliki arti penting. Besarnya lingkup kejutan atas eksploitasi dapat menjadi suatu alasan kolektif petani dalam jumlah besar untuk bertindak. Terlebih lagi, apabila kejadian tersebut datang secara tiba-tiba sehingga petani sulit untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi beban tambahan dan tingkat subsistensinya.

Pemberontakan yang terjadi di pedesaan Jawa sebagian besar disebabkan karena pengambilalihan tanah dalam jumlah yang sangat banyak untuk digunakan usaha-usaha perkebunan. Ketika dunia dilanda depresi besar pada tahun 1930-an yang juga amat berdampak pada struktur perekonomian kolonial, terjadi ratusan pemberontakan petani dalam rangka menentang pungutan pajak yang dilakukan oleh negara (Kuntowijoyo, 1993).

Sartono Kartodirdjo dalam bukunya yang berjudul “Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrests in The Nineteenth and Twentieth Centuries” menjelaskan bahwa ada beberapa topologi gerakan petani. Tipe-tipe itu adalah anti penghisapan (anti-extortion), gerakan mesianistis, gerakan revivalisme, dan gerakan sektarian, dan gerakan lokal Sarekat Islam.

Gerakan anti penghisapan (anti-extortion) merupakan gerakan yang terjadi di tanah partikelir, yaitu wilayah yang dibeli oleh swasta dari Belanda. Agitasi kaum petani yang timbul di tanah partikelir sepanjang abad XIX dan awal XX merupakan suatu gejala historis dari masyarakat petani pribumi.

Sejarawan Indonesia Onghokham mengemukakan bahwa semenjak perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 sampai permulaan pergerakan nasional pada tahun 1908, diperkirakan terdapat lebih dari 100 pemberontakkan atau keresahan petani. Itu berarti hampir setiap tahun ada saja onrust atau uproar (kerusuhan), sifatnya lokal dan mudah ditindas, termasuk peristiwa paling spektakuler yakni pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888.

Pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888 menjadi puncak perlawanan kaum tani terhadap penguasa penjajah dan kaki tangan pribuminya sepanjang abad 19 dan menjelang abad 20. Pemberontakkan petani Banten juga dilatarbelakangi oleh beban berat penderitaan kaum tani dan kebencian yang amat dalam terhadap penguasa Belanda maupun juga penguasa pribumi (Bupati dan Residen) yang dianggap sebagai antek-antek Belanda.

Pemberontakan tersebut terjadi di wilayah Banten, Lebak dan juga sampai ke daerah Batavia. Pemimpin pemberontakkan berasal dari kalangan ulama yaitu kyai/tubagus maupun para jawara. Namun demikian pemberontakkan petani Banten tersebut dapat ditumpas dengan mudah karena seperti halnya karakter gerakan perlawanan kaum tani sebelum abad 20, masih bersifat lokal, kedaerahan, dan dipimpin oleh tokoh feodal lokal.

Pustaka

Fajrin, Mochammad. “Dinamika Gerakan Petani: Kemunculan Dan Kelangsungannya. Bogor: PDF File skripsi IPB. 2011

Kartodirjo, Sartono. “Pemberontakan Petani Banten 1888.” Jakarta : Pustaka

Jaya. 1984.

Kuntowijoyo. “Radikalisasi Petani : Esai – Esai Sejarah.” Yogyakarta :

Bentang Intervisi Utama. 1993

Popkin, Samuel L. “Petani Rasional.” Jakarta : Penerbit Yayasan Padamu

Negeri. 1986

Scott, James C. “The Moral Economy Of The Peasant”, New Heaven : Yale

University Press. 1976

Suyono, Capt. R.P. “Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial.” Jakarta: Grasindo. 2005

SEOLAH-OLAH DEMOKRASI

Pada saat Sukarno dan Hatta akhirnya menetapkan bahwa Republik Indonesia merdeka nantinya akan menganut sistem demokrasi, mereka tidak bermaksud menjadikan demokrasi menjadi sebuah cita-cita atau tujuan. Demokrasi adalah alat untuk mencapai cita-cita itu sendiri, sebagai negara yang merdeka, bersatu, adil dan makmur.

Dengan memaknai demokrasi sebagai alat mencapai tujuan, maka dengan demikian terbuka celah bagi kita semua rakyat Indonesia untuk memperbaiki, meng- up grade, menyempurnakan instrumen yang kita gunakan tersebut, agar ia sesuai dengan kondisi rakyat –kebudayaan, pendidikan dan ekonominya-, dan sesuai dengan perkembangan zaman –teknologi informasi dan komunikasi.

