Disrupsi dan Peran Pemuda

A. Memahami disrupsi itu sendiri

            Era disrupsi yang kita bicarakan saat ini adalah sebuah era dimana sistem dominan yang sudah bercokol lama -dalam bentuk brand/merek, peraturan, manajerial, pola pikir- kemudian terganggu/diganggu/disrupted oleh sebuah inovasi yang datang entah darimana, tidak dikenal dan tidak diprediksi, sehingga pada awalnya sering disangkal kehadirannya oleh pemain lama yang mapan, atau mereka yang tidak siap dengan perubahan. Kemudian pada akhirnya mereka terdisrupsi (english: disrupt; drastically alter or destroy the structure of; Cause radical change in industry or market by means of innovation) oleh gelombang baru inovasi yang tak terbendung.

            Dengan demikian, disruption adalah sebuah inovasi. Ia adalah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disruption berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disruption  menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat.

                “disruption menggantikan ‘pasar lama’, industry, dan teknologi, dan menghasilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative!” –Clayton Christensen

                Inovasi memang sejatinya destruktif sekaligus kreatif. Karena itulah selalu ada yang hilang, memudar, lalu mati. Semua potensi itu menimbulkan ketakutan yang membuat kita membentengi diri secara berlebihan. Di sisi lain, ada hal baru yang hidup. Jadi meski ada lapangan kerja yang hilang, selalu ada yang menggantikannya – yang membutuhkan kreativitas, semangat kewirausahaan, dan cara-cara baru.

            Tetapi apakah disrupsi akan menghabisi semua pemain lama? Ada pengecualian, pengecualian itu terjadi jika kita benar-benar cerdik berinovasi, me-reshape model bisnis dengan cara-cara baru. Pengecualian itu juga terjadi apabila para elite dan masyarakatnya mau me-reshape undang-undang atau peraturan lama atau memberi ruang sedikit lebih luas pada pembaruan

Lalu apa sebenarnya yang membuat era disrupsi itu terjadi?

            Semua ini terjadi karena kemajuan teknologi. Pertama teknologi mengubah manusia dari peradaban time series menjadi peradaban real time. Dengan gaya statistik time series kita menginterpolasi data-data masa lalu untuk memprediksi masa depan. Di masa kini, semua hal menjadi serba real time. Data hari ini, pada detik ini juga langsung terolah dalam big data dan secepat itu pula bisa disimpulkan dan ditindaklanjuti.

            Time series statistic menghasilkan indikator-indikator lagging (ketinggalan). Meski perhitungannya benar, basis data yang digunakan adalah masa lalu yang sudah lewat. Sedangkan peradaban real time bisa menghasilkan indikator terkini, yaitu saat ini ketika kita sedang menghadapinya sehingga lebih relevan untuk membuat keputusan. Itu berkat teknologi analisis big data.

            Kedua, era bisnis masa lampau mensyaratkan semua aset produksi harus dimiliki sendiri, kini kita hidup dimana aset-aset konsumtif (gedung properti, mobil, motor, kapal, karyawan dsb) terbuka untuk digunakan bersama, saling berbagi, dan tak harus dimiliki sendiri untuk memulai sebuah bisnis.

            Ketiga, teknologi masa lalu tak memungkinkan kesegeraan. Namun sekarang, kita bisa mendapatkannya begitu kita menginginkannya pada saat itu juga (on demand). Jarak sudah mati; stok digital, data, dan armada sudah dipindahkan ke dekat lokasi yang dibutuhkan konsumen. Teknologi dan algoritma bigdata memungkinkan kita melakukannya.

            Keempat, kurva penawaran-permintaan yang dulu kita palajari adalah permintaan dan penawaran tunggal. Kini kita hidup dalam dunia apps (aplikasi mobile) yang pada saat bersamaan dikerjakan oleh puluhan, bahkan ribuan jejaring yang mempercapat disrupsi.

            Kelima, musuh-musuh (kompetitor) sudah tidak lagi kasat mata. Mereka langsung masuk ke sasaran-sasaran utama, kepada konsumen, dari pintu ke pintu, langsung. Seperti restoran online yang tak memerlukan wujud fisik, namun dapat melayani pesanan langsung pada konsumen, diantar langsung ke pintu rumahnya. Ini terjadi dalam segala sektor, mulai dari pangan, pariwisata, angkutan, obat dsb. Mereka datang dari jauh dalam peradaban global, melalui teknologi dan tangan jutaan orang di sekitar kita.             Cragun dan Sweetman  (2016) mengidentifikasi lima pemicu gelombang disrupsi yang terjadi sejak 1980. Tercatat hingga tahun 2015 kita telah melewati sekitar 20 episode kejutan yang dibagi dalam lima kategori penyebab yaitu; Teknologi (khususnya IT), Teori manajemen (pengelolaan SDM, kepemimpinan, produksi dan bisnis), Peristiwa Ekonomi (peran negara, bank sentral, fluktuasi penawaran-permintaan), Daya Saing Global, dan Geopolitik.

TahunKejutan GlobalKategori
1981Meningkatnya perhatian pada kompetisiDaya Saing Global
1989Perangkat komputer dan software user-friendlyTeknologi
1991Jatuhnya Uni SovyetGeopolitik
1991Kepemimpinan vs Status-QuoTeori Manajemen
1993Penyatuan Pasar: Uni eropaGeopolitik
1995Reengineering Business ProcessesTeori Manajemen
1995Harmonisasi Telekomunikasi GlobalTeknologi
1995PC, KonvergensiTeknologi
1996Kegiatan komersial menggunakan World Wide WebTeknologi
1997Era awal E-commerceTeknologi
1999Downsizing dan Pemutusan Hubungan KerjaEkonomi
2001Perang terhadap TerorismeGeopolitik
2004Implementasi Outsourcing dan OffshoringTeori Manajemen
2006Penyebarluasan SmartphoneTeknologi
2007Social MediaTeknologi
2008Ancaman resesi Subprime Mortgage Crises amerikaEkonomi
2010Standarisasi kantor virtual dan pengenalan Business Model baruTeori Manajemen
2011Arab SpringGeopolitik
2012Eskalasi Cloud ComputingTeknologi
2015Jatuhnya harga minyak mentah duniaEkonomi
20 Gelombang Disrupsi 1980-2015

Dapat kita perhatikan, manusia menghadapi krisis atau masalah di setiap zaman, dan manusia juga selalu menemukan cara untuk mengatasinya. Namun dalam prosesnya, selalu ada ribuan korban, yaitu mereka yang gagal beradaptasi, yang kondisi internalnya tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan, dan yang terikat dengan cara berpikir masa lalu.

Perubahan gaya konsumsi

            Kita ambil contoh mengenai ekonomi berbagi (sharing economy). Karena cara-cara terkini banyak yang baru dikenal, maka para pemimpin tak serta merta paham apa yang sedang terjadi. Tentang bagaimana lapangan pekerjaan lama hilang, dan bagaimana pelaku-pelaku usaha baru menggantikannya

            Kaum muda sudah mulai meninggalkan ekonomi memiliki, yang dimasa lalu mengakibatkan semua orang ingin menguasai aset-aset produktif, sehingga banyak aset pribadi menganggur sementara di sisi lain banyak orang yang butuh namun tidak dapat mengakses aset tersebut. Ketimpangan itu mendorong mereka beralih ke ekonomi berbagi atau ekonomi akses. Bagi mereka, yang penting sesungguhnya bukan memiliki, tetapi ada atau tidaknya akses pada barang-barang itu dan semangat menghidupi.

            Kita ibaratkan penumpang transportasi online yang memiliki akses ke beragam jenis kendaraan yang diperlukannya. Mereka merasa lebih nyaman karena tidak perlu memusingkan perawatan, parkir, dan biaya ini itu. Selama akses untuk menggunakan terbuka luas, tak ada apapun yang perlu dikhawatirkan. Hal ini jauh lebih efisien ketimbang memiliki kendaraan sendiri.

            Begitu juga sektor pariwisata, travelling sedang ramai-ramainya, namun yang menuai keuntungan bukanlah jaringan hotel raksasa internasional, melainkan perusahaan platform seperti AirBnB, RedDoors, OYO yang tidak memiliki satupun aset property sama sekali. Mereka berbagi keuntungan dengan pemilik-pemilik rumah dan kamar – rakyat biasa diseluruh dunia. Terjadi gotong-royong global yang memukul semua pemain lama.   

Dari Produk ke Platform

            Orang-orang lama terbiasa dengan realitas dunia riil, fisik dan terlihat. Itu adalah dunia konvensional dengan segala produk-produknya (Toyota, Honda, Mercedes, Matahari, Ramayana, BRI, BCA, Mandiri, Hilton, JW Marriot dll). Produk-produk itu kita sebut sebagai produk dengan mata rantai linear. Ada satu produsen, single supply, lalu ada single group of demandyang kita sebut konsumen.

            Kini dunia telah berubah menjadi serba-berjejaring, bukan lokal, tetapi global. Inilah yang menjadikannya rumit dan sulit dikendalikan negara apabila masih menggunakan cara-cara lama. Bagi para pelaku usaha dalam dunia baru ini, sharing is the new buying. Mereka bukan hanya membeli, tetapi melakukan ekonomi berbagi. Terbentuklah jejaring antara sesama konsumen, bahkan sesama pemasok. Hukum supply-demand sudah berubah dari apa yang kita pelajari dari teori-teori ekonomi klasik. Saat ini terdapat kelompok pemasok dan kelompok besar konsumen yang interaktif. Mata rantai yang terbentuk menjadi tidak linear melainkan berbentuk platform.

            Begitulah platform ride sharing seperti Uber, Gojek, atau room sharing seperti AirBnB, Airy Room, OYO. Ada kelompok pemasok (pemilik kendaraan, property) bergabung dalam dunia apps. Lalu ada kelompok konsumen yang tidak saling mengenal tetapi tergabung dalam jejaring sebagai pengguna layanan apps tersebut.

B. Dimana Kita Dalam Era Disrupsi?

            Disrupting or disrupted, pemuda dan semua golongan yang terkena dampaknya hanya punya dua pilihan tersebut. Teori disruption memprediksi terjadinya disrupsi besar-besaran. Siapkah kita menghadapi bencana atau memanfaatkan kesempatan ini? Tahun 1997 Clayton M. Christensen memperkenalkan teori yang kemudian dikenal sebagai disruption. Kata disruption ini menjadi sangat populer karena bergerak sejalan dengan muncul dan berkembangnya aplikasi-aplikasi teknologi informasi dan mengubah bentuk kewirausahaan biasa menjadi start-up.

            Jika ada yang membandingkan disrupsi dengan revolusi, ya benar disruption betul-betul suatu revolusi.. Sejak krisis ekonomi Asia (1997) dan Amerika Serikat (2008), anak-anak muda diseluruh begitu bergairah membangun start-up ketimbang mencari pekerjaan. Mereka bukan sekedar berwirausaha, melainkan “mendisrupsi” industry, meremajakan, dan membongkar pendekatan-pendekatan lama dengan cara-cara baru.

            Pemain lama (incumbent) yang tak berdaya biasanya akan mengarahkan senjata terakhirnya, yaitu tenaga kerja yang terancam menganggur (jika perusahaan mereka collapse) untuk menekan regulator (unjuk rasa ke pemerintah). Begitulah respon dari mereka yang terdisrupsi. Semakin menarik karena regulator yang berkuasa  biasanya ketinggalan zaman dan tidak tahu apa yang terjadi.  

            Pemerintah juga merasa rentan karena inovasi-inovasi baru itu bepotensi mengancam pendapatan mereka dari sisi perizinan. Regulator belum paham dan tidak berfokus pada partisipasi ekonomi rakyat (khususnya kaum muda perkotaan), melainkan terfokus pada apa yang tertulis dalam mekanisme perizinan dan pungutan yang mereka terima. Disruptive economy membutuhkan disruptive leader, disruptive bureaucrat, dan disruptive mindset.

            Sebelum kita sampai pada tahapan yang harus dicapai oleh masing-masing kita (agar tidak terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru) yaitu self-disruption, berikut ini adalah poin-poin untuk memahami teori disrupsi, memahami teori perlu agar kita tidak bergerak dalam ruang gelap tanpa pemahaman yang cukup.  

            Disrupsi…;

  • Adalah suatu proses. Ia tidak terjadi seketika. Dimulai dari ide, riset atau eksperimen, lalu proses pembuatan, pengembangan business model. Ketika berhasil, pendatang akan mengembangkan usahanya pada titik pasar terbawah yang diabaikan incumbent, lalu perlahan-lahan menggerus keatas, ke segmen yang sudah dikuasai incumbent.
  • Memasuki pasar dengan business model baru, yang berbeda dengan yang sudah dilakukan pemain-pemain lama. Karena itu, inovasi business model menjadi penting.
  • Tidak semua disruption sukses menjadi pelaku disruption atau menghancurkan posisi incumbent.
  • Incumbent tak harus selalu berubah menjadi disruptor. Ada banyak strategi yang bisa ditempuh incumbent, termasuk meneruskan sustainable innovation dan membentuk unit lain yang melayani disruptor.
  • Teknologi bukan disruptor, tapi enabler. Selain TI, alat-alat baru lain dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan.
  • Disrupsi dapat menyebabkan deflasi, harga turun, karena disruptor memulai low cost strategy.

