Melakukan perjalanan memang seharusnya tak hanya berarti berpindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya. Biasanya sangat banyak tersedia waktu luang ketika kita melakukan perjalanan dan akan menjadi sia-sia jika waktu tersebut tak digunakan untuk sekedar memperhatikan, menyelidiki atau memahami tentang sesuatu hal baru yang kita jumpai dalam perjalanan.
Selayaknya sebuah buku, melakukan perjalanan adalah sebuah cara yang mengasyikkan untuk membuka cakrawala. Dengan melakukan perjalanan kemungkinan besar kita akan menemui berbagai hal yang baru dan berbeda dengan apa yang sehari-hari kita temui dilingkungan tempat tinggal kita. Hal-hal baru dan berbeda itu bisa jadi adalah adat-istiadat, bahasa, makanan dan minuman, kebiasaan sehari-hari, pekerjaan penduduk setempat, atau pakaian mereka dan masih banyak lagi. Sehingga sangat wajar jika seorang pejalan memiliki luasnya wawasan yang tak kalah dengan orang yang banyak membaca buku.
Sebuah kebudayaan yang besar dan dominan muncul dari kebudayaan yang disempurnakan dari kebudayaan-kebudayaan di sekitarnya. Mereka mengambil nilai dan tradisi yang baik kemudian di implementasikan kedalam budaya mereka melalui proses interaksi yang panjang sehingga menghasilkan kebudayaan yang lebih sempurna. Dahulu interaksi antar budaya itu terjadi akibat aktor-aktor perjalanan yang dilakukan oleh pedagang atau misi khusus kebudayaan yang dikirim oleh suatu kerajaan ke sebuah negeri untuk menjalin persahabatan. Maka dapat kita lihat dimana wilayah yang dahulu dekat dengan pelabuhan dan perdagangan internasional serta-merta kebudayaannya maju dengan pesat, sedangkan wilayah di pedalaman atau pulau terpencil, kebudayaan suku-suku yang tinggal didalamnya berkembang dengan lambat.
Bicara tentang perjalanan, beberapa waktu lalu saye melakukan perjalanan darat lintas sumatera dengan menggunakan mobil dan bus, serta sempat singgah di beberapa kota. Ada yang menarik perhatian saye dalam perjalanan kali ini – oh ya ini adalah perjalanan pertama saye melintasi jalan Pulau Sumatera dimulai dari ujung lampung kemudian naik keatas kearah barat Sumatera – sebelumnya saye sudah pernah melakukan trip dari Medan Ke Jambi. Apa yang menarik perhatian saye adalah gradasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat di tiap-tiap provinsi yang saye lewati. Walaupun saye tak berhenti lama disetiap kota ditiap provinsi, namun interaksi dengan pedagang dan mendengar bahasa penduduk di setiap pemberhentian bus, saye sudah bisa merasakan keunikan bahasa dan menyimpulkan beberapa hal.
Gradasi bahasa ini menarik karena saye menyadarinya ketika telah meninggalkan Lampung dan tengah berada dalam perjalanan ke kota Palembang. saye menyadari bahwa arus perubahan penggunaan bahasa di jalur lintas sumatera ini sejalan dengan jalur migrasi penduduk. Tak hanya dari arah pulau Jawa ke Sumatera, tetapi juga dari arah Sumatera ke Jawa. Di Lampung bahasa yang saye temukan digunakan dalam percakapan sehari-hari sudah banyak bercampur dengan bahasa pasaran yang berasal dari Jakarta. Misalnya pemakaian lu-gue dan istilah serta logat yang digunakan tak berbeda jauh dari istilah dan logat yang digunakan orang-orang di Jakarta. Namun semakin kita ke barat mendekati perbatasan provinsi Lampung dengan Sumatera Selatan, pengaruh bahasa Palembang semakin kuat. Ini terlihat dari bahasa yang banyak digunakan orang di pasar, kemungkinan ini terjadi karena banyak dari mereka adalah orang Palembang yang bekerja atau sudah bermigrasi ke Lampung. Dugaan saye ternyata benar, karena dua orang pekerja sebagai porter di pelabuhan Bakaheuni yang saye ajak ngobrol sebelumnya mengaku berasal dari Palembang, juga pemilik rumah makan dan pelayannya tempat saye transit menunggu tumpangan selanjutnya dari kota Bandar Lampung menuju Palembang.