Sebagai sebuah negara yang baru berdiri selama 69 tahun adalah wajar sekali kita masih juga mencari-cari bentuk dan komposisi yang tepat untuk mengejewantahkan demokrasi dalam tataran kehidupan pemerintahan kita sehari-hari, termasuk dalam tata cara pemilihan eksekutif maupun legislatif. Meskipun para pendiri bangsa kita sudah memberikan pedoman bahwa demokrasi kita adalah Demokrasi Pancasila, demokrasi yang berazaskan pada permusyawaratan untuk mencapai kata mufakat.

Penerapan Demokrasi Pancasila memang masih harus diterjemahkan lagi agar ia dapat diterapkan secara praktis dalam kehidupan bernegara. Maka putra-putri terbaik bangsa sejak masa kemerdekaan hingga saat ini terus berikhtiar mencurahkan pikiran dan tenaganya menciptakan sistem demokrasi terbaik yang sesuai untuk dijalankan pada masanya.

Pada saat negara kita bercirikan negara birokratik otoriter dibawah Soeharto, kepala daerah seperti gubernur adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan pusat di Jakarta. Dengan demikian gubernur ditunjuk atau diangkat langsung oleh presiden untuk menjabat di salah satu provinsi. Begitupun dengan walikota dan bupati memiliki garis hirarki instruksi dari atas kebawah, dimana presiden atau gubernur lah yang memberikan mandat pada mereka untuk memerintah atas sebuah kota atau kabupaten. Dalam kasus masa Soeharto ini banyak dari pejabat gubernur ataupun walikota/bupati yang diangkat berasal dari TNI Angkatan Darat.

Pasca jatuhnya Soeharto dan rezim birokratik otoritariannya, sistem tata pemerintahan yang dijalankan Soeharto dianggap sebagai tidak demokratis dan harus direformasi. Namun gaya pemerintahan Soeharto juga bukan tanpa prestasi, pada masa itu kordinasi antar kepala daerah dengan pemerintah diatasnya berlangsung cepat dan efisien, kepala daerah tidak (berani) bertindak sendiri tanpa ada persetujuan dari pemerintah diatasnya dengan demikian minim terjadi korupsi kepala daerah yang merampok kekayaan daerahnya sendiri.

Pseudo Democracy

Para reformis kemudian berikhtiar bahwa kekuasaan yang sentralistis seperti pada masa Soeharto harus dihapuskan. Maka sejak itu kita sering mendengar istilah desentralisasi, yang tujuannya adalah mengurangi kekuasaan negara yang terpusat pada ibukota negara. Kekuasaan tidak boleh lagi dipusatkan melainkan harus tersebar pada setiap daerah di seluruh negara kepulauan Indonesia.

Kekuasaan terpusat ditenggarai sebagai penyebab korupsi birokrasi yang terjadi pada masa Soeharto. Sebagai implementasi dari ide desentralisasi maka diwujudkanlah program Otonomi Daerah. Otonomi daerah ini memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengelola dan mengatur daerahnya sendiri, termasuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang ada didaerahnya untuk kepentingan daerah tersebut. Kemudian setelah berlakunya UU No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, ditengah semangat demokratisasi diperkenalkanlah sistem pemilihan langsung untuk pemilu kepala daerah di Indonesia. Juni 2005 pilkada langsung pertama di Indonesia dilaksanakan di kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.

Hampir Sepuluh tahun sudah sejak pemilihan langsung diperkenalkan pada rakyat Indonesia, euforia demokrasi pasca reformasi masih menggebu-gebu ditengah masyarakat saat pertama kali didaulat menentukan langsung siapa kepala daerahnya dan bahkan presidennya. Namun dalam sepuluh tahun ini juga kita menyaksikan bahwa pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) juga menjadi penyebab munculnya ‘penyakit-penyakit’ baru dalam kehidupan bernegara kita.

Dengan seringnya terjadi kerusuhan antar pendukung calon kepala daerah, fenomena ini mengindikasikan adanya ketidaksiapan mental masyarakat maupun penyelenggara dalam menjalankan kontestasi kepala daerah secara langsung. Kemudian, banyak dari hasil pilkada yang ditetapkan oleh KPUD digugat oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan ke Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga kepala daerah sering malah ditetapkan oleh keputusan hakim MK.