Pelajaran dari Nokia dan Kodak

            Pada 1970-an dunia hanya mengenal rol film merek Kodak dan Fuji. Kini Kodak telah tiada, sedangkan Fuji berevolusi ke dunia digital (lab, health dll). Sepuluh tahun yang lalu kita menyebut Nokia sebagai “HP sejuta umat” tapi pada 2013 kita melihat divisi handset Nokia diakuisisi Microsoft. Apa yang terjadi dengan strong brand itu?

            Ketika berhadapan dengan menurunnya revenue from sales, biasanya eksekutif mempersoalkan marketing. Yang satu mengotak-atik branding, yang lain membongkar sales, komisi penjualan, packaging, dan seterusnya. Padahal masalahnya bukan disitu. Masalahnya bukan di dalam tubuhnya, melainkan sesuatu yang telah berubah. Kalau perekonomian masih tumbuh, sementara usaha anda mengalami kemunduran, itu pertanda ada lawan-lawan baru yang tak terlihat. Temukanlah.

            Nokia pernah menjadi sahabat banyak orang di dunia, berawal dari merek sepatu menjadi ponsel dengan pendekatan ‘human touch’dan ‘connecting people’. Bentuknya jauh lebih fashionable daripada pesaing-pesaingnya; Motorola atau Ericsson. Namun tiba-tiba global market share nya mengerucut, tinggal 15%. Ketika itu terjadi, eksekutif Nokia melakukan hal serupa seperti perusahaan-perusahaan lainnya: mengotak-atik keunggulan brand-nya. Mereka lalu menjalin hubungan dengan Microsoft, yang tertarik menyebarluaskan software windows phone (penjualan PC global sedang drop, sehingga Microsoft perlu beralih ke bisnis mobile devices.

            Solusi tersebut terbukti keliru. Brand Microsoft tak mampu menjadikan Nokia lebih baik. Pasar telah beralih ke Android dan Nokia terlalu terlambat menanggapinya. Analis bisnis juga mengatakan, akuisisi Microsoft atas Nokia handset juga tak mampu menjadikan Microsoft seperti Apple yang telah terlanjur memiliki loyalis dalam kategori mobile devices.

            Pada 1980-an Sony mulai menjelajahi kamera digital, Fuji juga menangkap peluang itu, Kodak memilih duduk manis. Fuji malah menambah dana riset untuk teknologi digital. Pada 1999, total investasi risetnya di sektor digital mencapai 2 miliar dolar AS. Dengan demikian, pada 2003, mereka telah memiliki lebih dari 5000 digital processing lab. Mereka juga menjelajahi dunia kesehatan (rontgen, office automation dsb).

            Bagaimana reaksi Kodak? akhirnya Kodak hanya berkutat diseputar marketing: branding, location, pricing, packaging, advertising, dan seterusnya. Ketika Fuji telah menguasai digital processing lab, Kodak baru memiliki beberapa puluh unit saja. Inilah awal kemunduran Kodak, dengan resiko brand yang kuat pun bisa mati kalau hanya menjalankan marketing strategy. Penjualan yang turun bukanlah melulu akibat marketing salah, melainkan sesuatu telah berubah.

            Nokia dan Kodak diduga mengalami fase kepunahan karena tetap dengan pendekatan ‘produk’, tatkala dunia telah beralih ke teknologi informasi. Pada masa kejayaannya, dalam banyak kesempatan Nokia selalu mengedepankan ‘produk’ sebagai andalannya. Produk di desain dengan unik dan di proses menurut teori mata rantai nilai (value chain) yang konvensional. Sedangkan Apple di era “Steve Jobs return” langsung menyatakan dirinya sebagai telepon pintar dengan kekuatan jejaring Appstore yang menghubungkan beragam kebutuhan dan ekosistem kehidupan manusia. Apple menjadi fasilitator platform yang mengembangkan beragam jejaring, user to user, hal yang sama juga yang dilakukan Android-nya Google. Lalu kita lihat perbandingan antara Kodak dan Instagram, yang satu benar-benar menawarkan produk, yang satunya menawarkan kehidupan.

Self-Disruption

                Kita kembali lagi pada disrupting or disrupted. Sesungguhnya sedikit sekali diantara kita yang memiliki kecenderungan alami untuk dapat melihat kesenjangan atau gap sebagai sebuah peluang, bukan sebuah ancaman. Kesenjangan itu adalah modal untuk melakukan disrupsi, sesuatu yang berbeda akibat dari inovasi yang tak terpikirkan sebelumnya. Barangnya bisa sama, tetapi model bisnisnya berbeda. Para incumbent menganggap inovasi seperti itu sebagai penyimpangan, dan bagi mereka cara itu adalah ancaman, bukan peluang.

            Namun sebelum kita mendisrupsi organisasi, produk, dan rencana bisnis, kita perlu melakukan self-disruption: meremajakan cara berpikir agar lebih realistis. Self-disruption berarti kita berdamai dengan dinamika baru, mengubah ancaman menjadi peluang, membuat lebih sederhana, tentunya dengan teknologi baru.

            Meremajakan cara berpikir, ya mindset. Mindset adalah bagaimana manusia berpikir yang ditentukan oleh setting yang kita buat sebelum berpikir dan bertindak. Sama seperti kita men-setting ponsel sebelum kita gunakan, setting suara, bahasa, dan fitur-fitur lainnya. Incumbent banyak dihancurkan oleh disrupsi karena incumbent selalu melihat dengan ‘pengalaman’nya. Kalau saja ia memiliki disruptive mindset, ia bisa menjadi kreatif dan tak takut melihat perubahan yang seperti dilakukan anak-anak muda tanpa beban masa lalu.

            Beberapa contoh kasus dalam sebuah kompetisi, hanya mereka yang bermental terbuka dan siap menerima kebaruan dari luar diri mereka yang akan keluar sebagai pemenang kompetisi. Mental disruptive ini tidak terikat oleh pengalaman atau aturan baku yang kaku pada masa lalu, melainkan sikap terbuka terhadap masa depan.

C. Penutup

            Kata kuncinya adalah; buatlah diri kita selalu tetap relevan. Sebagai perumpamaan kita ambil contoh karir manusia, apapun profesinya, apakah anda pemegang gelar master yang ingin jadi dosen lalu bercita-cita ingin jadi guru besar dan ilmuwan yang dihormati atau berhenti begitu menjadi dosen. atau musisi yang ingin tetap dikenal sepanjang hayat melalui lagu fenomenal atau berhenti begitu muncul di televisi dan meluncurkan satu album, atau atlet yang suatu ketika berubah menjadi pelatih, dsb.     

            Sekali anda merasa sudah final, maka karir anda sudah selesai. Karir seorang ilmuwan bisa sudah berhenti lama saat ia selesai menjadi dosen dan berhenti menulis, namun dengan tetap melakukan penelitian dan menulis membuat dirinya tetap relevan.

            Dunia sekitar kita saat ini berubah terus-menerus, mereka berlari sangat kencang dibantu oleh para pengembang teknologi yang bukan saja memperbaharui kecepatan dan alat, melainkan juga business model, business process, dan engagement yang mereka tawarkan. Selain itu, semua orang terus menuntut perbaikan hidup. Dan perbaikan hidup akan membuat manusia berpindah (shifting) ke hal yang baru dan yang lebih efisien.                

“Adaptive all the time is the key for being able to shift ahead” –Maryam Bambarin, Former CEO of Hyatt

Iklan

Golput menang lagi. Catatan dari Pilkada Medan 2020

                Partisipasi pemilih dalam pilkada adalah salah satu cerminan perilaku politik masyarakat di suatu daerah. Sebagai sebuah perilaku, partisipasi pemilih dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman dan kesadaran si pemilih tentang Pilkada tersebut.

                Di Medan, sejak pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung, partisipasi pemilih yang melebihi 50% hanya terjadi satu kali, yaitu di pilkada langsung pertama pada tahun 2005 yang menghasilkan walikota dan wakil walikota terpilih Abdillah-Ramli. Partisipasi pemilih pada pilkada waktu itu mencapai 54,70% dari jumlah pemilih terdaftar sebanyak 1.450.596 pemilih.

                Setelah itu berturut-turut pada pilkada Kota Medan berikutnya jumlah partisipasi pemilih turun dibawah 50%, bahkan mencapai titik terendah pada pilkada Medan tahun 2015 yang hanya diikuti oleh 25,38% pemilih. Pilkada Medan 2010 hanya diikuti oleh 38,28% pemilih, Pilkada Medan 2015 (25,38%), dan Pilkada Medan 2020 yang juga hanya diikuti oleh 45,97% pemilih terdaftar.

                Dengan demikian, kemenangan golput di pilkada Medan sebenarnya hal yang biasa saja, karena sudah terjadi pada dua pilkada Medan sebelumnya. Namun ada yang menarik dikaji secara politik adalah, Pilkada Medan 2020 ini diikuti oleh menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution. Dengan segala privilege-nya sebagai wakil istana, dan digadang-gadang menjadi tokoh politik muda, ternyata menantu Jokowi ini hanya mampu meraih suara sebanyak 393.533 suara, jumlah itu hanya 24,58% dari DPT yang 1.601.001 pemilih.

            Tingkat partisipasi pada Pilkada Medan 2020 ini memang meningkat dari dua pilkada sebelumnya, namun tetap dibawah 50%. Dengan meningkatnya jumlah partisipasi dari dua pilkada sebelumnya, kita coba abaikan faktor Covid-19 pada tahun ini. Maksud saya adalah dengan tidak adanya Covid19-pun partisipasi bisa sampai titik terendah 25%, namun pada pilkada 2020 ini malah meningkat ke 45% lebih, maka faktor Covid-19 dapat dikesampingkan sebagai penyebab golput yang tinggi pada tahun ini.

            Lalu faktor apa yang membuat pilkada Medan 2020 tetap dimenangkan oleh golput? Saya lebih percaya golput tersebut dipengaruhi faktor ketokohan kandidat dan faktor partai politik. Kedua faktor ini juga menjadi alasan yang sama kenapa pilkada Medan 2015 minim sekali partisipasi pemilih.

            Mesti dipahami bahwa masyarakat kota Medan telah mengalami kejenuhan dengan tertangkapnya berkali-kali walikota Medan yang sedang menjabat. Mulai dari walikota hasil pemilihan langsung pertama Abdillah dan wakilnya Ramli, kemudian diikuti Rahudman Harahap hasil pilkada tahun 2010, sampai pada walikota hasil pilkada terakhir (2015) Dzulmi Eldin. Pengalaman warga Medan ini tentu menghasilkan suatu ketidakpercayaan pada institusi pemerintah kota Medan, kepada Pilkada-nya dan juga pada partai politiknya.

            Namun dengan keadaan psikologi pemilih seperti itu, partai-partai politik bukannya berusaha meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada demokrasi dengan mendengarkan aspirasi masyarakat tentang kandidasi calon walikota dan wakil walikota Medan tahun 2020. Dengan segala kepentingannya partai-partai lebih mendengarkan perintah pengurus pusat partai daripada mengeksplor tokoh-tokoh dari aspirasi masyarakat.

            Pengabaian aspirasi arus bawah itu kemudian menghasilkan dua koalisi partai pengusung yang besarnya tidak seimbang. Koalisi pertama berjumlah 8 partai yang memiliki 39 kursi (Gerindra  10 kursi,  PDI-P  10 kursi,  Golkar 4 kursi, NasDem 4 kursi,  PPP 1 kursi, PSI 2 kursi,  PAN 6 kursi, Hanura 2 kursi), berhadapan dengan koalisi kecil yang hanya punya 11 kursi ( PKS 7 kursi,  Demokrat 4 kursi). Koalisi besar yang yang notabene adalah partai-partai yg masuk kedalam cabinet Jokowi adalah pengusung menantu Jokowi, Bobby Nasution yang dipasangkan dengan kader gerindra yg kurang popular Aulia Rahman. (mengenai Aulia Rahman ini juga menjadi pertanyaan, padahal ada kader gerindra lain yang lebih familiar namanya). Sedangkan  koalisi PKS-Demokrat (kedua partai ini diluar pemerintahan jokowi) mengusung petahana yang merupakan pelaksana tugas walikota yang ditahan karena kasus korupsi, Akhyar Nasution berpasangan dengan Salman Alfarisi yang seorang kader dan anggota DPRD Sumut dari PKS.

                Dua pasang calon kandidat ini dirasa bukanlah kandidat ideal untuk kontestasi pilkada kota Medan. Sangat kental terlihat bahwa partai-partai pendukung pemerintah diarahkan untuk mengusung menantu Jokowi. Dalam catatan saya beberapa partai membuka kembali pendaftaran yang sudah ditutup agar Bobby bisa mendaftarkan diri, bahkan ada partai yang turut mengusung tanpa perlu Bobby datang mendaftarkan dirinya ke partai tersebut.

                Di sisi lain, Akhyar adalah penerus kebijakan dari pasangan Walikotanya Dzulmi Eldin yang ditahan karena korupsi. Baik  pada masa Eldin maupun Akhyar selama menjabat pelaksana tugas, tidak ada perbaikan dan perubahan berarti di kota Medan. Dan jangan lupa mereka berdua adalah hasil dari pilkada Medan 2015 yang hanya diikuti 25% pemilih kota Medan, yang artinya, sejak awal Eldin dan Ahyar memang tidak bisa memenangkan hati warga Medan.