Di Palembang saye berteduh selama 3 malam sambil mengunjungi tempat-tempat tersohor disana. Palembang memiliki bahasa dan logat yang khas, sangat berbeda dengan logat-logat yang saye temui sebelumnya. Menurut saye yang memang bukan ahli linguistik, bahasa Palembang sekilas terdengar seperti perpaduan bahasa melayu dan jawa yang lebih kental unsur melayunya, karena terdengar mendayu-dayu.
Begitupun di Palembang semakin kita berjalan ke Barat mendekati perbatasan, maka kita akan mendapati bahasa kaum pendatang yang perlahan mendominasi, bahasa Minang. Selidik punya selidik ternyata cukup banyak perantau minang yang menetap dan memiliki usaha di Palembang dan menjadikan bahasa mereka terdengar familiar disini karena mereka menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari diantara sesama orang minang. Bahkan saye menduga bus yang saye tumpangi untuk pergi dari Palembang ke Bukit Tinggi adalah milik pengusaha berdarah minang, karena selain nama armadanya yang berbahasa minang, pegawai, supir serta kernetnya semua berbahasa minang. Ketika saye berada didalam bus itu saye sudah merasa berada di Sumatera Barat bukan di Palembang lagi.
Ternyata penggunaan bahasa minang tak terhenti sampai disitu, ketika saye berhenti untuk makan malam di Jambi, sebagian orang yang saye jumpai terdengar memakai bahasa yang mirip dengan bahasa minang. Meski itu mungkin juga karena saye memang makan di rumah makan padang dan tak bertemu dengan penduduk setempat.
Mendapati kenyataan seperti diatas, kemudian saye tiba-tiba teringat dengan cerita dari teman saye sendiri yang bermukim di Riau. Bahwa di Riau sana yang notabene adalah wilayah kerajaan melayu, namun bahasa lisan dan logat yang populer disana terpengaruh erat dengan bahasa minang. Sepertinya hipotesa bahwa bahasa itu ditularkan dan menyebar dari kegiatan perniagaan benar adanya. Dahulu bahasa melayu begitu populer di nusantara karena para pedagang antar pulau dan negeri tetangga menggunakannya sebagai bahasa dalam perniagaan, hal ini tak terlepas karena dahulu bandar-bandar laut (pelabuhan niaga) internasional yang maju dan ramai ada di tanah melayu di selat Malaka.
Singkat cerita setelah melewati hampir separuh jalan lintas sumatera pantai barat gradasi bahasa masih terjadi, dan polanya tetap sama seperti sebelumnya. Hampir disetiap perbatasan selalu ada percampuran bahasa karena penduduknya juga telah berbaur. Kali ini yang saye dapati adalah gradasi bahasa minang ke bahasa mandailing di wilayah perbatasan Sumatera Barat dengan Sumatera Utara, daerah itu disebut dengan Panti. Masih bagian dari wilayah Sumatera Barat namun saye mendapati banyak orang memakai bahasa Mandailing disitu. Beberapa kali saye pernah singgah di salah satu kedai kopi disitu, saye beranikan diri berteriak ‘tes manis’ (mandailing “tes” = “teh”) kepada yang jaga kedai. Tanya punya tanya dengan sesama peminum kopi disitu memang di Panti ini banyak pendatang dari Sumatera Utara terutama dari Mandailing dan Tapanuli Selatan. Saye tak bertanya lebih jauh sejak kapan pendatang dari Sumut ada di Panti, tetapi sepanjang penglihatan saye masyarakat di Panti terlihat damai dan rukun tanpa ada gejolak sosial karena perbedaan suku. Dugaan saye pembauran itu telah berlangsung lama sejak agama Islam mulai menyebar dari Sumatera Barat ke wilayah Tapanuli Selatan melalui jalur yang saye lewati ini. — 00 — Depok, 13 September 2014