Seringnya gugatan pilkada dilayangkan ke MK menjadi ladang baru untuk korupsi, contoh kasus paling fenomenal adalah tertangkap-tangannya Aqil Mochtar sebagai Ketua MK menerima suap terkait sengketa kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dari pengembangan kasus Aqil Mochtar, ternyata sengketa pilkada kabupaten Gunung Mas bukan yang pertamakali dimana Aqil memenangkan sengketa karena menerima suap.

Total ada 15 sengketa pilkada dimana Aqil menerima suap, antara lain; Pilkada Gunung Mas, Pilkada Lebak, Pilkada Empat Lawang, Pilkada Kota Palembang, Pilkada Lampung Selatan, Pilkada Kabupaten Buton, Pilkada Pulau Murotai, Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah, Pilkada Propinsi Jawa Timur, Pilada Kabupaten Merauke, Pilkada Kabupaten Asmat, Pilkada Kabupaten Boven Digoel, Pilkada Kota Jaya Pura, Pilkada Kabupaten Nduga, dan Pilkada Provinsi Banten.

Kerusuhan pilkada, korupsi kepala daerah, dan kecurangan yang kerap terjadi di setiap penyelenggaraan pilkada menimbulkan kejenuhan bagi masyarakat. Kejenuhan ini juga diakibatkan karena berulangnya pilkada dilakukan, ini terjadi karena pilpres dan pileg tidak dilakukan serentak dengan pilkada provinsi dan atau pilkada kabupaten.

Dalam satu tahun satu daerah bisa melakukan dua pilkada berbeda untuk memilih gubernur dan bupati, dan dalam setahun itu Indonesia bisa melaksanakan 205 kali pilkada, sungguh menguras tenaga, mental dan biaya yang tidak sedikit. Kejenuhan itu bisa kita lihat dari kecenderungan meningkatnya persentase golput di setiap pilkada yang rata-rata mencapai 30-40% disetiap pilkada, bahkan pilkada Sumut tahun lalu suara golput mencapai 51.5%. Ini dapat kita artikan bahwa lebih dari setengah pemilik suara di Sumut tidak perduli dengan adanya pilkada tersebut.

Bukan hanya soal kekisruhan saat pilkadanya saja, para kepala daerah yang dihasilkan oleh pilkada langsung ini merasa memiliki superioritas lebih karena dimandatkan langsung oleh rakyat. Sehingga sering terjadi ketidak-efektifan komunikasi birokrasi, misalnya antara gubernur dengan bupati atau bupati/walikota dengan DPRD. Bupati dan gubernur misalnya berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi tentang program yang seharusnya dapat disinergikan antara provinsi dan kabupaten, karena bupati merasa berhak mengelola daerahnya sendiri tanpa ikut campur provinsi.

Pola birokrasi hasil pilkada langsung ini menciptakan pula perubahan pola korupsi, kepala daerah memiliki kewenangan untuk mengelola kekayaan alam daerahnya, ini menjadi celah bagi setiap kepala daerah untuk ‘menjual’ kekayaan daerahnya kepada perusahaan swasta dengan menerima suap untuk penerbitan izin misalnya dan banyak celah lainnya. Kita dapat menyaksikan sendiri sudah banyak kepala daerah yang ditangkap karena kasus korupsi seperti ini.

Pilkada langsung memang memberikan kesan bahwa prosedur yang kita jalankan terlihat sangat demokratis, karena rakyat terlibat langsung dalam proses pemilihan. Namun seperti yang dikatakan Hannah Arendt; “Kekuasaan dimandatkan oleh masyarakat, namun masyarakat kemudian hanya memiliki kekuasaan itu pada saat pemilihan umum. Setelah itu, kekuasaan berpindah ke tangan penguasa yang mereka pilih.” Kita lupa setelah pemilu, si kepala daerah melenggang kangkung dengan kekuasaannya dengan sedikit kontrol dari DPRD dan hampir tidak ada kontrol dari rakyat yang memilihnya secara langsung.

Belum lagi jika kita menilik bahwa di setiap pilkada hampir semua calon memainkan politik uang untuk mendapatkan suara rakyat. Dari pengalaman saya mengikuti pilkada di beberapa daerah nilai satu suara dihargai mulai 50 ribu sampai 300 ribu rupiah dalam setiap pilkada, besaran nominal rupiah tersebut berbeda-beda disetiap daerah tergantung kondisi ekonomi rakyat kebanyakan didaerah tersebut.