                Sampai disini kita sudah bisa melihat kenapa golput menjadi pilihan mayoritas warga Medan, yaitu karena kandidat yang dihadirkan bukanlah harapan rakyat, tapi harapan keluarga dan harapan elite.  Indikasinya terlihat jelas pada TPS dimana Bobby memilih, yang menang adalah golput. Tetapi masih lebih memalukan lagi Aulia Rahman wakilnya Bobby, di TPS-nya yang menang malah pasangan Akhyar-Salman.

                Begitupun Akhyar-Salman juga tidak menjadi pasangan yang ideal, karena Akhyar seperti dikatakan diatas tadi, tidak memberikan dampak yang dirasakan warga Medan selama ia dan walikotanya memimpin.  Maka kombinasi dua kontestan pilkada Medan ini tidak menggugah keinginan mayoritas warga Medan untuk datang ke TPS. Warga merasa tidak ada bedanya memilih atau tidak memilih.

                Dengan situasi dan kondisi yang terjadi diatas, maka catatan buruk berlanjutnya angka golput yang tinggi di pilkada Medan adalah kesalahan dari partai-partai politik yang gagal melakukan rekrutmen politik dan agregasi kepentingan masyarakat. Jika partai-partai merekomendasikan kader-kader terbaiknya, maka pilkada Medan tidak akan monoton seperti pertarungan Bobby Nasution vs Akhyar Nasution kemarin. Jika partai-partai politik di kota Medan terus bermain aman seperti ini maka kualitas demokrasi kita memang sengaja dirusak oleh salah satu yang dianggap pilar demokrasi sendiri, yaitu partai politik.

                KPUD kota Medan tidak dapat disalahkan dengan minimnya pemilih, mempersoalkan sosialisasi  yang kurang maksimal hanyalah kambing hitam saja untuk memberikan poin minus pada KPU Kota Medan. Dengan wilayah kota Medan yang gampang terjangkau dengan akses tranportasi apapun dan jaringan komunikasi yang baik dan merata, informasi dan pelayanan terkait pemilu saya yakin telah diterima secara luas oleh warga Medan. Yang menjadi masalah bukan soal informasi dan sosialisasi pilkadanya, tetapi kandidat yang bertarung tidak mengena di hati pemilih, sehingga berat hati untuk pergi datang mencoblos.

                Dengan kekuatan 39 kursi DPRD kota Medan dari 8 partai pengusung, menantu Jokowi Bobby Nasution hanya mendapatkan 393.533 suara, berbeda hanya 7% suara dengan Akhyar Nasution yang diusung dua partai dengan kekuatan 11 kursi dengan hasil 342.480 suara. Dengan jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 1.601.001, maka ada 864.988 orang yang tidak menggunakan hak pilihnya, dua kali pemilih Bobby Nasution . Artinya Bobby maupun Akhyar Nasution bukanlah sosok yang diinginkan menjadi walikota oleh warga Medan. Seandainya ada partai yang jeli mencalonkan sosok ideal  dan bukannya membebek pada kekuasaan pusat, mungkin warga Medan tidak akan malas-malasan datang ke TPS waktu itu. 

Covid-19 titik balik bagi keberadaan Kebun Binatang

Katanya wabah Covid-19 ini akan mengatur-ulang  (me-reset)  perilaku manusia dalam segala hal.  Mulai dari cara berinteraksi antar sesama, penggunaan uang tunai, pilihan makanan, bisnis yang dijalankan, pilihan rekreasi dan banyak lagi segi kehidupan yang kini terdampak Covid-19 akan menyesuaikan dengan perubahan perilaku manusia setelah wabah ini berakhir.

Kebun Binatang (zoo) adalah salah satu bisnis destinasi ‘wisata’ yang terdampak akibat wabah ini. Himbauan tidak keluar rumah dan pembatasan sosial-fisik  (physical & social distancing) membuat Kebun Binatang harus tutup. Masalah baru kemudian timbul, kira-kira  sebulan setelah wabah ini muncul di Indonesia, dan Kebun Binatang ditutup,  binatang-binatang  itu dikabarkan kelaparan. Mereka yang dikurung disana sudah tentu  tidak dapat mencari makanan sendiri, mereka sejak lama sudah menjadi tahanan pesakitan, makanannya dijatah oleh pengelola/pengusaha Kebun Binatang yang sumber biayanya dari tiket orang-orang yang datang menonton mereka.

Orang-orang yang datang menonton binatang-binatang yang dikurung ini memiliki bermacam-macam motivasi. Dimana motivasi-motivasi itu kini mulai terdengar absurd, misalnya, untuk tujuan pendidikan (maka kita lihat banyak murid TK dan SD melakukan ‘studi tour’ ke Kebun Binatang), lalu tujuan rekreasi (melepas penat, mencari hiburan, pleasure), atau hanya penasaran saja, ikut-ikutan karena ada orang yang pergi kesana.

Beruang Madu mengemis makanan pada pengunjung

Masyarakat yang menjadi konsumen kebun binatang tidak dapat disalahkan, mereka hanyalah korban dari mindset yang ditanamkan sejak lama oleh sistem yang mendukung  eksploitasi binatang adalah hiburan yang mendidik. Bagaimana bisa menonton binatang yang depresi karena dikurung seumur hidup bisa menghilangkan stress dan menghibur manusia?  Pendidikan apa yang diharapkan didapat oleh anak-anak kita, ketika melihat binatang-binatang yang seharusnya hidup bebas di hutan dengan makanan alamiahnya, malah hidup terpenjara di sel-sel sempit dengan makanan yang tidak layak?

Saya takut anak-anak yang diajak melihat binatang-binatang yang dikurung ini kemudian mengadopsi konsepsi yang salah, bahwa semua binatang adalah taklukan manusia, derajatnya dibawah manusia sehingga ia harus dikurung, ditaklukkan, yang boleh bebas hanya manusia. Habitatnya kemudian tidak masalah dieksploitasi, toh binatangnya sudah berada di kebun binatang. Hutan-hutan kemudian disulap menjadi kebun-kebun produksi raksasa untuk kebutuhan manusia, binatang yang tertinggal dan masih bebas kemudian dicap sebagai hama oleh manusia yang merasa lebih beradab. Maka Harimau, Gajah dan Orang Hutan yang pada masa kakek dan nenek kita hidup berdampingan, tiba-tiba sekarang disebut pengganggu manusia, masuk ke kampung merusak tanaman, membunuh ternak. Benar-benar hama yang harus dimusnahkan, sepanjang tahun kemdian kita membaca berita tentang binatang-binatang yang bingung ini mati ditangan manusia, hanya karena terlihat memasuki pemukiman atau kebun yang dibangun di wilayah hutan mereka.

Gajah di Kebun Binatang Venezuela
Singa di Kebun Binatang Sudan

Krisis yang dihadapi oleh kebun binatang yang terjadi merata diseluruh dunia semoga menjadi titik balik manusia abad digital agar meninggalkan perilaku mengunjungi kebun binatang,  perilaku yang dibangun diatas eksploitasi terhadap binatang dan lingkungan. Sudah saatnya kita menyadari bahwa ide mengurung binatang untuk ditonton adalah salah secara moral, dan berbahaya bagi kelangsungan kehidupan di bumi. Ada banyak cara yang lebih beradab untuk mengedukasi anak-anak kita tentang kehidupan alam liar dan binatang-binatangnya; melalui buku bergambar, video dokumenter dan foto-foto yang semuanya melimpah dan bisa diakses dalam genggaman, menampilkan biantang yang hidup di habitat alaminya, berburu makanan atau berinteraksi dengan keluarganya, bukan duduk termenung didalam sel kebun binatang . Jadi tidak ada alasan apapun bagi orang tua dan sekolah pada era revolusi digital 4.0 ini untuk mendukung bisnis eksploitasi binatang seperti kebun binatang ataupun sirkus-sirkus binatang.  Berhenti mengunjungi kebun binatang berarti mempercepat tutupnya kebun binatang, menghentikan eksploitasi binatang dan menghentikan penangkapan binatang dari alam liarnya.

Bagi pemerintah daerah yang memiliki kebun binatang, sudahilah. Sudah terlalu banyak berita miris tentang binatang-binatang terlantar bahkan jauh sebelum wabah Covid-19 ini ada. Kebun binatang tidak relevan lagi menjadi ikon daerah ataupun objek untuk pendapatan daerah. Tutup saja penjara binatang itu, lepaskan mereka ke habitat alaminya perlahan-lahan. Pemimpin transformatif tidak hanya terus mewarisi dan melestarikan tradisi yang sudah usang,  mulailah sejarah baru dalam hubungan antara manusia dan binatang.

Demo Aktivis saat terjadi kelaparan binatang di kebun binatang Bandung

Kenapa identitas Mazhab Teroris tidak diungkap?

Kasus penikaman Menkopolhukam Wiranto beberapa waktu yang lalu, serta diikuti dengan kasus pemberhentian Dandim Kendari oleh karena postingan nyinyir istrinya di medsos tentang peristiwa penikaman tersebut, membuat saya menyadari sesuatu yang sangat penting. Yaitu tentang identitas mazhab keagamaan yang tidak dapat digeneralisasikan.

Dua dekade belakangan – tepatnya pasca reformasi 1998 di Indonesia- aksi terorisme mengatasnamakan Agama berkali-kali mengguncang Indonesia. Baik aksi yang menggunakan bom bunuh diri dengan daya ledak yang besar sampai pada gaya ‘lone wolf’ beraksi sendiri dengan senjata tajam yang belakangan menjadi pilihan aksi mereka.

Sejauh pengamatan saya di pemberitaan media nasional, hanya Said Aqil Siradj (SAS) pada tahun 2012 yang pernah mengaitkan aksi terorisme dengan salah sat mazhab dalam Islam. Saat itu SAS mengatakan bahwa doktrin ajaran Wahabi bisa mendorong anak-anak muda menjadi teroris.[1]  Pernyataan SAS tersebut tentu tidak keluar tanpa dasar. Namun pernyataan yang demikian, yang dengan tegas mengidentifikasi aliran mazhab tertentu yang dekat dengan terorisme, sepertinya tidak banyak diikuti oleh tokoh lain ataupun media-media massa dalam pemberitaannya mengenai peristiwa terorisme di Indonesia. Salah satu dari sedikit ulama yang tegas menunjuk pada mazhab si teroris adalah A. Fathih Syuhud, saya baca dalam artikelnya ‘Pesantren dan Pendidikan anti teror’ yang diterbitkan tahun 2012 di website pribadi.[2]  

Hampir seluruh pemberitaan dan analisa tentang kejadian terorisme di Indonesia hanya menyebut bahwa pelakunya beragama Islam tanpa menyebut si teroris bermazhab Islam apa. Paling-paling media atau analis teroris menyebutkan afiliasi teroris tersebut ke organisasi teror seperti ISIS, JI, atau JAT. Namun, nama-nama organisasi teroris seperti itu bagi masyarakat awam hanyalah seperti mendengar dongeng yang terus diulang-ulang. Sering mendengar namanya disebut namun tidak pernah terlihat wujudnya. Karena para ekstrimis calon pelaku teror tentu tidak membuka identitas organisasi mereka ditengah-tengah masyarakat. Namun saya yakin mereka punya ciri-ciri identitas mazhab yang berbeda dengan umat muslim lainnya di Indonesia. Inilah yang tidak diungkap oleh pihak berwenang dan media massa ke publik.   

Akibatnya, para teroris yang memang membawa simbol-simbol agama Islam dan penampilan seperti orang yang sangat religius menjadi sulit dipisahkan dengan sikap emosional masyarakat muslim Indonesia. Terjadi sikap ambigu ditengah-tengah masyarakat muslim kita, disatu sisi mereka menolak kelompok teror dan mengutuk aksi-aksi terorisme adalah biadab dan tidak berprikemanusiaan, dan dengan kemudian mereka menolak bahwa pelaku teror adalah orang Islam, padahal pelaku teror jelas-jelas mengatasnamakan Islam.

Sikap ambigu tersebut terjadi karena kebingungan atas identitas Islam yang dibawa para teroris, karena justru di Indonesia Islam juga adalah mayoritas, mereka tidak mau Islam agama mereka disebut sebagai agama teroris. Ketidakpekaan umat Islam Indonesia soal aliran-aliran mazhab dalam Islam membuat beberapa orang secara pribadi bersikap membela teroris, karena banyak media dan komentar tokoh mendiskreditkan Islam dalam aksi-aksi terorisme.

Ada fakta yang bias jika para teroris hanya diungkap identitas agamanya saja tanpa disebut apa mazhabnya. Yang terutama adalah nama baik Islam dimata penganut agama lain.  Jika umat muslim saja tidak dapat membedakan yang mana Islam teroris dan Islam yang damai, apalagi penganut agama lain? maka nama Islam akan mendapatkan stereotype buruk di lingkungan mereka. Berikutnya, jika identitas mazhab teroris tidak diungkap, maka masyarakat awam tidak akan dapat memilah sumber-sumber ilmu agama yang akan mereka terima dan cerna. Karena bagi mereka yang tidak peka terhadap perbedaan mazhab, Islam itu dimana-mana sama. Pandangan seperti ini sangat menguntungkan bagi mazhab-mazhab penyebar teror karena mereka dapat dengan leluasa menyebarkan ajarannya ditengah-tengah masyarakat, menyalurkannya melalui media-media, bahkan infiltrasi kedalam institusi-institusi negara.

