Katanya wabah Covid-19 ini akan mengatur-ulang (me-reset) perilaku manusia dalam segala hal. Mulai dari cara berinteraksi antar sesama, penggunaan uang tunai, pilihan makanan, bisnis yang dijalankan, pilihan rekreasi dan banyak lagi segi kehidupan yang kini terdampak Covid-19 akan menyesuaikan dengan perubahan perilaku manusia setelah wabah ini berakhir.
Kebun Binatang (zoo) adalah salah satu bisnis destinasi ‘wisata’ yang terdampak akibat wabah ini. Himbauan tidak keluar rumah dan pembatasan sosial-fisik (physical & social distancing) membuat Kebun Binatang harus tutup. Masalah baru kemudian timbul, kira-kira sebulan setelah wabah ini muncul di Indonesia, dan Kebun Binatang ditutup, binatang-binatang itu dikabarkan kelaparan. Mereka yang dikurung disana sudah tentu tidak dapat mencari makanan sendiri, mereka sejak lama sudah menjadi tahanan pesakitan, makanannya dijatah oleh pengelola/pengusaha Kebun Binatang yang sumber biayanya dari tiket orang-orang yang datang menonton mereka.
Orang-orang yang datang menonton binatang-binatang yang dikurung ini memiliki bermacam-macam motivasi. Dimana motivasi-motivasi itu kini mulai terdengar absurd, misalnya, untuk tujuan pendidikan (maka kita lihat banyak murid TK dan SD melakukan ‘studi tour’ ke Kebun Binatang), lalu tujuan rekreasi (melepas penat, mencari hiburan, pleasure), atau hanya penasaran saja, ikut-ikutan karena ada orang yang pergi kesana.

Masyarakat yang menjadi konsumen kebun binatang tidak dapat disalahkan, mereka hanyalah korban dari mindset yang ditanamkan sejak lama oleh sistem yang mendukung eksploitasi binatang adalah hiburan yang mendidik. Bagaimana bisa menonton binatang yang depresi karena dikurung seumur hidup bisa menghilangkan stress dan menghibur manusia? Pendidikan apa yang diharapkan didapat oleh anak-anak kita, ketika melihat binatang-binatang yang seharusnya hidup bebas di hutan dengan makanan alamiahnya, malah hidup terpenjara di sel-sel sempit dengan makanan yang tidak layak?
Saya takut anak-anak yang diajak melihat binatang-binatang yang dikurung ini kemudian mengadopsi konsepsi yang salah, bahwa semua binatang adalah taklukan manusia, derajatnya dibawah manusia sehingga ia harus dikurung, ditaklukkan, yang boleh bebas hanya manusia. Habitatnya kemudian tidak masalah dieksploitasi, toh binatangnya sudah berada di kebun binatang. Hutan-hutan kemudian disulap menjadi kebun-kebun produksi raksasa untuk kebutuhan manusia, binatang yang tertinggal dan masih bebas kemudian dicap sebagai hama oleh manusia yang merasa lebih beradab. Maka Harimau, Gajah dan Orang Hutan yang pada masa kakek dan nenek kita hidup berdampingan, tiba-tiba sekarang disebut pengganggu manusia, masuk ke kampung merusak tanaman, membunuh ternak. Benar-benar hama yang harus dimusnahkan, sepanjang tahun kemdian kita membaca berita tentang binatang-binatang yang bingung ini mati ditangan manusia, hanya karena terlihat memasuki pemukiman atau kebun yang dibangun di wilayah hutan mereka.


Krisis yang dihadapi oleh kebun binatang yang terjadi merata diseluruh dunia semoga menjadi titik balik manusia abad digital agar meninggalkan perilaku mengunjungi kebun binatang, perilaku yang dibangun diatas eksploitasi terhadap binatang dan lingkungan. Sudah saatnya kita menyadari bahwa ide mengurung binatang untuk ditonton adalah salah secara moral, dan berbahaya bagi kelangsungan kehidupan di bumi. Ada banyak cara yang lebih beradab untuk mengedukasi anak-anak kita tentang kehidupan alam liar dan binatang-binatangnya; melalui buku bergambar, video dokumenter dan foto-foto yang semuanya melimpah dan bisa diakses dalam genggaman, menampilkan biantang yang hidup di habitat alaminya, berburu makanan atau berinteraksi dengan keluarganya, bukan duduk termenung didalam sel kebun binatang . Jadi tidak ada alasan apapun bagi orang tua dan sekolah pada era revolusi digital 4.0 ini untuk mendukung bisnis eksploitasi binatang seperti kebun binatang ataupun sirkus-sirkus binatang. Berhenti mengunjungi kebun binatang berarti mempercepat tutupnya kebun binatang, menghentikan eksploitasi binatang dan menghentikan penangkapan binatang dari alam liarnya.
Bagi pemerintah daerah yang memiliki kebun binatang, sudahilah. Sudah terlalu banyak berita miris tentang binatang-binatang terlantar bahkan jauh sebelum wabah Covid-19 ini ada. Kebun binatang tidak relevan lagi menjadi ikon daerah ataupun objek untuk pendapatan daerah. Tutup saja penjara binatang itu, lepaskan mereka ke habitat alaminya perlahan-lahan. Pemimpin transformatif tidak hanya terus mewarisi dan melestarikan tradisi yang sudah usang, mulailah sejarah baru dalam hubungan antara manusia dan binatang.