Kebiasaan politik uang yang dilakukan oleh calon kepala daerah ini yang kemudian menjadi tradisi disetiap perhelatan pilkada, rakyat kemudian menentukan pilihan karena besaran uang yang diterima, bahkan ada beberapa kasus dimana pemilih tidak mau datang ke TPS karena belum mendapatkan uang dari calon kepala daerah. Benar yang kita jalankan adalah demokrasi, tapi apakah demokrasi seperti ini yang kita harapkan? Seolah-olah seperti demokrasi.

Dalam perjalanannya kemudian muncul kritik terhadap terapan demokrasi seperti ini, demokrasi seharusnya berjalan dengan nilai-nilai substansialnya bukan hanya pada tahapan prosedural. Negara kita dianggap sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, bahkan pemilu kita adalah pemilu terbesar dan terkompleks di dunia, dimana satu kali pemilu legislatif misalnya digunakan untuk memilih tiga lembaga berbeda (DPRD, DPR RI, DPD) serentak diseluruh Indonesia secara langsung.

Namun ukuran besarnya demokrasi itu hanya berdasarkan penyelenggaraan pemilu saja, dan banyak dari kita telah mengecilkan makna demokrasi sama dengan pemilu saja. Inilah yang disebut oleh kritikus sebagai demokrasi prosedural, kita memang menjalankan prosedur-prosedur demokrasi namun meninggalkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Partisipasi rakyat hanya diukur saat pemilu saja, sedangkan dalam pembuatan kebijakan publik setelah pemilu, rakyat tidak diajak bahkan tidak ditanyakan pendapatnya. Serta-merta ‘komunikasi’ antara kepala daerah dengan rakyat pemilihnya berhenti ketika pilkada usai dan ia terpilih.

Kita harus menolak asumsi dasar bahwa demokrasi tidak lebih dari sekedar proses dalam pemilihan umum karena dalam pembuatan kebijakan publik setelah pemilu, harus melalui serangkaian komunikasi yang berorientasi pada kesetaraan dialog antara penguasa dan yang dikuasai. Usaha ini bertujuan untuk membatasi munculnya kepentingan mayoritas yang mendominasi kebijakan yang menguntungkannya.

Sejak sepuluh tahun terakhir ini kita menyaksikan berubahnya demokrasi kita menjadi sangat liberal, bahkan lebih liberal dari punggawa demokrasi liberal sendiri, Amerika Serikat. Demokrasi kita telah berubah dari talk-centric (musyawarah) menjadi voting-centric serta lebih menekankan angka-angka (numerable) ketimbang alasan (reasonable). Demokrasi dengan voting dan perwakilan –seperti demokrasi liberal-, tanpa dialog, musyawarah dan permufakatan hanya akan membuat demokrasi kita didominasi oleh kepentingan mayoritas, jauh dari harapan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.

Depok, 29 September 2014

Tipu Muslihat dibalik wacana Mobil Murah

Belakangan pro dan kontra akan kehadiran mobil murah semakin sengit dibicarakan. Bahkan ada beberapa kepala daerah jelas-jelas menolak kehadiran jenis kendaraan yang katanya ramah lingkungan dan ramah di kantong konsumen ini. Isu mengenai LCGC atau lebih sering dipadankan dengan sebutan mobil murah sudah mulai terdengar sejak setahun terakhir ini. Setelah segala aturannya dikeluarkan pemerintah dan mobilnya diproduksi, LCGC kian menjadi buah bibir apalagi setelah sukses diperkenalkan di IIMS 2013.

LCGC secara konsep terlihat seperti proyek visioner pemerintah nasional, pemerintah seakan-akan memiliki visi ke depan bagaimana mewujudkan mobil yang dapat terjangkau oleh kebanyakan warga negara dan meningkatkan perekonomian nasional dari sektor otomotif. Lalu kenapa muncul pro dan kontra terhadap kehadirannya?

Terasa janggal memang, entah kenapa keberadaan visi ini bukannya malah mendorong terwujudnya cita-cita mobil Nasional yang sesungguhnya. Yang terjadi adalah para ATPM yang menjadi perpanjangan tangan merek mobil asing sebagai penguasa pasar otomotif nasional diberi misi untuk menciptakan mobil sesuai ‘visi’ pemerintah tadi. Maka muncul lah konsep Low Cost Green Car (LCGC) yang secara harfiah berarti konsep mobil yang murah ongkosnya (baik produksi ataupun perawatannya) serta ramah lingkungan.