Saya mengusulkan kepada pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), agar kedepan dan seterusnya pengungkapan identitas teroris harus detail sampai kepada mazhab apa yang diikutinya. Jika memang terbukti mazhab tertentu menjadi ideologi bagi teroris di Indonesia, maka sudah saatnya pemberantasan terorisme dimulai dari menghapus dasar dan sumber pemahaman agama teroris tersebut, yaitu mazhab Islamnya.

Dengan begitu dua kemajuan positif dapat kita raih, pertama stigma buruk terorisme tidak akan melekat pada Islam-nya namun hanya pada mazhab si teroris saja. Sehingga nama baik masyarakat Islam lainnya tidak terdampak dari aksi buruk si teroris. kedua, penyebaran ideologi ekstrim melalui mazhab tersebut tidak akan leluasa seperti sekarang ini. Karena masyarakat bisa mengenali ciri-ciri mereka jika nama mazhab dan ajarannya terlarang di Indonesia. Seperti yang dilakukan kepada ideologi komunisme, seharusnya seperti itu jugalah perlakuan terhadap mazhab yang mensponsori terosrisme. Identifikasi, ungkap ke publik, kemudian cabut sampai ke akar-akarnya hingga tidak dapat tumbuh lagi di bumi Indonesia. Jika tidak, maka kita dengan pasti akan menuju kehancuran seperti negara Suriah, Libya dll.  


[1] https://www.merdeka.com/khas/ajaran-wahabi-mendorong-orang-menjadi-teroris-wawancara-said-aqil-siradj-2.html

[2] https://www.fatihsyuhud.net/pesantren-dan-pendidikan-anti-teror/

EKSISTENSI ETNIS DAN PEMEKARAN DAERAH

POLITIK IDENTITAS DI PAKPAK BHARAT

Salah satu dampak yang tidak terduga dari demokratisasi politik ditingkat lokal adalah semakin kuatnya persaingan identitas dalam kegiatan politik terutama dalam pilkada dan pemekaran daerah. Mobilisasi jaringan kekerabatan, etnis dan keagamaan kemudian diciptakan untuk memenangkan persaingan politik tersebut. Setiap pemilihan baik itu gubernur, bupati maupun kepala desa mempertimbangkan keterwakilan etnis dan agama tertentu, sehingga power sharing antara kumpulan etnis dominan selalu mewarnai dalam setiap proses pemilihan kepemimpinan politik.[1]

Sebagai koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan uniformisasi pemerintah pusat dengan keluarnya kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah yang dalam visi otonomi daerah yakni dibidang politik, ekonomi, sosial budaya. Untuk bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi, maka harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada azas pertanggungjawaban publik.[2]

Ketidakpuasan daerah terhadap pusat menjadi wacana terbuka, kemarahan masyarakat kepada apa yang terlihat sebagai dominasi pusat dan perlakuan tidak adil juga semakin meluas dalam gelombang krisis ekonomi tersebut. Desentralisasi politik idealnya untuk menciptakan pengelolaan fiskal, kelembagaan negara, instrumen hukum, dan pengawasan wilayah yang lebih memperhatikan keseimbangan politik antara pusat dan daerah. Namun konsep ini tidak serta-merta menjadi solusi bagi permasalahan yang berakar pada keanekaragaman sosial, budaya, dan agama. Terjadinya konflik etnis pada beberapa daerah seperti di Kalimantan, Maluku, Sulawesi memperlihatkan desentralisasi belumlah seideal cita-citanya. Meskipun desentralisasi adalah pilihan kebijakan bagi Indonesia pasca otoritarianisme Orde Baru, tetapi pilihan itu bukanlah tanpa persoalan, terutama jika kita lebih jauh menyoroti dinamika sosial dan budaya, tidak sekedar terbatas pada aspek perubahan kelembagaan negara.[3]

Salah satu kebijakan yang tidak dapat dilepaskan dari desentralisasi dan berkaitan dengan lahirnya sentimen identitas adalah kebijakan pemekaran. Pemekaran adalah istilah Indonesia untuk menyebut sub-divisi distrik-distrik dan provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru.[4] Pemekaran adalah aspek yang paling mencolok dan tidak terencana terkait proses desentralisasi di Indonesia, karena para pembuat kebijakan desentralisasi di Indonesia tidak bermaksud memicu terjadinya pemekaran yang tergesa-gesa. Dari sekian banyak literatur tentang desentralisasi diseluruh dunia mengenai transfer kekuasaan dari tingkat administratif ke yang lainnya, tidak ada yang menyebutkan perlunya membuat kembali batas-batas baru wilayah administratif itu sendiri.

Kebebasan politik dan kesempatan yang terbuka oleh desentralisasi ini tidak disia-siakan oleh beberapa daerah yang selama ini ingin membentuk daerah pemekaran baru dan terlepas dari induknya. Pakpak Bharat adalah satu-satunya yang mekar dari kabupaten induknya Dairi pada tahun 2003. Berbeda dengan pemekaran pada tingkat provinsi yang merupakan gabungan dari beberapa kabupaten/kota, pemekaran pada tingkat kabupaten sangat dekat kecenderungannya pada upaya memelihara eksistensi etnis dan teritorial.

Pemekaran Kabupaten Pakpak Bharat berdasarkan Undang-Undang RI No.9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pakpak Bharat dengan wilayah yang ditetapkan terdiri atas 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Sitelu Tali Urang Jehe, Kecamatan Kerajaan, dan Kecamatan Salak. Peresmian Kabupaten Pakpak Bharat sendiri beserta pelantikan Pejabat Bupati Pakpak Bharat Tigor Solin dilaksanakan pada 28 Juli 2003 di Medan oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.

Keinginan Pakpak Bharat membuat DOB sendiri cenderung didorong oleh motif homogenitas etnis. Asumsi ini diperkuat dengan data demografi kependudukan Kabupaten Dairi sebelum pemekaran terjadi. Kabupaten Dairi yang penduduk aslinya merupakan etnis Pakpak mengalami peminggiran dalam bidang politik, sosial dan budaya di tanahnya sendiri akibat kalah dalam hal kuantitas dengan etnis Toba sebagai pendatang yang bermigrasi dari Tapanuli Utara.

Tabel 1.2 Persentase Penduduk Menurut etnis di Kabupaten Dairi Tahun 2005

No. Etnis Persentase (%)
1 Karo 15,11
2 Batak Toba 30,15
3 Pakpak 18,42
4 Simalungun 9,53
5 Mandailing 9,10
6 Jawa 8,22
7 Aceh 6,09

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi, Kabupaten Dairi dalam Angka. Tahun 2005

Meskipun demikian motivasi lain–seperti isu efisiensi dan efektivitas pemerintahan, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan elit lokal tetap relevan dalam tuntutan pemekaran Kabupaten Dairi ini.

Oleh karena itu diakhir tulisan ini berusaha melontarkan alasan Pemekaran Pakpak Bharat juga merupakan satu kasus dari sekian banyak pemekaran dalam arus bigbang decentralization yang terjadi di Indonesia. Namun faktor-faktor dan kondisi yang berlaku pada daerah yang menuntut pemekaran tidaklah seragam. Secara umum pemekaran Pakpak Bharat terlihat bermotif homogenitas identitas, tuntutan etnis asli untuk dapat memiliki pemerintahan dan wilayah yang murni dari etnis Pakpak sendiri.

Namun jika kita berhenti pada asumsi itu maka kita akan jatuh pada kesimpulan ahistoris dan mendistorsi politik identitas yang berlaku di daerah tersebut. Tulisan ini juga meninjau lebih jauh proses politik, sosial dan kultural yang dibentuk oleh dinamika desentralisasi dan cara masyarakat Pakpak Bharat terlibat dalam dinamika itu melalui penafsiran kembali lembaga, instrumen hukum dan teritorial sehingga menghasilkan DOB Kabupaten Pakpak Bharat.

Kebangkitan Etnis Pakpak

Upaya membangkitkan dan memperkuat simbol-simbol identitas etnis Pakpak ini ternyata bukan persoalan mudah, karena kesadaran identitas etnis Pakpak pada tahun 1950-an itu sangat lemah bahkan memudar. Banyaknya orang Pakpak yang mengganti marganya ke marga Batak Toba ketika mencari selamat saat adanya ancaman dan teror ketika pergolakan politik terjadi, semakin mengaburkan batasan etnis antara orang Pakpak dengan orang Batak Toba.[5] Ditambah lagi karena mengalami diskriminasi politik dan budaya, orang Pakpak menjadi malu-malu mempraktikkan budayanya sendiri, tetapi sebaliknya secara terbuka memakai bahasa dan budaya Batak Toba.[6]

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, harapan orang Pakpak untuk memiliki kabupaten sendiri dengan nama Kabupaten Pakpak kandas setelah Pemerintah Provinsi memberi nama kabupaten baru itu Kabupaten Dairi. Begitu juga dengan harapan kabupaten itu dipimpin oleh putra Pakpak, pupus setelah pemerintah provinsi menetapkan orang Batak Toba menjadi Bupati Dairi. Meski singkat, pada masa pemerintahannya Jauli Manik menggunakan kekuasaannya untuk merekonstruksi identitas dan mengonsolidasikan kesadaran etnik orang Pakpak.

Secara politik dan ekonomi keberadaan etnik Pakpak kembali melemah dengan pembentukan Kabupaten Dairi pada tahun 1964 tersebut. Kabupaten Dairi yang dipimpin oleh orang Batak Toba membuat kesadaran etnis orang Pakpak yang sedang  terkonsolidasi kembali buyar karena mereka tidak memiliki patron politik yang dapat memproteksi kepentingan dan aspirasi penduduk asli. Sebaliknya etnis Batak Toba kembali mendominasi terutama dibidang politik dan ekonomi.

Pada tahun 1965 – dua tahun setelah berdirinya Kabupaten Dairi – meletus peristiwa Gerakan 30 September. Di Dairi sendiri meskipun terdapat persaingan antar partai politik terkait gerakan 30 September, namun tidak pernah terjadi konflik fisik antar pendukung partai. Justru ketika komunisme berhasil dihancurkan dan Orde Baru naik kepuncak kekuasaan terjadilah ekses negatif bagi orang Pakpak. Sikap politik Orde Baru yang memberangus semua hal yang terkait dengan komunisme dan PKI menjalar kesemua aspek dan wilayah termasuk ke Kabupaten Dairi dan membuat orang Pakpak ketakutan. Elit lokal Dairi yang dikuasai oleh orang Batak Toba memanfaatkan isu komunis ini sebagai instrumen politik untuk menghabisi siapapun yang bermaksud mendisruspi kekuasaan lokal, terutama orang Pakpak yang ingin menuntut pembagian kekuasaan.[7] Akibatnya orang Pakpak takut menyuarakan kepentingan etnisnya sebagai penduduk asli karena khawatir dituduh komunis. Dengan demikian masa Orde Baru tidak memberikan perbedaan terhadap posisi orang Pakpak, mereka tetap terpinggirkan dari akses ke sumber daya lokal.

Pada 1970-an identitas etnis Pakpak jatuh terpuruk bahkan ada kecemasan ditengah orang Pakpak akan punahnya budaya dan tradisi Pakpak. Kecemasan ini adalah perasaan putus asa karena tidak adanya representasi kelompok etnik yang memegang jabatan strategis di pemerintahan. Menyadari kondisi ditengah-tengah orang Pakpak seperti itu, para pemuka masyarakat menyelenggarakan seminar tentang adat-istiadat Pakpak. Maksud dan tujuan seminar ini adalah menggali dan mengembangkan adat-istiadat serta merumuskan persamaan pendapat antara pemuka adat pemikir lokal tentang adat-istiadat Pakpak.

Seiring waktu jumlah orang Pakpak yang melanjutkan studi ke sekolah menengah di Sidikalang, Kabanjahe dan  Medan semakin banyak, meskipun masih sedikit yang meneruskan ke perguruan tinggi. Setelah menyelesaikan studi mereka kembali ke Sidikalang, mereka inilah yang menjadi kelompok terdidik masyarakat Pakpak, berkecimpung ditengah masyarakat sebagai wiraswastawan, pedagang dan pegawai pemerintahan.

Dalam pandangan kelompok terdidik Pakpak, pembangunan yang dijalankan selama ini terlihat sangat timpang. Di kecamatan-kecamatan yang penduduknya mayoritas Pakpak pembangunan berjalan lamban, sedangkan di wilayah yang penduduknya mayoritas Batak Toba pembangunan fisik berlangsung cepat dan dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Ketimpangan ini dilihat oleh kelompok terdidik Pakpak sebagai pengingkaran elite lokal untuk memajukan orang Pakpak. Ketimpangan pembangunan inilah yang melanggengkan kemiskinan, ketertinggalan, dan keterbelakangan etnis Pakpak. Mereka mulai menggugat secara kritis akar keterbelakangan dan ketimpangan pembangunan antara wilayah Simsim dan daerah lainnya. Mereka menganggap ketimpangan pembangunan ini sengaja diciptakan agar etnis Pakpak tetap tertinggal dan terus menerus dapat dikuasai orang Batak Toba.

