Judul tulisan ini bisa jadi terdengar sangat paradoks, bagaimana bisa sebuah instrumen demokrasi yaitu pemilu, malah dianggap gagal dalam melaksanakan demokratisasi? Tetapi itulah yang terjadi di masyarakat kita pada saat pesta demokrasi tersebut berlangsung pada 9 April 2014 yang lalu.
Hanya dalam hitungan hari pasca pemilu, muncul kepermukaan berbagai macam kecurangan dalam pelaksanaan pemilu tersebut. Modusnya dan oknum yang terlibat bermacam-macam, namun yang paling marak terjadi seperti yang ramai diberitakan di media adalah praktik penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara pemilu mulai dari anggota KPPS yang bertugas di TPS sampai pada anggota PPK yang bertugas di Kecamatan. Para Caleg nakal tentunya terlibat dalam kasus ini sebagai ‘pemesan’ atau ‘klien’ yang akan digelembungan suaranya melalui akal-akalan anggota penyelenggara pemilu tadi. Kecurangan dilakukan dengan cara mencoblos sendiri kertas-kertas suara yang tidak terpakai lalu dimasukkan kedalam kotak suara yang tertutup ataupun menukar kertas suara yang sudah di coblos dengan membuka kotak suara, tentunya tanpa diawasi oleh saksi-saksi dari partai peserta pemilu. Parahnya dalam beberapa kasus, para penyelenggara itulah yang secara aktif menawarkan ‘jasa’ menggelembungkan suara kepada caleg-caleg yang bertarung dengan tarif yang sudah mereka tetapkan.
Apa yang terjadi diatas tentunya sudah sangat keterlaluan. Praktik politik uang tidak lagi hanya menjadi transaksi antara caleg dengan calon konstituen untuk mempengaruhi pilihan mereka, namun sudah sampai memasuki dan merusak sistem pemilu itu sendiri. Apabila penyelenggara pemilu sendiri yang secara sadar melakukan kecurangan terhadap hasil suara rakyat untuk keuntungan suatu pihak, maka sebenarnya pemilu yang kita bangga-banggakan sebagai indikator berjalannya demokrasi di Indonesia itu telah mati atau setidaknya mulai membusuk dari dalam.
Salah satu hal yang substansial antara para pemilih (pemilik suara) dengan sistem pemilu dan penyelenggaranya – dalam hal ini KPU—adalah adanya kepercayaan dan legitimasi terhadap lembaga penyelenggara tersebut. Legitimasi KPU sebagai penyelenggara pemilu cukup kuat secara hukum, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, Kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu pun mulai tumbuh pasca tumbangnya Orde Baru. Terbukti dari perilaku pemilih dan mereka yang golput pada pemilu-pemilu pasca reformasi bukanlah karena ketidakpercayaan pada penyelenggaranya (KPU) tetapi lebih pada rasa apatis terhadap politik secara umum atau khusunya pada partai politik dan oknum politisi yang korup.
Melihat Pemilu 2004 ketika pertama kalinya kita melaksanakan pemilihan langsung terhadap caleg dan capres adalah pemilu yang sukses dalam artian pelaksanaan yang teratur, damai dan transparan. Keberhasilan pemilu ini melambungkan nama Indonesia ditengah-tengah pergaulan Internasional sebagai negara yang berhasil demokrasinya. Klaim-klaim bermunculan atas prestasi pesta demokrasi yang paling rumit dan terbesar didunia ini. Namun keberhasilan ini menghasilkan preseden bahwa rakyat Indonesia dan pemerintahnya sudah sangat mampu menyelenggarakan pemilu dengan menjunjung tinggi kaedah-kaedah demokratis dalam pelaksanaannya. Sehingga pada pemilu berikutnya, 2009 dan 2014, kontrol dan pengawasan juga rekruitmen para anggota penyelenggaranya lemah dan tidak seketat Pemilu 2004.
Euforia pemilihan langsung pertama oleh rakyat pada 2004 memang mengundang banyak elemen independen diluar partai -dari dalam dan luar negeri- untuk mengawasi langsung pelaksanaan pemilu tersebut. Faktor ini bisa menjadi pendukung minimnya kecurangan yang terjadi dalam proses pemungutan maupun sampai proses rekapitulasi suara. Namun keterlibatan masyarakat sipil yang terorganisir ini sangat minim pada pemilu 2009 dan lebih minim lagi pada 2014 yang lalu.
Tidak banyak perubahan dalam sistem pemilu semenjak 2004 selain dari mekanisme proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka pada pemilu 2009. Namun politik bukanlah sebuah entitas yang stagnan, dinamika yang terjadi dalam kegiatan politik dapat berubah-ubah dalam hitungan hari apalagi jika dalam kurun lima tahun. Dan perubahan mekanisme menjadi proporsional terbuka itu ternyata memberikan implikasi yang luas dalam perubahan persaingan antar caleg dalam satu partai dalam berebut kursi. Hal ini kurang diantisipasi oleh penyelenggara pemilu kita. Anggapan keberhasilan pemilu 2004 telah mematikan daya sensitifitas mereka bahwa masyarakat kita terus berubah, mereka yang memilih pada pemilu saat ini bukanlah mereka yang memilih pada pemilu lima atau sepuluh tahun yang lalu. Dan mereka yang bertarung berebut kursi sekarang juga lebih ‘lihai’ dari sepuluh tahun yang lalu. Sehebat apapun sebuah sistem pasti memiliki celah. Apalagi sistem tersebut tidak pernah diperbarui dan tidak didukung dengan sumberdaya manusia yang berintegritas, pasti telah banyak celah yang ditemukan dan dimanfaat mereka yang berkepentingan.
Kekhawatiran paling utama atas kondisi ini adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada KPU dan Pemilu itu sendiri. Dan apabila itu terjadi, hal tersebut adalah sebuah kemunduran besar bagi demokrasi bangsa ini. Ketidakpercayaan masyarakat yang memuncak pada penyelenggara pemilu dapat menimbulkan huru-hara ditengah masyarakat kita yang masih sangat mudah terpancing emosinya ketika merasa kandidatnya dicurangi dalam pemilu. Banyak contoh kasus huru-hara yang terjadi di daerah-daerah saat Pilkada karena ada indikasi kecurangan, dan KPUD setempat tidak memiliki integritas dalam menjawab masalah itu. Bayangkan hal tersebut terjadi saat Pilpres dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 nanti, dan KPU tidak bisa mempertanggungjawabkan bahwa pelaksanaan pemilu telah berjalan dengan bersih, jujur dan adil.
Ada baiknya dilakukan evaluasi besar dalam tubuh penyelenggara pemilu setelah pelaksanaan Pileg 9 april kemarin. Bila dibutuhkan komisioner-komisioner KPU dari daerah sampai pusat yang tidak menunjukkan kinerja optimal segera diganti. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dapat melakukan intervensi terbatas terhadap pelaksanaan evaluasi di tubuh KPU ini dengan membentuk tim ad-hoc atau sejenisnya. Dan melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk menjamin suksesi kepemimpinan nasional berjalan aman, tertib dan demokratis.
Karena tanpa penyelenggara pemilu yang memiliki integritas dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, sesungguhnya demokrasi kita sedang meniti jalan di tepi jurang tanpa pagar pembatas, tinggal menunggu waktu untuk terpleset dan jatuh. Pemilu masih akan terus berjalan hanya karena masyarakat kita masih terlalu naif saja meyakini bahwa suara mereka akan benar-benar dihitung dan berarti dalam penentuan kepemimpinan nasional dalam pelaksanaan yang kacau balau begini.
dimuat di KORAN SINDO, 16 Mei 2014