Kategori yang disusun pemerintah untuk LCGC adalah mobil dengan spesifikasi; harga berkisar antara 50 juta sampai 85 Juta Rupiah, konsumsi BBM paling tidak mencapai 20 Km/liter, dan menggunakan bahan baku dalam negeri sedikitnya 60% dari seluruh komponennya.

Lalu bagaimana dengan kenyataannya? Benarkah mobil ini murah? Harga mobil tersebut setelah resmi di rilis berkisar antara 75-120 juta Rupiah. Ternyata memang benar ‘murah’ dibandingkan dengan mobil keluarga kelas menengah yang berkisar antara 150-200 jutaan. Jelas sekali kata ‘murah’ disini merupakan trik marketing, kata ‘murah’ akan memanipulasi psikologi masyarakat sebagai pangsa pasar produk ini.

Mental masyarakat dikondisikan untuk menerima bahwa produk ini memang murah dan layak dibeli. Bahwa kata ‘murah’ hanyalah manipulasi psikologis konsumen dalam marketing diperkuat dengan kenyataan dilapangan, saya mengambil contoh produk LCGC termurah dari Daihatsu yaitu AYLA tipe D manual seharga 75,5 juta. Pihak Daihatsu menjelaskan AYLA dengan harga itu adalah tipe sangat standar; tidak ada power steering, AC, bahkan Audio. Sementara peleknya pelat baja tanpa dop dan ban diameter 13 Inch. Mereka mengakui bahwa harga di angka 75 juta hanyalah harga psikologis. Bayangkan mobil seperti ini digunakan di jalanan kota yang macet dan panas? Pemiliknya malah harus mengeluarkan biaya lebih banyak lagi jika ingin membuat mobil ini nyaman atau lebih gaya. Low Cost?

Low Cost sudah terbantahkan, bagaimana dengan prinsip Green Car -nya? Faktanya tidak ada teknologi baru yang digunakan dalam mobil-mobil LCGC ini, kapasitas mesin kecil bukanlah indikator sebuah kendaraan disebut ‘green’. LCGC jelas bukan mobil listrik atau hybrid yang teknologinya masih mahal. Mobil pengguna bahan bakar fosil (BBM) dengan jumlah yang massif dan bertumpuk dikemacetan tidaklah sesuai dengan semangat ‘green car’.

Harga murah juga karena dukungan ‘fasilitas’ dari pemerintah. Dengan keluarnya PP nomor 41 Tahun 2013 yang membebaskan mobil kategori LCGC dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) serta pembebasan beamasuk suku cadang-nya. Kebijakan ini jelas-jelas menguntungkan ATPM dan merugikan negara karena kehilangan potensi pendapatan dari pajak tersebut.

Kebijakan meluncurkan LCGC ini menimbulkan paradoks dengan komitmen-komitmen populis yang sebelumnya dilontarkan pemerintah seperti ingin mengurangi kemacetan di kota-kota besar, penghematan penggunaan BBM, serta gencarnya pemerintah mengejar target pendapatan negara dari sektor pajak. Kemacetan sudah bisa dipastikan semakin parah karena masyarakat yang kecewa dengan kondisi transportasi umum dan merasa memiliki kemampuan, pasti lebih memilih membeli mobil ini. masyarakat yang biasanya jadi pemakai jasa transportasi umum perlahan akan beralih menjadi pengguna kendaraan pribadi.

Penghematan pemakaian BBM hanya tinggal slogan saja, di satu sisi pemerintah kalang kabut memenuhi konsumsi BBM nasional, tapi disisi lain mendorong penjualan dan pemakaian mobil, aneh. Lebih aneh lagi pemerintah rela kehilangan pendapatan dari pajak pembelian mobil agar mobil-mobil tersebut lebih cepat diserap pasar, keuntungan bagi ATPM, kerugian bagi negara.

Para pejabat yang mendukung LCGC dan individu awam yang senang dengan LCGC ini memandang bahwa ini adalah kesempatan bagi masyarakat atau dirinya bisa memiliki mobil. Kita tahu kekuatan Pasar dengan invisible hand-nya akan selalu menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru bagi mangsanya. Apa yang dulu mungkin bukan kebutuhan bagi sebahagian orang, tiba-tiba saja menjadi kebutuhan mendesak dengan rekayasa sosial dan psikologis, misalnya mencekoki masyarakat dengan iklan yang bertubi-tubi.