Ketika hubungan kekuasaan lokal di Kabupaten Dairi sedang mesra-mesranya dengan kelompok etnis Pakpak, pada saat yang sama pemerintah pusat memperkenalkan otonomi daerah pada tahun 2001. Dimata orang Pakpak otonomi daerah ini dianggap sebagai peluang memperkuat dan memperjuangkan kepentingan kelompok etniknya. Orang-orang Pakpak memanfaatkan otonomi daerah dengan memaksimalkan diskusi-diskusi tentang demokrasi dan keterbelakangan kelompok etnisnya di tanah kelahirannya sendiri.

Salah satu wacana yang berkembang dalam diskusi-diskusi tersebut adalah tentang pemekaran Kabupaten Dairi. Soal penguasaan sumber daya alam juga menjadi hangat ditengah-tengah masyarakat. Jika sebelum tahun 1999, orang Pakpak merasa takut membicarakan pengelolaan sumber daya alam dan penduduk asli sebagai pemilik tanah ulayat, dimasa otonomi daerah pembicaraan tentang tanah adat semakin meluas. Klaim orang Pakpak sebagai pemilik tanah ulayat terus meninggi dan dinyatakan secara terbuka di wilayah-wilayah yang terdapat orang Pakpaknya. Pengakuan sebagai pemilik tanah ulayat ini menambah tenaga baru dalam penguatan kesadaran etnis Pakpak. Tanah ulayat yang telah berpindah tangan tersebut dipertanyakan dan digugat kembali di masa otonomi daerah. Pernyataan-pernyataan yang mengangkat persoalan tanah ulayat telah memompa semangat kesukuan orang Pakpak sekaligus mulai menunjukkan sikap ketidaksenangan terhadap kelompok-kelompok etnik yang menguasai tanah ulayatnya.

Isu pemekaran daerah sangat berpengaruh pada identitas, apalagi pemekaran yang terjadi atas dasar perpecahan identitas seperti di Dairi. Ada potensi perubahan hubungan mayoritas-minoritas di kedua daerah, dimana daerah baru mereka yang minoritas akan menemukan diri mereka menjadi mayoritas baru. Pada saat yang sama, mereka yang selama ini bagian dari mayoritas tiba-tiba menemukan diri mereka menjadi minoritas.

Masyarakat beretnis Batak Toba merasakan ancaman dari bangkitnya kesadaran etnis Pakpak ini, muncul kabar dimana-mana kalau orang Batak Toba akan diusir dari tanah Pakpak. Akibatnya orang Batak Toba mengkonsolidasikan diri untuk memberikan perlawanan jika benar mereka akan diusir. Ketegangan antara dua etnis ini dirasakan sangat kuat di Sidikalang pada tahun 2001, suasana saling curiga dan saling berjaga-jaga antar mereka sebagai antisipasi kalau terjadi penyerangan.

Walaupun terjadi ketegangan etnis, tetapi kedua kelompok etnis ini masing-masing dapat menahan diri sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Ketegangan hubungan etnis ini perlahan-lahan mengendur karena tidak ada yang mendahului penyerangan ke kelompok lain, akhirnya ketegangan reda dengan sendirinya. Namun redanya ketegangan antar dua kelompok etnis ini, bukan berarti konflik terselubung antara etnis Pakpak dan Batak Toba selesai dengan sendirinya. Ketegangan etnik terselubung antara kedua kelompok etnis ini terus berlangsung dan bersifat laten.

4.2. Eksistensi Etnis

Pada masa awal otonomi daerah ini orang Pakpak juga memanfaatkan situasi untuk melakukan konsolidasi kelompok etnisnya. Pemuka masyarakat, IKPPI dan kaum terdidik lokal yang selama ini merumuskan dan memperkuat identitas etnis Pakpak kini telah muncul sebagai elit Pakpak.[8] Kesadaran elit etnis Pakpak ini tentunya sudah tinggi, merekalah yang kemudian memanfaatkan sentimen kesukuan untuk tujuan politik dan ekonomi. Pemanfaatan dan pemanipulasian sentimen etnis tersebut dapat terlihat dari keinginan kuat elit etnis Pakpak mendapatkan kekuasaan diwilayahnya sendiri.

Manipulasi terhadap sentimen etnis tercermin dari pernyataan-pernyataan yang dikampanyekan elit Pakpak di masa otonomi daerah, salah satunya adalah pentingnya menjadi orang Pakpak, menjadi penduduk asli sekaligus pemilik tanah ulayat di tanah kelahirannya sendiri. Elit Pakpak menyadari bahwa tanpa memanipulasi sentimen kelompok etniknya, orang Pakpak tidak akan pernah bangkit menjadi amunisi politik untuk bernegosiasi dengan kekuasaan dan birokrasi yang mayoritas dikuasai orang Batak Toba.

Dalam bayangan mereka bila ada satu kabupaten baru mekar dari Dairi yang penduduknya mayoritas orang Pakpak, maka harkat martabat orang Pakpak akan terangkat dalam semua aspek, baik ekonomi, politik dan aspek sosial budaya. Jika itu terjadi maka semua pejabat mulai dari bupati, ketua dan anggota DPRD  serta pejabat-pejabat di bawahnya adalah orang Pakpak. Hal yang sama juga akan terjadi pada penguasaan sumber daya alam dan budaya Pakpak akan lebih dikenal di masyarakat umum.[9]

Dukungan moral dan sosial dari lima suak Pakpak ini dijadikan modal politik oleh elit etnik Pakpak. Elit etnis Pakpak semakin kuat mendesak percepatan pembentukan kabupaten baru dengan cara mobilisasi massa dan memanipulasi sentimen etnik untuk memompa soliditas dan solidaritas orang Pakpak. Manipulasi sentimen etnisitas tersebut dijalankan melalui isu penduduk asli, pemilik tanah ulayat, menjadi tuan rumah di tanah kelahiran sendiri dan marginalisasi politik dan ekonomi. Isu-isu tersebut menjadi justifikasi pembentukan kabupaten baru. Dengan semakin meningkatnya kesadaran etnis Pakpak, elit semakin gencar memobilisasi massa dengan menggelar demonstrasi-demonstrasi untuk mendapat dukungan kekuasaan lokal.

Kesimpulan

Etnis Pakpak telah menjadi masyarakat minoritas yang termarjinalisasi secara sistematis; marjinal dari sistem sosial kultural, politik dan geografis. Hal itu menimbulkan banyak peristiwa menyedihkan, kemarahan yang terpendam, dan keinginan untuk suatu saat kelak harus bangkit dari keterpurukan.

Pelemahan identitas etnis Pakpak dimulai dari marjinalisasi geografisnya. Wilayah tradisional Orang Pakpak telah tersegmentasi dan terpencar di beberapa wilayah keresidenan dan onder Afdeling sejak zaman penajajahan Belanda. Dari si Lima Suak Pakpak, suak Boang berada diwilayah keresidenan Aceh, dan suak Kelasen masuk ke wilayah onder Afdeling Batak Landen. Pembentukan Kabupaten Dairi tahun 1960 pun masih mengacu pada segmentasi wilayah yang diciptakan Belanda.

Khususnya soal nama Kabupaten dan wilayah cakupannya. Pada saat itu Orang Pakpak sudah mengusulkan nama Kabupaten Pakpak sebagai kabupaten baru yang lepas dari Kabupaten Tapanuli Utara, dan wilayahnya adalah wilayah cakupan  si Lima Suak Pakpak. Namun karena perwakilan di dewan yang sangat kecil, sehigga eksekutif maupun legislatif di kabupaten Tapanuli Utara dan Sumatera Utara tidak sepakat, sehingga diajukan nama Dairi dengan wilayah sama seperti onder Afdeling Dairi yang dibuat oleh Belanda.. Orang Pakpak hanya bisa menerima keputusan pahit itu dengan diam, setidaknya sudah berpisah dari kabupaten Tapanuli Utara.

 Namun usaha untuk membangkitkan kembali identitas Pakpak selalu kembali muncul ketika situasi politik mendukung. Kelompok terdidik yang lahir dari tengah masyarakat sendiri menjadi modal untuk melakukan perbaikan nasib orang Pakpak di tanah leluhurnya. Sampai ketika reformasi politik terjadi dan gelombang desentralisasi yang melanda seluruh Indonesia, etnis Pakpak pun siap mewujudkan Kabupaten-nya sendiri. Kabupaten yang merepresentasikan eksistensi etnis mereka, lepas dari bayang-bayang etnis lain. Besarnya keinginan orang Pakpak untuk pemekaran wilayah Kabupaten Dairi, lebih disebabkan oleh masalah ketidakadilan yang dirasakan sejak zaman Kolonial Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan. Akibatnya pada masa otonomi daerah ini, ketertinggalan dan keterkungkungan tersebut diaktualisasikan dengan besarnya keinginan untuk mendirikan suatu kabupaten yang identik dengan etnis Pakpak.

Perspektif konstruktivis dalam melihat etnisitas, penulis anggap lebih tepat untuk menjelaskan fenomena etnis Pakpak dalam usaha-usaha untuk membangkitkan identitasnya, sampai pada usaha pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat. Bagi penganut perspektif ini identitas etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat bergeser atau berubah jika situasi atau konteks sosialnya berubah. Identitas etnis menurut perspektif konstruktivis bersifat cair, oleh karena itu merupakan sesuatu yang selalu bisa dikonstruksi dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Elit etnis Pakpak dengan sangat baik melakukan penyadaran akan identitas orang Pakpak umumnya, dapat kita lihat isu-isu yang dikembangkan ditengah-tengah masyarakat menjelang pemekaran adalah pengelolaan sumber daya alam tanah Pakpak, mengenai tanah ulayat orang Pakpak dan mempertanyakan kembali bagaimana cara etnis pendatang mendapatkan tanah mereka dahulu. Dalam pertemuan-pertemuan mengenai rencana pemekaran jelas sekali motivasi eksklusifitas identitas tersebut, bagaimana kabupaten baru nanti, mulai dari bupati-nya, anggota legislatif dan semua birokrasinya adalah orang Pakpak. Sumber daya alamnya dikelola oleh orang Pakpak, dan untuk kemajuan orang Pakpak. Tentu pemikiran tersebut muncul dari pengalaman panjang marjinalisasi etnis Pakpak tersebut.

Hingga pada akhirnya terbentuklah Kabupaten Pakpak Bharat sebagai hasil kolaborasi dari momentum kebangkitan identitas etnis Pakpak, reformasi politik, dan hasrat politik elit etnis Pakpak. Meski sebenarnya dengan berdirinya kabupaten baru ini, etnis Pakpak semakin memperkecil luasan tanah leluhurnya (Tanoh Pakpak). Namun pilihan ini harus diambil agar Pakpak sebagai identitas etnis bisa eksis dalam bentuk kabupatennya sendiri seperti etnis Karo dan Simalungun yang memiliki Kabupaten dengan nama etnisnya masing-masing. Karena jika tidak, seperti yang dikatakan J.H. Manik, etnis Pakpak bisa saja punah karena tidak memiliki benteng budaya dan tradisi dari serbuan etnis pendatang yang telah mencaplok tanah mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Chandra, Kanchan , Making Causal Claims about the effect of ‘ethnicity’, dalam Marc Irving

Lichbach & Alan S. Zuckerman, Comparative Politics: Rationality, Culture, and Structure, Cambridge University Press, New York, 2009.

Edwin, Donni dkk. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good

Governance, Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Ibnu, Fadjar Thufail dan Martin Ramstedt, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan

kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru. Gramedia, Jakarta 2011.

Kimura, Ehito,  Provincial Proliferation: Vertical Coalitions And The Politics of

Territoriality In Post-Authoritarian Indonesia, (Disertasi, Political Science University of Wisconsin-Madison, 2006) .

Laode Ida, 2014, Election And Political Evil Ambition In Indonesia’s Reformasi Era,

International Journal of Politics and Good Governance Volume 5, No. 5.4 Quarter IV 2014, hal.4.

Manan, Bagir, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,FH UII Press, Yogyakarta.

Rasyid, Ryaas, 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press.

Sari, Fitriani, Handayani Razak, Pergulatan Etnis dalam Pemekaran Daerah (Studi Kasus;

wacana pemekaran Pinrang Utara), Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2015.

Schulte, Henk, Nordholt & Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, YOI &

            KITLV, Jakarta.

Zuska, Fikarwin, 2012, Jurnal Antropologi Indonesia, volume 33, Nomor 3.

Vel, Jacqueline , Kampanye Pemekaran di Sumba Barat, dalam Politik Lokal di Indonesia,

            Henk Schulte Nordholt & Gerry Van Klinken (ed), KITLV, Jakarta, 2014.


[1] Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, FH UII Press, Yogyakarta. Hal. 25

[2] Ryaas Rasyid. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press. Hal. 8-9

[3] Fadjar Ibnu Thufail dan Martin Ramstedt, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru, Gramedia, Jakarta 2011. hal. 2

[4] Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, YOI & KITLV, Jakarta 2014. hal. 25

[5] Seperti dikatakan pendekatan instrumentalis bahwa identitas etnis tidaklah tetap, berubah-ubah, dan adaptif bergantung dengan siapa berinteraksi. Untuk tujuan politik dan ekonomi orang dapat menukar identitasnya dan suatu saat dapat pula kembali ke identitasnya semula. (Milton J. Eastman, Ethnic Politics. (Ithaca: Cornel University Press) hal: 10-11.