Masyarakat ‘dikondisikan’ untuk merasa butuh kendaraan pribadi dengan merampas haknya untuk mendapat sistem transportasi umum yang baik. Kondisi transportasi umum dibiarkan amburadul yang menghasilkan persepsi masyarakat memiliki kendaraan pribadi adalah yang pilihan yang terbaik. Masyarakat kelas menengah kebawah yang terpaksa membeli kendaraan seperti motor atau mobil bekas dan LCGC tentu bisa memenuhi kebutuhan lain yang lebih penting kalau mereka tidak terpaksa membeli kendaraan pribadi.

LCGC hanya memberikan ilusi kenaikan status sosial. Kenyataannya dengan kondisi seperti sekarang bila keluarga kelas menengah membeli mobil ini, ia akan menghambat peningkatan kesejahteraan penggunanya. Salah satu indikator sejahtera adalah tersedianya waktu senggang yang cukup, macet mengurangi kesejahteraan karena waktu senggang jadi hilang. Pembeli kendaraan pribadi yang mengorbankan kebutuhan lain yang juga penting, terjebak jadi penyumbang pajak dan pemberi keuntungan bagi pengusaha. Maka mobil murah adalah benar-benar ilusi yang diberikan lewat brand LCGC.

Ternyata LCGC sangat sedikit sekali manfaatnya bagi masyarakat dan lebih banyak menguntungkan ATPM dan produsen mobil tersebut. Tugas pemerintah adalah meringankan beban masyarakat banyak dan menyelenggarakan kegiatan ekonomi untuk kemakmuran rakyat bukan kemakmuran pengusaha. Jika kemacetan parah terjadi kemakmuran masyarakat akan menurun, biaya untuk transportasi dan bepergian semakin tinggi. Kerugian baik seperti waktu produktif yang terbuang dan waktu senggang sedikit. Dari segi kesehatan stress dan depresi akan menyerang masyarakat serta kerugian dari pemborosan BBM.

Bagaimanapun pemerintah yang terlihat seperti di dikte oleh perusahaan otomotif, dan perusahaan perbankan ini tidak bisa kita harapkan untuk membatalkan kebijakan mobil LCGC ini. Walaupun beberapa gubernur populis seperti Jokowi, Ganjar pranowo di Jateng, Sukarwo gubernur Jatim dan walikota bandung Ridwan Kamil menolak mobil murah. Penolakan mereka jelas karena ketakutan ledakan populasi mobil ini memperparah kemacetan di daerah mereka. Yang lebih penting lagi adalah kita sebagai warga negara harus sadar dan melepaskan diri dari manipulasi psikologis dari pengusaha dan pedagang yang melihat penduduk Indonesia hanya sebagai pasar empuk yang potensial, sialnya negara ini bukannya melindungi warganya malah berkolaborasi dengan mereka.

Depok, 4 November 2013

May Day dan Ego Sektoral

Tahun 1918 di Kota Surabaya diperingati May Day atau hari buruh pertama di Indonesia. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara Asia pertama merayakan 1 Mei sebagai hari buruh. 

Melalui UU Kerja No. 12 Tahun 1948, pada pasal 15 ayat 2, yang berbunyi “Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban kerja”, kaum buruh Indonesia, pada masa itu, tiap tahun selalu memperingati May Day. Namun sejak peristiwa G 30 S PKI peringatan hari buruh ini dilarang di Indonesia karena diidentikkan sebagai bagian dari ajaran komunisme. Kemudian sejak tumbangnya Orde Baru, pada 1999 May Day kembali diperingati oleh kaum buruh di seluruh Indonesia bersama gerakan buruh sedunia.

“Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!” demikian Karl Marx menutup Manifesto Komunis yang ditulisnya hampir 200 tahun yang lalu. Slogan ini acap kali dipakai untuk membakar semangat buruh dan membangkitkan organisasi-organisasi perjuangan buruh.

Anak Kandung Sejarah Kapitalisme

Kenapa kaum buruh di istimewakan oleh Karl Marx hingga mendapat prioritas lebih dalam perhatian Karl Marx? Tidak lain dan tidak bukan karena analisis Marx terhadap kapitalisme mengatakan bahwa kapitalisme hidup dari penghisapan nilai lebih yang dihasilkan buruh yang bekerja di pabrik, dimana pabrik adalah ikon industrialisasi. Maka Marx melihat buruh harus di sadarkan sebagai sebuah kelas dan kelas tersebut berkontradiksi langsung dengan kelas lain dalam sistem produksi mereka di pabrik, pemilik modal. Kaum buruh lah yang harus menjadi pionir terdepan dalam perjuangan melawan sistem kapitalisme, karena buruh yang menjadi penggerak industrialisasi, tonggak utama kapitalisme pada masa itu.