[6]DR Budi Agustono, op.cit hal. 183

[7] DR. Budi Agustono, wawancara dengan Benyamin Banurea ibid hal. 190

[8] Lahirnya elit etnis seperti ini baru mulai terjadi setelah runtuhnya Orde Baru, khususnya di daerah yang mengalami konflik etnis dan atau elit lokalnya yang berkompetisi merebut kekuasaan. Salah satu contohnya adalah munculnya elit baru Dayak pasca  1998. Gerry van Klinken, “Indonesia’s New Ethnic Elites” dalam Henk Schulte Nordholt and Irwan Abdullah (eds) In Search of Transition. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Hal. 66-105

[9] Lihat Kanchan Chandra tentang politik identitas dan patronase politik, Making Causal Claims about the effect of ‘ethnicity’, dalam Marc Irving Lichbach & Alan S. Zuckerman, Comparative Politics: Rationality, Culture, and Structure, Cambridge University Press, New York, 2009 hal. 382

Memori buruk Pilkada Medan

Kilas balik gagal kepemimpinan Walikota Medan 2005-2015

Pilpres dan pileg baru saja usai, banyak catatan yang perlu dievaluasi bersama untuk kemajuan berdemokrasi. Namun tahapan pemilu kepala daerah serantak telah terjadwal, pesta demokrasi lokal sudah menunggu didepan mata. Pilkada serentak tahun 2020 -sebagai bagian tahapan menuju pemilu serentak nasional- akan diikuti oleh 23 Kabupaten/kota di Sumatera Utara, dan Kota Medan adalah salah satunya.

Namun semacam ada kegagapan ketika berbicara tentang siapa yang akan menjadi walikota Medan selanjutnya. Sulit sekali menyebut satu nama yang ideal menjadi pemimpin kota ini. Dalam kesempata mengikuti beberapa diskusi dan obrolan santai dengan para tokoh dan warga, yang muncul adalah nama-nama dengan (dugaan) kecenderungan menang, bukan atau belum mengarah pada nama yang memiliki visi dan integritas. Nama-nama yang disebutkan punya kans menang itupun didasarkan pada modal materi, petahana, dan populisme identitas.

Jika berhenti pada parameter seperti itu, kota Medan lagi-lagi akan mendapatkan walikota dengan kualitas medioker. Kita masih akan sulit untuk mengejar ketertinggalan dari kota-kota besar lain seperti Surabaya dan Bandung misalnya. Di Medan kita mungkin punya banyak ketua, tetapi kita defisit kepemimpinan yang berintegritas.  

Indikasinya sudah tampak dari pilkada terakhir kota medan tahun 2015. Warga Medan yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 74.44 %. Dengan angka golput setinggi itu, artinya masyarakat sudah mengambil sikap bahwa nama yang diusung oleh koalisi partai-partai politik untuk menjadi calon walikota dan wakil walikota Medan sama-sekali tidak menarik. Dan ini adalah kegagalan partai-partai politik. 

Ada dua fungsi parpol yang tidak berjalan dalam kasus ini; agregasi kepentingan dan rekrutmen politik. Terbukti keinginan mayoritas pemilih (74.44%) berbeda dengan keinginan koalisi parpol pengusung Eldin-Akhyar (PDIP, Golkar, PAN, NasDem, PBB, PKPI, PKS, PPP) dan pengusung Ramadhan Pohan-Edi (Demokrat, Gerindra, Hanura). Gemuknya koalisi yang mengusung Eldin-Akhyar menjadi preseden buruk mandegnya rekrutmen politik parpol. Alih-alih mempersiapkan kader sebagai tokoh dan mengusungnya, parpol-parpol ini memposisikan diri hanya sebagai perahu sewaan bagi siapa yang mau membayar untuk mengikuti pilkada.

Namun apatisme pemilih pada pilkada 2015 terjadi bukan tanpa sebab-sebab yang mendahuluinya. Justru  pilkada 2015 adalah puncak kekecewaan warga Medan terhadap kondisi politik dan teladan kepemimpinan di kota ini. Kegagalan kepemimpinan walikota-walikota sebelumnya memberikan kontribusi besar pada apatisme politik warga Medan.

Pilkada langsung pertama kota Medan dilaksanakan pada tahun 2005, Abdillah-Ramli (diusung oleh Golkar, PDIP, PAN, PPP, PBR, PDS, Demokrat, Patriot Pancasila) terpilih dari lawannya pasangan Maulana Pohan –Sigit (diusung oleh PKS). Baru sekitar dua tahun pemerintahan berjalan, Abdillah kemudian ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Ia kemudian ditahan pada Januari 2008, tidak sendirian, tapi bersama-sama wakilnya Ramli, karena kasus korupsi yang sama.

Sejak ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahannya walikota Medan dan wakilnya secara bersamaan, Medan kemudian dipimpin oleh beberapa pelaksana tugas dari kalangan birokrat yakni Afifudin Lubis dan Rahudman Harahap sejak Mei 2007 sampai akhir periode tahun 2010.

Pada pilkada 2010 Rahudman Harahap yang sebelumnya menjadi pelaksana tugas walikota, ikut mencalonkan diri menjadi walikota berpasangan dengan T. Dzulmi Eldin, bersama 9 pasangan calon lainnya. Pilkada Medan 2010 memang fenomenal secara jumlah dan latar belakang kontestan yang beragam. Ada 10 pasangan calon, baik yang diusung oleh partai atau dari jalur independen.

Kontestasi berjalan seru hingga dua putaran, karena pada putaran pertama tidak ada yang mencapai kemenangan 30%, sesuai peraturan pada waktu itu digelar putaran kedua yang diikuti oleh dua pasangan calon teratas yaitu; Rahudman Hrp-T. Dzulmi Eldin (22.20%) dan pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti (20.72%).

Namun pertarungan yang menarik ini menemui anti-klimaksnya ketika pada putaran kedua isu SARA mulai dimainkan (Sofyan Tan merupakan Non Muslim dan keturunan Tionghoa). Disinilah pertama kali surat Al-Maidah ayat 51 secara massif digunakan dan disebarkan dikalangan pemilih muslim (lalu booming lagi pada pilgub DKI Jakarta 2017). Pada saat itu intens terjadi kampanye dengan tema jangan pilih pemimpin non muslim di pengajian ibu-ibu dan ceramah di masjid-masjid. Rahudman-Eldin kemudian menang telak pada pilkada Medan 2010 (65.88%)

Tapi lagi-lagi hasil dari pilihan suci itu mengecewakan, Rahudman kemudian tersangkut kasus korupsi, Medan kembali mengalami kekosongan Walikota. Kejadian yang berulang-ulang tertangkapnya walikota Medan dan kekosongan kedudukan walikota inilah yang menjadikan kota medan sering disebut sebagai kota autopilot. Warga Medan hampir terbiasa dengan ‘ketidakhadiran’ walikotanya. Ada atau tidak ada walikota, Medan tetap berjalan, kehidupan ekonomi dan pemerintahan sekalipun tidak lumpuh. Namun dampak jangka panjangnya, telah terjadi ketidakpercayaan pada birokrasi dan proses politik lokal di kota Medan. Kondisi inilah yang kemudian membawa Medan sekarang pada krisis kepemimpinan.

Pilkada 2020 adalah harapan, kita ingin kota ini tetap menjadi mercusuar metropolitan di barat Indonesia. Kota yang paling strategis secara ekonomi dan politik di pulau Sumatera ini sudah saatnya dipimpin oleh tokoh yang memiliki integritas tinggi dan visi yang tajam.

Pada Pilkada 2020 nanti sudah seharusnya seluruh pemangku kepentingan dengan bijak dapat menahan diri untuk tidak mengejar keuntungan elektoral semata. Partai politik diharapkan mampu memunculkan kader-kadernya yang berkualitas dan membentuk koalisi yang strategis mengusung tokoh pembaharu. Warga pemilih juga diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan tujuan mendapatkan pemimpin terbaik tanpa terpolarisasi lagi dukungan pilpres kemarin. Dengan bagitu paling tidak kita sudah berusaha menghadirkan iklim berdemokrasi yang baik sebagai contoh kedepan bagi generasi selanjutnya.

photo credit: RMOL

PSI dan Perda Syariah. BENARKAH MENOLAK PERDA AGAMA BERARTI MENOLAK AGAMA?

Beberapa hari belakangan pidato Ketua Umum PSI saat memperingati ulang tahun keempat PSI  menuai kontroversi. Pasalnya sist Grace menyatakan dengan tegas bahwa jika PSI duduk di parlemen maka PSI tidak akan mendukung terbitnya perda-perda Injil ataupun Syariah. (pidato lengkap Grace Natalie)

Ditengah sentimen politik netizen yang sedang genit-genitnya, dimana soal selip lidah-salah ucap saja bisa digoreng berminggu-minggu, apalagi sebuah pernyataan sikap politik yang tegas dari seorang Ketua umum partai baru, unyu-unyu, belum berpengalaman, dan -mungkin paling fatal adalah- sejak lama sudah mendeklarasikan diri sebagai cebongers. sudah pasti diburu untuk dibully dan digoreng sampai kering oleh pihak oposisi.

Setelah tanggal 11 November 2018 itu, di media sosial kemudian ramai gunjingan miring tentang PSI yang disebut anti Agama, simpatisan PKI dsb. Bahkan fitnah keji diarahkan kepada Grace Natalie yang foto wajahnya diedit sedemikian rupa kemudian disatukan dengan tubuh dari foto model majalah dewasa dengan pose sensual. (Sangat kelihatan kualitas pikiran oposisi ga kredibel itu, yang menyerang kepribadian perempuan, sudah ahli hoax otaknya mesum pula)

Namun anehnya postingan terkait sampai dibagikan ribuan kali disalah satu platform medsos, yang mengindikasikan ribuan orang itu percaya bahwa foto itu memang betul Ketua Umum PSI dan berpose memalukan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat kita memang sedang sakit. Saya percaya mereka tahu bahwa yang mereka share/bagikan itu adalah  foto editan dan berita bohong. (karena terlalu gampang melacak jejak rekam seorang Grace Natalie asli jika mereka punya kuota internet, dan tentunya mereka punya karena bisa share postingan hoax itu) Tetapi mereka tetap membagikannya dengan harapan membanjiri media sosial dengan informasi sesat ini.

Beginilah propaganda politik diera revolusi 4.0 dilakukan, bukan dari satu kanal kantor propaganda tapi dari ribuan akun mediasosial milik masing-masing individu yang tak pernah bertemu dan tak merasa dikomandoi. Mereka hanya  merasa berita bohong itu cocok dengan sikap politiknya, dan ingin orang lain mendapatkan berita yang sama. Tujuannya dari dulu tetap sama, menggiring opini masyarakat luas, mereka berharap “kebohongan yang diucapkan terus-menerus lama-lama akan terlihat seperti kebenaran” -Joeseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi.

Kembali ke soal perda-perda-an yang sebenarnya pun kita sebagai masyarakat kadang tidak tahu semua perda yang berlaku ditempat tinggal masing-masing. Penolakan PSI mendukung Perda yang berdasarkan agama tertentu bukanlah berarti PSI anti Agama atau mau menjauhkan masyarakat  dari Agama – seperti yang dituduhkan beberapa pihak yang pandai memperkosa makna kata dan melecehkan kecerdasannya sendiri hanya agar kebohongannya diterima masyarakat awam – tetapi kami melihat Perda berbasis agama akan menimbulkan sikap diskriminasi baru ditengah masyarakat indonesia yang memang plural ini. intinya soal keadilan dan anti diskriminasi. *(pembahasan mengenai perda berbasis Agama ini mengecualikan daerah-daerah di Provinsi Aceh yang memang memiliki status otonomi khusus dan memiliki kesepakatan pasca perdamaian(MoU) antara GAM dan Pemerintah. Pengakuan keistimewaan dan kekhususan Aceh dapat dilihat pada UU No. 11 2006 Tentang Pemerintahan Aceh)

Mari kita bayangkan seandainya masing-masing kelompok Agama tertentu yang merasa dirinya mayoritas mendesak diberlakukan peraturan daerah berdasarkan agama mayoritas tersebut didaerahnya, mau jadi apa negara ini? yg terjadi kemudian adalah persaingan memunculkan perda-perda agama tertentu didaerah-daerah  dimana agama tersebut menjadi mayoritas. Sungguh keadaan yang sangat jauh dari cita-cita pendiri bangsa. Pendahulu kita itu, walaupun hidup dijaman komputer belum diciptakan tetapi dapat melihat lebih luas, berjalan lebih jauh, sehingga cakrawala tidak sesempit layar handphone. Para pendiri bangsa kita telah memahami keberagaman agama yang ada di nusantara, bukan hanya agama, aliran kepercayaan dari suku-suku asli pun banyak yang eksis bahkan sampai hari ini. (di Sumut ada Parmalim dan Pemena misalnya) Untuk itulah slogan Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai pemersatu suku-suku bangsa ini.