Usaha-usaha me-revolusioner-kan buruh pun berlaku dipabrik-pabrik. Serikat-serikat buruh berdiri sebagai wadah bagi kaum ini berlindung, belajar, dan mendapatkan kesadaran akan ‘kelas’nya. Kelas dalam konteks ini adalah terminologi dalam marxisme untuk membedakan antar kelompok dalam suatu sistem yang saling berkontradiksi. Maka sesuai ajarannya, para penganut marxisme mengedepankan kaum buruh sebagai pelaku utama penggerak revolusi menumbangkan kapitalisme, atas dasar ini pula Bung Karno menyebut kaum ini adalah Soko Guru Revolusi.

Bukan isapan jempol semata analisis Marx tentang perlunya merevolusionerkan buruh ini menjadi kenyataan dengan berdirinya Uni Sovyet. Negara yang mengadopsi ideologi komunis yang didirikan oleh kekuatan buruh, walaupun akhirnya runtuh pada tahun 1991 di umur 74 tahun. Lalu matikah gerakan buruh? Tidak. Dimana masih terdapat industri dan pabrik-pabrik maka disitu ada buruh, dan dimana ada penindasan maka disitu ada perlawanan. Sebagai bagian yang terintegrasi dalam sistem produksi kapitalisme buruh akan tetap eksis, namun yang perlu dipertanyakan, apakah mereka masih revolusioner? Masihkah mereka mempertahankan posisi mereka sebagai kelas yang berkontradiksi dengan pemilik modal?

May Day diperingati untuk mengenang sebuah tragedi yang menimpa kaum buruh di Chicago tahun 1886. Dalam peristiwa itu, polisi Chicago menembaki para buruh dengan brutal ketika mereka sedang menggelar demonstrasi untuk menuntut delapan jam kerja dalam sehari, dan beberapa pimpinan buruh yang terlibat dalam demontrasi tersebut juga ditangkap dan dihukum mati. Sedangkan penetapan 1 Mei sebagai hari buruh internasional terjadi pada tahun 1889, yang merupakan salah satu hasil dari kongres Internasionale Kedua Komintern (Komunis Internasional – forum partai-partai komunis sedunia) yang diselenggarakan pada bulan Juli tahun 1889 di Paris.

Evolusi makna dan menghilangkan ego sektoral

Kini setelah lebih dari 100 tahun sejarah perjuangan buruh, kaum buruh masih dianggap sebagai salah satu kekuatan yang bisa memberikan tekanan terhadap kebijakan pemerintah. Inti kekuatan gerakan kaum ini ada pada massa-nya, maka yang ‘dihitung’ bukanlah buruh orang per orang tapi organisasi serikat buruhnya yang menghimpun mereka menjadi sebuah kekuatan yang memiliki posisi tawar. Kuantitas anggota serikat lebih utama, lalu kualitas dan militansi mengikutinya.

Dalam jangka waktu 100an tahun pasti banyak perubahan terjadi, kita tahu metode dan sistem produksi berubah, sistem permodalan juga berubah, namun apa yang berubah dari gerakan kaum buruh?

Rasanya bila mau jujur, gerakan buruh di Indonesia sudah mengalami stagnasi, pola dan tuntutannya klise dan jauh dari ciri-ciri revolusioner. Belakangan dapat kita perhatikan gerakan buruh semakin pragmatis dan hanya responsif pada apa-apa yang menyentuh langsung sisi ekonomis mereka, seperti tuntutan kenaikan upah dan atau pemutusan hubungan kerja.

Mengharapkan peran lebih dan respon terhadap sektor lain di luar masalah buruh sepertinya akan jadi angan-angan apalagi mendewakannya menjadi pionir revolusi. Apalagi pada masa keemasan demokrasi prosedural ini, serikat buruh dianggap sebagai alat untuk mendapatan legitimasi non-partai dan kantung suara yang mudah dimobilisir. Beberapa elit serikat buruh pun dengan gampangnya menyatakan dukung-mendukung salah satu calon dalam sebuah pemilukada, begitu mudahnya sekarang menjalin aliansi dalam politik walaupun tanpa kesamaan ideologi.

Menyadari potensi kekuatan massa buruh bila terkonsolidasi dengan baik, pihak-pihak diluar buruh yang memiliki kepentingan terus mengembangkan cara memoderasi pola gerakan buruh untuk tidak mengatakan menghapus ideologi dari gerakan buruh. Contoh paling nyata adalah upaya dari beberapa pemerintahan daerah yang memfasilitasi elemen-elemen serikat buruh dalam memperingati hari buruh.