Sungguh kebebasan beragama sudah dijamin oleh UUD 45 pada pasal 29, saya sudah tahu itu sejak Sekolah Dasar. Sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa yang menjamin semua Agama dan kepercayaan dijamin dapat hidup bersama dibawah lindungan NKRI. Semua pemeluk Agama bebas menjalankan ajaran Agamanya di Indonesia dan bebas beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. Kitab-kitab suci setiap Agama yang diimani pengikutnya cukuplah jadi landasan dan pedoman hukum tertinggi bagi setiap pengikutnya. Jadi kenapa mesti isi kitab suci direndahkan derajatnya hanya menjadi perda? apakah perlu ditambahkan satu lagi keimanan kepada perda? Pada poin inilah saya pribadi melihat tidak ada subtansi  dan kebutuhan perda-perda berbasis agama dikeluarkan. Perda-perda seperti itu hanya akan membuat kita terpecah belah. Wilayah-wilayah daerah kita memang seharusnya tidak dibeda-bedakan berdasarkan Agama, karena Agama harusnya ada didalam hati masing-masing pemeluknya dan menjadi dasar kehidupan sehari-hari tanpa perlu dijadikan perda ini-itu.

Bayangkan saja misalnya kita di Sumut ini yang sudah hidup aman dan tenteram antar umat beragama selama ini. Tiba-tiba disuatu Kabupaten ada yang mayoritas Katolik ingin bikin Perda di kabupatennya berlandaskan nilai-nilai Katolik. Begitu juga daerah yang mayoritas penduduknya muslim, ingin perda syariah dijalankan disana dengan tujuan agar penduduknya semakin agamis dan Islami sehari-hari. apa yang akan terjadi? Akan terjadi kekacauan, muncul perasaan saling iri dan sinis antar umat beragama di daerah-daerah yg komposisi mayoritas-minoritasnya terpaut jauh. Tiba-tiba hubungan harmonis kekeluargaan berubah jadi saling benci dan curiga.

Perda berlandaskan agama tertentu adalah kegagalan memahami bahwa kita sebagai umat beragama tertentu tidak sendirian berada dinegara ini, disebuah provinsi, kabupaten, tidak ada yang benar-benar homogen agamanya. Usulan-usulan Perda berlandaskan agama hanya buah dari ambisi politik identitas yang digalang untuk meraup suara konstituen kelompok mayoritas. Murni politisasi agama yang mana legislatif dan eksekutifnya juga belum tentu menjalankan perda tersebut. Atau sebagian masyarakatnya malah menjadi tidak nyaman dengan peraturan daerahnya sendiri karena tidak memenuhi kebutuhan riil masyarakat. Karena terbukti Perda Agama hanya sibuk pada formalisasi dan simbolisasi Agama, padahal kebutuhan riil masyarakat adalah lapangan pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. Bukan marka-marka dijalan dan baliho yang bertuliskan hadis, atau salib dan gambar Yesus di jalan-jalan.

Demikian PSI hanya ingin mengembalikan semangat awal cita-cita pendirian bangsa ini. Sebuah Negara besar yang dapat menjadi rumah bagi semua agama, ras, suku dan golongan. Satu kesatuan dan tak terkotak-kotak. Kami adalah generasi optimis yang tidak percaya Indonesia bubar tahun 2030. Dan kami siap berdiri didepan sesuai fungsi kami sebagai partai, mendidik masyarakat agar paham hak dan kewajiban politiknya, mencegah  paham ekstrimis, dan melawan politisi-politisi korup yang menebar pesimisme ditengah-tengah masyarakat agar masyarakat berpaling pada mereka meminta tolong. Untuk itu kami mengumandangkan mari #SamaSamaBangunBangsa, berpolitik dengan akal sehat dan menebarkan optimisme ke generasi muda. Salam Solidaritas.  (Sikap PSI tentang Perda berbasis Agama)

Sebagai Warga Negara Republik, Meiliana Harus Dibela.

Demokrasi seharusnya menjadi sebuah ruang terbuka untuk menyampaikan gagasan, ide, dan pengetahuan. Termasuk menerima pendapat yang berbeda didalam masyarakat. Demokrasi diandaikan sebagai ruang, dimana harapan setiap individu dikontestasikan sebagai upaya konstruktif menuju kebaikan bersama. Maka sebenarnya, perbedaan pendapatlah yang melatarbelakangi demokrasi (disensus), bukan semata-mata kesepahaman (konsensus).

Kita memilih demokrasi karena para pendiri bangsa menyadari kemajemukan dan perbedaan yang hadir dalam tubuh bangsa Indonesia. Bukan hanya perkara perbedaan identitas, tetapi juga ide gagasan yang hadir disetiap individu. Untuk itulah kebebasan menyuarakan pendapat diatur di dalam konstitusi kita UUD 1945, pasal 28E ayat 3.

Satu kejadian memilukan datang dari Tanjung Balai, Sumatera Utara. Di mana seorang ibu rumah tangga bernama Meiliana terkena vonis 18 bulan penjara akibat menyampaikan pendapatnya terkait “suara Azan yang terlalu keras”. Meiliana didakwa atas dasar pasal Penodaan Agama pasal 156 subsidair 156a pada 21 agustus 2018 oleh Pengadilan Negeri Sumatera Utara dengan bunyi pasal: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang terjadi di Indonesia”.

Tentu vonis yang dijatuhi kepada Meiliana merupakan bagian dari ketidakadilan dan harus ditentang sebagai suatu pemihakan terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Terlebih lagi, apa yang disampaikan oleh yang bersangkutan adalah perkara “Suara azan yang terlalu keras” bukan Azannya itu sendiri. Tentu ini bisa diselesaikan dengan asas kekeluargaan, dan suami dari Meiliana telah meminta maaf terkait protes istrinya  tersebut. Tetapi sentimen identitas dan hoaks sudah tersebar di kalangan masyarakat sekitar, hingga pada 29 Juli 2016 terjadi intimidasi dan perusakan rumah Meiliana, lalu kemudian pembakaran belasan rumah ibadah umat Budha di Kota Tanjung Balai.

MUI yang pada saat itu enggan mengeluarkan fatwa, mendapatkan tekanan dari berbagai ormas yang ada didalamnya. Hingga pada Januari 2017 MUI mengeluarkan fatwa bahwa apa yang disampaikan oleh Meiliana sebagai bentuk penodaan agama. Maret 2017 Meiliana ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Utara. Meiliana yang merupakan seorang penganut Budha dan memiliki empat orang anak ini tidak sepantasnya dijatuhi vonis 18 bulan penjara karena ia hanya memperbandingkan antara suara Azan yang dulunya tidak sekeras suara azan waktu itu.

Perlakuan yang didapatkan oleh Meiliana merupakan bagian dari diskriminasi, persekusi dan sentimen identitas. Pasalnya, sebelum ia dibawa ke muka pengadilan, sebagai warga negara ia diperlakukan dengan cara-cara yang diluar jalur hukum, mengandaikan bahwa Meiliana adalah seorang Budha dan ber-etnis Tionghoa, yang menurut sebagian oknum warga tidak pantas untuk mengungkapkan hal tersebut. Padahal apa yang dilakukan oleh Meiliana dijamin oleh Konstitusi sebagai hak bagi seluruh warga negara, terlepas apa identitas yang melekat pada dirinya.

Selain itu, vonis yang dijatuhkan kepadanya tidak relevan. Dengan menggunakan pasal penodaan agama 156, vonis tampak dipaksakan akibat tekanan dari massa yang menginginkan Meiliana dipenjara sebagai bentuk sentimen yang berkembang akibat tersebarnya hoaks yang begitu cepat. Ini menandai bahwa proses hukum tidak berada pada koridor rule of law dan fair trail. Vonis dijatuhkan atas dasar demi menyenangkan mayoritas yang terlanjur benci dan terpapar kabar bohong. Di satu sisi Meiliana di vonis 18 bulan, sedangkan sejumlah oknum yang melakukan kerusuhan dan pengrusakan rumah ibadah Vihara hanya dijatuhi hukuman 1,5 sampai 2 bulan saja. Padahal terang, oknum-oknum inilah yang menimbulkan keresahan sebagai ekspresi berlebihan atas dasar kebencian terhadap identitas tertentu.

PSI tentu secara etik berpandangan bahwa apa yang dialami oleh Meiliana sebagai bentuk ketidakadilan hukum dan meminta agar yang bersangkutan diterima bandingnya untuk mendapatkan keadilan.meilianaMeiliana sama sekali tidak melakukan penodaan atas agama apalagi mengujarkan kebencian terhadap agama, dalam hal ini Islam. Ini adalah bentuk kemarahan sebagian oknum yang memandang Meiliana dari sisi identitas yang melekat pada dirinya: Thionghoa dan Budha. Sama sekali tidak ada nada sinis dan meresahkan, karena porsi Meiliana sebagai orang yang bertanya mengenai kodisi: “Suara azan yang keras”. Harusnya pertanyaan ini hanya perlu untuk dijawab, bukan malah menyeretnya ke muka hukum dengan sangka dan dakwaan penodaan agama.

PSI selalu menganjurkan toleransi harus dikedepankan demi menjaga keharmonisan ditengah pluralitas suku maupun agama, juga perbedaan pendapat. Sehingga kecenderungan kearah disintegrasi akibat aksi intoleransi harus dilawan sebagai pemihakan terhadap hak asasi manusia. Demokrasi harus menjadi instrumen penjamin setiap warga negara untuk mengekspresikan pendapatnya. Meiliana harus dihitung sebagai warga negara tanpa diskriminasi dan marjinalisasi akibat ke minoritasannya. Maka hukum harus sanggup mengatakan yang benar sebagai benar dan salah sebagai salah tanpa harus takut oleh tekanan mayoritas. Hukum mesti dapat menyuarakan kebenaran diatas apapun tanpa intervensi demi rasa keadilan dan hati nurani.

ditulis oleh: Irfan Prayogi, Agustus 2018.

diedit seperlunya oleh admin.

PILGUBSU, Mencari Sosok dengan Kualitas Baru

Beberapa waktu yang lalu saya terlibat obrolan dengan dua orang berbeda namun dengan topik serupa; suksesi Gubernur Sumatera Utara 2018.  Kebetulan dua teman saya itu adalah praktisi politik dari Jakarta, walaupun kami ngobrolnya diwaktu dan kesempatan berbeda mereka berdua sama-sama bertanya dan mengeluhkan gersangnya lahan politik Sumut dari tokoh-tokoh pemimpin baru yang berintegeritas dan kapabel. Tentunya pertanyaan dan keluhan ini membuat kegelisahan tersendiri bagi saya sebagai warga Sumatera Utara.

Saat ini, lebih kurang setahun lebih menjelang Pilgubsu 2018, nama-nama yang muncul kepermukaan belum lagi mampu mengugah pesimisme masyarakat terhadap perubahan politik yang berarti bagi sumut. Ya, pesimisme sudah tumbuh di benak masyarakat Sumut sejak trend kepala daerah terpilih pasti tidak ada yang selesai menjalankan amanah satu periode kepemimpinannya. Biasanya dalam dua atau paling lama tiga tahun setelah dilantik kepala daerah tersebut akan tersangkut masalah korupsi dan kemudian digantikan oleh wakilnya.

Kita lihat saja mulai dari gubernur terpilih pada Pilkada 2008 silam, Syamsul Arifin. Pada tahun ketiganya Syamsul ditangkap KPK, diproses lalu ditahan sehingga tugasnya sebagai Gubernur dilaksanakan oleh wakilnya Gatot Pujonugroho (GPN).  GPN menghabiskan sisa masa pemerintahan dan kemudian mencalonkan diri lagi sebagai Gubernur Sumut berpasangan dengan Tengku Erry Nuradi pada tahun 2013.

Seperti mengulangi sejarah, GPN kemudian masuk tahanan karena kasus penyalahgunaan anggaran bantuan sosial, wakilnya T. Erry mengambil alih kepemimpinan Sumut. Hingga saat ini sampai periode pemerintahan berakhir 2018 nanti T. Erry masih mantab memimpin sumut, dan sudah digadang-gadang untuk maju bertarung lagi sebagai Sumut 1 pada Pilgubsu nanti. Namun kabut pesimisme terhadap kepemimpinan T. Erry kedepan tetap menggelayut, karena rekam-jejak kepemimpinannya tidaklah mulus dan potensi mengulangi sejarah dua gubernur sebelumnya terulang kembali begitu besar.

Trend kepala daerah yang tesangkut korupsi dan terjegal dari kursinya bukan hanya monopoli Pemerintahan Provinsi, Walikota Medan dua periode sebelum sekarang juga mengalami hal serupa. Pasangan Abdillah-Ramli yang terpilih terakhir dengan mekanisme dipilih oleh anggota DPRD pada tahun 2005 bahkan tersangkut masalah korupsi secara bersamaan, sehingga kota medan harus dipimpin oleh Sekretaris Daerah dan Pelaksana Tugas sampai pilkada berikutnya. Pilkada tahun 2010 yang diharapkan memecahkan kebuntuan politik di Medan setelah vakum ditinggal Walikotanya, antusiasme masyarakat juga tampak meningkat dengan munculnya 10 pasangan calon dengan latar belakang beragam.

Namun Rahudman Harahap dan Dzulmi Eldin pemenang Pilkada Kota Medan yang sampai dua putaran itu mengalami antiklimaks. Rahudman yang terpilih dalam pilkada langsung pertama dikota Medan itu tidak dapat menghabiskan satu periode jabatannya karena  terjerat kasus korupsi yang dilakukannya pada jabatan sebelumnya. Kembali kota Medan ditinggalkan pemimpinnya karena kasus korupsi dan Dzulmi Eldin wakil Walikota menjabat sebagai pelaksana tugas yang kemudian maju lagi dalam pilkada selanjutnya tahun 2015 menjadi Walikota Medan.