Beberapa tahun belakangan peringatan hari buruh banyak di ’kandangkan’ di gedung-gedung olahraga ataupun lapangan stadion untuk menikmati hiburan seperti dangdutan serta menerima pidato-pidato seremonial pejabat pemerintah terkait. Pemerintah menanggung semua biaya yang dikeluarkan, para buruh tinggal menikmati pesta ‘hari buruh’ yang difasilitasi pemerintah termasuk makan siang gratis yang dibagi-bagikan asalkan buruh tidak berdemonstrasi di jalan-jalan.

Marx sendiri menyatakan tiada sesuatu yang abadi melainkan perubahan itu sendiri. Sifat-sifat dalam suatu kontradiksi pun ikut berubah mengikuti zamannya, 100 tahun lalu penghisapan terhadap buruh terlihat kontras, perlawanan buruh diredakan dengan tindakan represif dan brutal oleh alat koersif negara (polisi & tentara). Kini hubungan antara buruh yang dulu dianggap pioner revolusi dengan aparat keamanan yang notabene penjaga kepentingan modal tidaklah sekaku hubungan mereka terdahulu.

Walaupun di beberapa kesempatan masih sering berjumpa secara frontal, namun kini pendekatan aparat keamanan maupun pemerintah lebih persuasif. Namun sayangnya gerakan buruh sepertinya terlena dengan ‘pengakuan’ yang diberikan oleh institusi resmi negara ini. Pengakuan bahwa mereka dianggap ada, difasilitasi, diajak bertemu dan bertatap muka langsung dengan pejabat pemerintah, walaupun kenyataannya semua itu tidak serta-merta menyelesaikan apa yang menjadi tuntutan dasar mereka.

Kalau kita runut sejarah peringatan May Day sebagai hari buruh, jelas May Day harus menjadi peringatan dengan karakter yang revolusioner. May Day bukanlah moment yang diperingati layaknya hari ulang tahun atau hari jadi sebuah pernikahan yang sarat  dengan hiburan dan hura-hura.

Lebih jauh, May Day adalah sebuah momentum untuk membangun kesadaran kelas dan memperkuat posisi politik buruh. Momen yang seharusnya bisa menjadi media konsolidasi kaum buruh seluruh Indonesia dan memunculkan isu dan slogan yang sama di tengah krisis politik dan mandegnya gerakan buruh dan gerakan sosial secara keseluruhan.

Soko Guru revolusi adalah penghargaan sekaligus beban yang terlalu berat untuk dipikul kaum buruh pada masa ini. Taklid kepada slogan itu merupakan sebuah kenaifan ditengah masyarakat ultramodern yang sudah jauh berubah struktur dan cara berkomunikasinya.

Kita dapat melihat dan mempelajari bagaimana pecahnya pemberontakan-pemberontakan, bahkan penggulingan pemerintahan di jajirah Arab beberapa tahun lalu tidak didominasi oleh salah satu sektor pekerjaan. Cukup sudah peran ego sektoral dimainkan, tidak ada sektor yang lebih berhak dari sektor yang lain untuk menjadi aktor utama perubahan di negeri ini, tidak buruh, tidak petani, tidak miskin kota, tidak mahasiswa, tidak juga kalangan profesional.

Yang kita perlukan adalah sinergisitas antar faksi-faksi sektoral yang ada, kalau perlu hapuskan saja wacana sektoral pada tiap isu-isu yang diperjuangkan. Perjuangan buruh harusnya merupakan perjuangan petani juga, begitu pula sebaliknya karena sebenarnya hubungan mereka dalam masyarakat pun berlaku timbal balik.

Bisa saja dalam sebuah keluarga seorang ayah adalah petani sedangkan anaknya adalah seorang buruh pabrik. Buruh mengkonsumsi hasil produksi petani, petani membutuhkan buruh sebagai pembeli. Begitupun mahasiswa merupakan bagian dan berkepentingan memperjuangkan sesuatu di luar persoalan-persoalan normatif mereka.

Tuntutan yang terfraksi-fraksi tidak akan memiliki daya juang yang lama. Sebaliknya perjuangan yang diusung bersama-sama akan memiliki kekuatan perubahan yang lebih kuat dan besar peluangnya. Selamat hari buruh selamat hari perjuangan bersama.

 

dimuat di Koran Sindo 1 Mei 2013