Dengan rekam-jejak hasil Pilkada seperti itu – baik di Sumut, Medan dan kab/kota disekitarnya –  akhirnya menghasilkan apatisme politik ditengah-tengah masyarakat. Setiap kepala daerah yang maju dan menang dalam kontestasi telah diukur berapa lama akan bertahan sebelum diciduk oleh kejaksaan atau KPK yang kemudian akan digantikan oleh wakilnya dan apabila beruntung akan maju lagi sebagai nomor satu diperiode selanjutnya untuk kemudian tertangkap lagi dan digantikan lagi oleh wakilnya, begitu seterusnya.

Indikasi paling nyata dari apatisme itu adalah Pilkada kota Medan akhir tahun 2015 lalu, Plt Walikota Dzulmi Eldin maju lagi sebagai calon Walikota melawan Ramadhan Pohan (tokoh yang didatangkan dari Jakarta). Eldin maju dengan dukungan mayoritas Partai dan menang. Namun pemilih yang menggunakan hak suaranya ke TPS hanya berkisar 30%  saja. Artinya apa? Bahwa ada 70% pemilik suara bersarkan DPT tidak peduli lagi siapa yang akan menjadi walikota Medan, dengan kata lain Pilkada tersebut tidak menarik bagi mayoritas warga Medan karena kualitas tokoh yang ditawarkan untuk menjadi pemimpin sudah kadaluwarsa.

Pemimpin dengan kualitas-kualitas baru

Kembali lagi kepada upaya pencarian sosok pemimpin untuk Sumut, kita masih kesulitan mencari kualitas-kualitas pemimpin generasi baru. Kalau saja kita jeli, bahwa sudah tampak di beberapa wilayah lain di Indonesia, bahkan pada Presiden kita sendiri. Pemimpin generasi baru itu adalah orang-orang biasa, bukan dari keluarga elit politik, bukan dari konglomerat, dan bukan juga petinggi Partai Politik. Mereka adalah orang-orang yang berdedikasi pada bidangnya dan membuktikan dirinya mampu memimpin dengan baik di daerahnya masing-masing.

Era orang-orang besar sudah berakhir, kini saatnya orang-orang biasa yang tampil memimpin. Bukan karena pencitraan atau rekayasa media namun karena zaman sudah berubah dan rakyat memang menginginkan kualitas seperti itu. Pemimpin bukanlah lagi orang yang berjarak dengan yang dipimpinnya, karakter pemimpin yang diidamkan adalah seorang pelayan bagi rakyatnya bukan lagi yang dilayani oleh bawahannya. Pemimpin adalah orang yang ikut bekerja bukan lagi orang yang berkarakter seperti komandan atau raja yang memberi perintah dari singgasana. Mampu memberikan terobosan kebijakan baru, bukan hanya melanjutkan agenda usang sampai jabatannya berakhir.

Jika ada sosok yang karakternya mendekati kualitas-kualitas diatas, maka layaklah dia menjadi pemimpin generasi baru kedepan. Namun dari obrolan dengan kedua teman tadi, kami memeriksa sekilas kualitas pemimpin dari 33 kab/kota di Sumatera Utara, kira-kira siapa yang berpotensi menjadi pemimpin Sumut kedepan dengan kualitas baru tadi? Jawabnya tidak ada. Bahkan dari 33 Kab/kota tersebut tidak ada prestasi yang menonjol dan gebrakan baru dalam pembangunan di daerah masing-masing yang mereka pimpin.

Tradisi politik dan lingkungan keorganisasian yang melestarikan budaya-budaya lama seperti premanisme dan pemalakan terorganisir membuat miskinnya regenerasi  sosok pemuda yang memiliki kualitas karakter pemimpin baru. Orang-orang muda yang tersedia kebanyakan hanya muda secara umur dan fisik, namun mereka hanya kelanjutan dari tradisi kepemimpinan model lama yang dilestarikan sejak Orde Baru berkuasa. Jangan harapkan kreativitas muncul dari jenis pemuda seperti ini, mereka hanya tahu menakut-nakuti, meminta sumbangan dan ‘menjual jasa’ pengamanan, cara-cara primitif untuk mendapatkan uang yang katanya untuk pengembangan organisasi.

Kebuntuan ini harus dipecahkan oleh kita warga Sumut sendiri, pemimpin sumut kedepan harus sosok yang lahir dan tumbuh berkembang di Sumatera Utara. Bukan karena alasan pemuda daerah yang harus memimpin daerahnya, tapi lebih karena mereka yang merasakan sendiri kegelisahan rakyatnya, mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyat Sumut maka kebijakan yang dibuatnya kelak akan lebih berdampak langsung. Alasan ini sekaligus juga untuk menampik kecenderungan beberapa partai yang selalu membawa tokoh dari Jakarta untuk ikut meramaikan bursa Pilgubsu hanya karena tokoh tersebut memiliki identitas kesukuan dari Sumut atau pernah bertugas di Sumut, namun belum tentu pernah mengunjungi 33 kabupaten/kota di Sumut yang masing-masing merepresentasikan kearifan budaya dan tradisi lokal yang berbeda-beda pula.

Tulisan ini dibuat untuk menggugah siapa saja yang perduli pada peningkatan pembangunan Sumatera Utara, provinsi ini mulai tertinggal dari provinsi lain karena masalah politik dan kepemimpinannya yang tidak kunjung beres. Di saat provinsi lain sibuk membangun infrastruktur dan dasar perekonomian daerahnya, kita masih disibukkan dengan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dipanggil ke kantor KPK. Secara bersama-sama masyarakat dan partai politik yang ada harus komitmen mendukung dan mengusung sosok yang bersih dan berintegritas serta memiliki visi membawa kemajuan bagi Sumut. Namun sebelum itu kita masih memiliki tugas menggali dan menemukan potensi-potensi bibit lokal yang bisa menjadi pemimpin masa depan dari Sumatera Utara.

Yang mulia, kalau golput sampai 80% itu salah siapa?

Kalau saya tidak salah Pilkada Kota Medan  tahun  2015 ini mencatatkan rekor tertinggi pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya diseluruh Pilkada yang dilaksanakan di Indonesia. Kekecewaan tentu saja merebak ditengah masyarakat mengingat untuk kegiatan demokrasi kota medan ini dianggarkan dana yang tidak sedikit, berkisar 56,6 Miliar Rupiah.

Tentu tidak ada satu pihak pun yang mau disalahkan atas rendahnya partisipasi pemilih di kota Medan ini. Namun komisioner KPU Kota Medan Pandapotan Tamba terlihat terburu-buru melempar bola atas tidak semaraknya gawean yang mereka selenggarakan ini, dapat kita lihat dari pernyataannya didepan wartawan di Kantor KPU Medan Rabu (9/12/2015); “Kami sosialisasi udah maksimal kok. Dasar masyarakatnya saja yang apatis. Mereka tidak mau tahu,”. KPU memang tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi, namun pernyataan Komisioner KPU yang menyerah terhadap apatisme masyarakat dengan dalih sudah melakukan sosialisasi maksimal juga terdengar konyol dan lepas tanggungjawab.

Pernyataan saudara Komisioner tersebut kemudian soal keabsahan Pilkada yang tetap legal dan sah walaupun golput tinggi memang telah dijamin Undang-Undang; “Tetap sah. Tetap legal. Pemilu kali ini paling aman, paling jujur, paling adil. Hanya golputnya aja yang tinggi,” namun penyataan ini menggambarkan mindset penyelenggara pemilu yang prosedural, tidak peduli hakikat demokrasi asalkan pemilu berlangsung aman dan lancar maka selesailah ajang pemilu tersebut, meskipun pada kenyataannya 80% masyarakat tidak ikut berpatisipasi.

Seharusnya sebagai penyelenggara, komisioner KPU tidak perlu menyalahkan bahkan memberi cap masyarakat yang tidak memilih sebagai apatis dan tidak mau tahu. Masyarakat juga memahami kejadian ini bukan karena tidak becusnya KPU, seluruh elemen masyarakat seperti pejabat negara, para kandidat dan partai politik bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Kota Medan ini. Komisioner KPU Kota Medan cukup mengakui bahwa Pilkada Kota Medan kali ini memang tidak menarik.

Pemilihan Walikota Medan Sejak Pilkada Langsung

Pemilihan langsung walikota Medan pertama kali digelar tahun 2005 yang dimenangkan oleh pasangan Abdillah-Ramli. Di tahun ketiga kepemimpinan mereka, kedua pemimpin kota Medan ini tersangkut kasus korupsi dana APBD. Warga kota Medan menyaksikan kejadian yang memalukan ini, kedua pemimpin mereka masuk penjara akibat korupsi. Kota Medan kemudian dipimpin oleh Sekda Afifudin Lubis,  lalu karena beliau mencapai masa pensiun PNS maka Rahudman Harahap menggantikannya sebagai PLT. Walikota Medan.

Pada Pilkada Kota Medan tahun 2010, Rahudman Harahap maju sebagai calon Walikota Medan bersama T. Dzulmi Eldin sebagai calon Wakil Walikota-nya. Pilkada tahun 2010 ini menghadirkan 10 pasangan calon walikota dan wakil walikota dan merupakan pilkada paling banyak kandidatnya. Pilkada tersebut berlangsung seru sampai harus dilaksanakan putaran kedua dan akhirnya dimenangkan oleh pasangan Rahudman Harahap dan T. Dzulmi Eldin. Namun seperti mengulangi kesalahan yang sama, walikota Medan Rahudman Harahap kembali terjegal kasus korupsi yang menyebabkan dia harus lengser dan digantikan oleh wakilnya T. Dzulmi Eldin.

Dua tahun melanjutkan sisa periode jabatan walikota 2010-2015 yang ditinggalkan Rahudman, T. Dzulmi Eldin kembali mencalonkan diri sebagai Walikota Medan pada Pilkada serentak tahun 2015 ini. Sejak publikasi kesiapannya maju menjadi calon walikota Medan, Dzulmi Eldin diyakini sebagai calon terkuat yang akan memenangi Pilkada. Hal ini kemudian membuat banyak partai politik bermain aman dengan bergabung dalam koalisi  mengusung T. Dzulmi Eldin menjadi calon Walikota Medan. Pendapat bahwa T. Dzulmi Eldin adalah calon kuat pemenang Pilkada bukanlah apriori, sebagai petahana yang memiliki keuntungan tersendiri dan merupakan warga Medan asli, T. Dzulmi Eldin lebih dulu familiar dan populer dibandingkan pesaingnya yang muncul belakangan dari tokoh nasional Ramadhan Pohan.

Gagalnya fungsi representasi Parpol

Walaupun  memiliki potensi yang kuat untuk memenangkan Pilkada, namun ditengah-tengah warga kota Medan telah lahir pesimisme tersendiri dengan pengalaman dua pilkada terakhir. Banyak terdengar selentingan bahwa ketika T. Dzulmi Eldin menang menjadi walikota, maka beliau akan menyusul pendahulunya Rahudman Harahap ke penjara juga.

Partai Politik yang seharusnya dapat meng-agregasi kepentingan konstituennya dan menghadirkan tokoh alternatif untuk menjadi pemimpin, malah berbondong-bondong mencalonkan petahana yang diyakini akan menang dengan mudah. Bermain aman seperti ini memang menguntungkan partai-partai pendukung, selain hemat biaya juga hemat tenaga. Namun ini adalah awal kegagalan partai politik menterjemahkan keinginan rakyat yang butuh pemimpin baru, bukan hanya sekedar ingin memenangkan pertarungan pilkada.

Persentase golput yang mencapai 70-80% adalah bukti bahwa partai-partai yang mendukung calon tersebut tidak memiliki ikatan apa-apa dengan sebagian besar calon pemilih. Jumlah golput yang besar juga mengindikasikan partai-partai tersebut hanya menumpang nama tanpa menjalankan mesin partai untuk menggerakkan konstituennya menggunakan hak pilih. Bayangkan apa gunanya 8 partai politik mendukung T. Dzulmi Eldin (PDIP, Golkar, PAN, NasDem, PBB, PKPI, PKS, PPP) kalau pada kenyataannya saat pemilu partisipasi hanya 20% saja dari daftar pemilih tetap? Inilah kegagalan Partai Politik merepresentasikan keinginan rakyatnya.

Kita tidak perlu menunjuk satu pihak untuk disalahkan jika pemilu kota Medan yang telah berlangsung 9 Desember kemarin sepi dari pemilih. Setiap pemangku kepentingan yang terlibat harus melakukan evalusi di internal masing-masing. Penyelenggara tidak usah mencari alasan, pasangan calon yang kalah juga tidak perlu menyalahkan penyelenggara karena anggapan kurangnya sosialisasi – karena sosialisasi juga dapat dilakukan oleh Tim dan Partai pasangan calon.

Begitupun dengan pasangan Eldin-Akhyar, tidak usah terlalu bangga dengan kemenangan sekitar 72% dari suara pemilih yang 20%, karena artinya mayoritas warga Medan tidak perduli anda menang atau tidak. Begitupun ucapan selamat tetap layak disampaikan kepada Walikota dan Wakil Walikota terpilih. Kedepan adalah tugas anda membuktikan pada warga Medan anda memang layak memimpin kota ini 5 tahun lagi dan menepis pesimisme warga Medan terhadap perbaikan melalui Pilkada.

*diterbitkan di Koran Sindo Sumut, Headline Desember 2015